Friday, July 20, 2007

Ancaman dari Balik Selang Infus
Cairan infus, menolong pasien tapi juga bisa mematikan. Bagaimana menggunakan cairan infus?


Badan Anton tiba-tiba menggigil. Saat itu malam hari, di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat, tujuh tahun lalu. Semuanya diduga berawal dari botol infus. Tusukan hawa dingin, cerita dia, mulai terasa ketika isi botol infus tinggal setengah. Ia merasa lalu lintas air pada selang infus lebih sibuk dari seharusnya. ''Barangkali dosisnya terlalu besar,'' kata dia menduga.

Ketika hal itu dilaporkan, suster segera mengganti botol infus, tanpa ada penjelasan. Over dosis? Barangkali iya. Namun tak keliru-keliru amat jika Anton menduga bahwa cairan infusnya juga bermasalah. Sebab, pada masa itu, cairan infus dari luar negeri berlimpah ruah (sebagian hibah dari AS dan Eropa). Padahal cairan infus bule, menurut dr Oloan Tampubolon SpAn KIC, belum tentu cocok dengan gen bangsa Melayu. ''Mesti ada clinical trial dulu,'' kata dr Oloan, dari Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI), Kamis (9/3).

Menurut Oloan, respons setiap orang terhadap 'benda asing' yang masuk ke dalam pembuluh darah amat spesifik. Kendati infus-infus impor sudah mencantumkan embel-embel sertifikasi, itu belum bisa dijadikan jaminan. Malah, lanjut dia, cairan infus-infus lokal pun --jika salah memilih produk dan metode pemberiannya tidak tepat-- rawan memicu masalah.

Meski begitu, tak keliru juga jika Anton menduga bahwa dosis cairan infusnya kebanyakan. Menurut Dr Pratiwi Pujilestari Sudarmono PhD SpMk, terdapat batas maksimal asupan cairan yang masuk langsung ke pembuluh darah (infus). Jika cairan berlebih, kata dia, jantung bisa gagal memompanya, maka cairan pun meluber ke dalam rongga pleura (pembungkus paru).

''Ini bisa berakibat fatal, bahkan kematian,'' tutur staf pengajar Jurusan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu. Kendati cairan infus sejatinya adalah nutrisi atau elektrolit, namun jika terlalu banyak, tetap bisa memicu masalah. Karena itulah, air dapat diibaratkan pedang bermata dua.

Sensitif
Ada dua cara cairan masuk ke dalam tubuh. Yakni lewat oral (mulut) dan intravena (pembuluh darah). Dalam banyak kasus, air 'terpaksa' harus masuk lewat intravena agar pasien memperoleh dukungan nutrisi jumlah besar. Inilah asal muasal infus.

Bedanya, menurut Pratiwi Sudarmono, air yang masuk lewat pembuluh darah harus memenuhi kriteria yang amat ketat. Tak sama dengan air lewat mulut. Jika air lewat mulut masih boleh mengandung patogen dalam batas toleransi, maka cairan infus, ''Harus bebas sama sekali,'' tuturnya. Jika tidak, kata dia, akan fatal akibatnya. Pasalnya, bakteri atau virus dapat langsung berada di dalam pembuluh darah dan menyerang organ tubuh tanpa mekanisme penyaringan terlebih dahulu. Dalam kasus ini, pasien yang diinfus bukan malah sembuh, tapi penyakitnya bertambah.

Tak kalah penting, cairan infus harus bebas pryogen. Dalam pembuluh darah, pryogen dapat memicu aktivitas pada sel darah putih. Aktivitas ini berakibat naiknya suhu tubuh dengan amat drastis. Pasien yang kemasukan pryogen akan menggigil hebat. Rasa menggigil pasien belum tentu juga karena pryogen. Boleh jadi cairan infus telah mengalami dekomposisi asam amino dan karbohidrat. Dekomposisi menyebabkan timbulnya partikel. Partikel ini dapat langsung menyerang organ tubuh. ''Singkat kata, berurusan dengan cairan yang langsung ke pembuluh darah memerlukan kehati-hatian tingkat tinggi,'' simpul dr Lula Kamal, MSc.

Banyak jenisnya
Ada banyak produk cairan infus di Indonesia. Salah satu cara populer membuat cairan infus yang steril (bebas kuman) adalah lewat metode overkill (pemusnahan). Caranya, dengan memanaskan cairan pada suhu 120 derajat Celcius pada tekanan satu atmosfer selama 20 menit.

Ini adalah metode untuk membuat cairan infus untuk asupan air saja, bukan infus sebagai tambahan nutrisi. Namun, ketika cairan infus perlu ditambahkan nutrisi --seperti albumin (protein) atau gula-- maka metode pemanasan 120 derajat praktis tak dapat diterapkan. ''Sebab, protein atau gula itu bisa-bisa malah terurai menjadi partikel,'' paparnya.

Dalam cairan infus, keberadaan partikel dapat memicu bencana. Jika menyerang organ tubuh, maka ia dapat mendatangkan penyakit baru yang lebih kompleks, malah kematian. Akibat proses pemanasan yang terlalu tinggi (di 120 derajat Celcius) misalnya terjadi dekomposisi asam amino dan karbohidrat, yang berbuah partikel. ''Partikel ini tak dapat terlihat. Karena itu kita harus hati-hati dalam memilih infus,'' jelas dr Oloan Tampubolon.

Sebetulnya ada metode lain, yakni bioburden. Selain mendapatkan cairan infus yang steril, cara ini juga menjamin kandungan cairan infus tidak rusak dengan menerapkan proses dan temperatur yang optimal. Namun, tak ada jaminan seluruh infus yang ada di Indonesia --yang produknya cukup banyak-- menerapkan metode ini. Bioburden baru secara luas diterapkan di Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat (AS). Infus impor sendiri belum tentu cocok diterapkan di Indonesia.

Perhatikan jenis dan dosis
Lantaran banyaknya produk, pemilihan jenis cairan infus harus tepat. Pemberian cairan yang keliru malah akan memperberat penyakit pasien. Bagaimana caranya?

Menurut Oloan, pada tahap awal, dokter atau perawat harus melihat terlebih dahulu respons pasien terhadap tetes pertama infus. Respons tiap orang macam-macam. ''Misalnya, perlu dilihat, apakah pasien malah menggigil, tempat masuk jarum suntik di kulit memerah (mungkin alergi), atau suhu tubuh naik,'' papar dia.

Dosis juga menjadi hal yang amat penting. Dalam kasus tertentu, seperti pasien muntah darah, diperlukan lalu lintas cairan infus yang berimbang antara cairan yang masuk dan keluar. Pratiwi mengakui, kekeliruan dan ketidakakuratan dosis infus, menjadi salah satu penyebab kematian para pasien.

''Umumnya karena tidak hati-hati. Kelebihan guyur. Padahal badannya cuma kuat lima liter, sehingga jantung gagal memompa. Air pun masuk paru-paru, lalu berbusa. Adakalanya itu terjadi,'' tutur Pratiwi. Ia mengaku tidak tahu angka kasus seperti itu. Indikator dosis lebih atau tidak, menurut dia, dapat dilihat dari kecenderungan pasien untuk buang air kecil.

Pasien massal
Menurut Oloan Tampubolon, pemantauan dosis infus terhadap pasien seringkali sulit dilakukan saat terjadi wabah penyakit. Contohnya, kasus demam berdarah di RS-RS di Jakarta yang menyebabkan pasien meluber hingga ke koridor RS.

Namun, secara umum, ia mengakui, sebagian besar RS di Indonesia kekurangan perawat. ''Terutama di ICU. Satu pasien paling tidak harus dipantau tiga perawat. Tapi kalau jumlah pasien berlipat ganda, tentu akan sulit,'' paparnya. n imy


http://www.litbang.depkes.go.id

No comments: