Thursday, March 6, 2008

Hipertensi pada Lansia


Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah naiknya tekanan pada pembuluh darah arteri. Hipertensi terutama diakibatkan oleh dua faktor utama, yang dapat hadir secara independen atau bersama-sama, yaitu : (Silbernagl S dan Lang F, 2000).

1.Daya pompa jantung dengan kekuatan yang besar.
2.Pembuluh darah kecil (arteriol) menyempit, sehingga aliran darah memerlukan tekanan yang besar untuk melawan dinding pembuluh darah tersebut.

Beberapa ahli kardiovaskular mengkategorikan hipertensi sebagai berikut :

Hipertensi primer atau esensial atau pula hipertensi idiopatik adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi jenis ini merupakan 90% kasus hipertensi yang banyak terjadi di masyarakat. Hipertensi ini merupakan proses kompleks dari beberapa organ utama dan sistem, meliputi jantung, pembuluh darah, saraf, hormon dan ginjal (Guibert R dan Franco ED, 1999).

Hipertensi sekunder adalah naiknya tekanan darah yang diakibatkan oleh suatu sebab. Hipertensi jenis ini terjadi pada 5% kasus yang terjadi di masyarakat. Selain itu ada beberapa jenis hipertensi dengan ciri khas khusus. Isolated Systolic Hypertension adalah hipertensi yang terjadi ketika tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg namun tekanan diastolik dalam batas normal. Keadaan ini berhubungan dengan arteriosclerosis (pengerasan dinding arteri). Pregnancy Induced Hypertension adalah kondisi naiknya tekanan darah yang terjadi selama kehamilan, dimana naiknya tekanan darah sistolik dan diastolik lebih dari 15 mmHg (Guibert R dan Franco ED, 1999).

Selain itu terdapat kondisi yang dinamakan White Coat Hypertension. Bentuk hipertensi ini adalah meningkatnya tekanan darah yang terjadi selama kunjungan ke dokter, namun tidak di rumah. Hipertensi ini merupakan faktor pada kira-kira 20% pasien dengan hipertensi ringan (Guibert R dan Franco ED, 1999).



I.2. Epidemiologi

Hipertensi esensial mulai terjadi seiring bertambahnya umur. Pada populasi umum, pria lebih banyak yang menderita penyakit ini dari pada wanita (39% pria dan 31% wanita). Prevalensi hipertensi primer pada wanita sebesar 22%-39% yang dimulai dari umur 50 sampai lebih dari 80 tahun, sedangkan pada wanita berumur kurang dari 85 tahun prevalensinya sebesar 22% dan meningkat sampai 52% pada wanita berumur lebih dari 85 tahun (Trenkwalder P et al, 2004).

Dari 25% pria dan 18% wanita penderita hipertensi, tidak menyadari bahwa mereka mengidap hipertensi. Bagi mereka yang menyadari, 82%nya menjalani pengobatan terhadap penyakitnya. Sedangkan dari semua penderita hipertensi, hanya 46% yang mempunyai hipertensi terkontrol. Untuk kedua jenis kelamin, perbandingan hipertensi terkontrol menurun seiring bertambahnya umur, sedangkan perbandingan hipertensi yang tidak terkontrol yang menjalani pengobatan bertambah seiring bertambahnya umur. Untuk pria, perbandingan penderita yang sadar menderita hipertensi (diobati atau tidak diobati) juga menurun seiring bertambahnya umur (Trenkwalder P et al, 2004).



I.3. Etiologi

Faktor genetik dianggap penting sebagai sebab timbulnya hipertensi. Anggapan ini didukung oleh banyak penelitian pada hewan percobaan dan tentunya pada manusia itu sendiri. Faktor genetik tampaknya bersifat mulifaktorial akibat defek pada beberapa gen yang berperan pada pengaturan tekanan darah (Fauci AS et al, 1998).

Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling berperan dalam perjalanan munculnya penyakit hipertensi. Faktor ini meliputi intake garam yang berlebihan, obesitas, pekerjaan, alkoholisme, stresor psikogenik dan tempat tinggal. Semakin banyak seseorang terpapar faktor-faktor tersebut maka semakin besar kemungkinan seseorang menderita hipertensi, juga seiring bertambahnya umur seseorang (Fauci AS et al, 1998).

Dari faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tidak ada satupun yang ditetapkan sebagai penyebab langsung hipertensi esensial. Lain halnya dengan hipertensi sekunder, yang saat ini telah banyak ditemukan penyebabnya secara langsung, beberapa di antaranya adalah : (Fauci AS et al, 1998)

1.Sleep-apnea
2.Drug-induced atau drug-related hypertension
3.Penyakit ginjal kronik
4.Aldosteronisme primer
5.Penyakit renovaskular
6.Terapi steroid jangka lama dan sindrom Cushing
7.Feokromositoma
8.Koarktasio aorta
9.Penyakit thyroid atau parathyroid

Patofisiologi

Tekanan darah diatur dalam batas-batas tertentu untuk perfusi jaringan yang cukup tanpa menyebabkan kerusakan pada sistem vaskular, terutama intima arterial. Tekanan darah arterial langsung seimbang dengan hasil curah jantung dan resistensi vakular perifer. Pada orang normal dan hipertensi, curah jantung dan resistensi perifer diatur oleh mekanisme pengatur yang saling tumpang tindih : barorefleks disalurkan melalui sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotensin-aldosteron. (Mycek MJ et, 1995)

Barorefleks mencakup sistem saraf simpatis yang diperlukan untuk pengaturan tekanan darah yang cepat dari waktu ke waktu. Turunnya tekanan darah menyebabkan neuron-neuron yang sensitif terhadap tekanan (baroreseptor pada arkus aorta dan sinus karotid) akan mengirimkan impuls yang lebih lemah kepada pusat-pusat kardiovaskular dalam sambungan sumsum. Ini akan menimbulkan peningkatan respon refleks pusat simpatik dan penurunan pusat parasimpatik terhadap jantung dan pembuluh, yang akan mengakibatkan vasokontriksi dan meningkatkan isi sekuncup jantung. Perubahan ini akan menurunkan kenaikan tekanan darah kompensasi (Mycek MJ et, 1995).

Ginjal mengatur tekanan darah jangka panjang dengan mengubah volume darah. Baroreseptor pada ginjal menyebabkan penurunan tekanan darah (dan stimulasi reseptor β-adrenergik simpatik) dengan cara mengeluarkan enzim renin. Peptidase ini akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya dikonversi menjadi angiotensin II. Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat poten dalam sirkulasi, menyebabkan peningkatan tekanan darah. Lebih lanjut, angiotensin II ini memicu sekresi aldosteron sehingga reabsorpsi natrium ginjal dan volume darah meningkat, yang seterusnya juga akan meningkatkan tekanan darah (Mycek MJ et, 1995).

Pada hipertensi esensial, sensitivitas terhadap garam ternyata meningkatkan insidensi hipertensi pada keluarga yang sering mengkonsumsi NaCl dalam jumlah banyak. Namun hubungan antara sensitivitas garam dan hipertensi primer belum sepenuhnya diketahui. Diduga responsifitas terhadap katekolamin meningkat pada orang yang sensitif terhadap NaCl. Ini terjadi pada stres psikologik yang pada satu sisi menimbulkan stimulasi terhadap jantung secara langsung, dan pada sisi lain menyebabkan reabsorpsi renal secara tidak langsung sehingga menyebabkan retensi cairan dan natrium, suatu keadaan yang disebut hipertensi hiperdinamik. Meningkatnya tekanan darah menyebabkan pressure diuresis, dengan adanya peningkatan ekskresi natrium untuk menjaga keseimbangan natrium. Mekanisme ini terjadi pula pada orang sehat, namun peningkatan tekanan darah yang diperlukan untuk mengekskresi natrium dalam jumlah besar lebih rendah. Pada hipertensi primer, NaCl-dependent increase in blood pressure lebih tinggi dari normal. Diet rendah natrium menurunkan insiden hipertensi pada kasus ini (Silbernagl S dan Lang F, 2000).

Dalam waktu yang lama, hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung. Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik di mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Hipertensi merupakan faktor yang meningkatkan tekanan ventrikel selama sistolik, yang selanjutnya akan meningktan beban akhir jantung (after load). Pada awal, terjadi mekanisme kompensasi jantung berupa hipertrofi ventrikel untuk melawan tahanan tersebut. Bila hal ini berlangsung cukup lama, maka akan terdapat titik akhir di mana jantung sudah tidak dapat melawan beban akhir jantung, dan terjadilah gagal jantung (decompesatio cordis) (Silbernagl S dan Lang F, 2000).

Hipertensi juga merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan tekanan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Seperti diketahui, hal ini akan dikompensasi dengan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung akhirnya akan terlampaui dan terjadi dilatasi jantung dan payah jantung. Jantung semakin terancam oleh adanya proses aterosklerosis pembuluh darah koroner. Bila proses aterosklerosis berlanjut maka suplai oksigen miokardium berkurang. Kebutuhan miokardium akan oksigen yang meningkat akibat hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung, akhirnya menyebabkan angina atau infark miokardium. Aterosklerosis yang terjadi diduga karena tekanan darah yang selalu tinggi akibat hipertensi merusak tunika media pembuluh darah koroner, dan hal menyebabkan pembuluh darah menjadi kaku. Hipertensi juga merusak sel endotel pembuluh darah yang selanjut dapat menyebabkan trombus. Trombus dapat menyebabkan aliran darah ke miokardium terhambat (Silbernagl S dan Lang F, 2000).

Beberapa kelainan patologik yang terjadi pada ginjal dapat menyebabkan hipertensi. Hal ini diakibatkan oleh iskemia jaringan ginjal yang didahului sebelumnya oleh berkurangnya aliran perfusi ke ginjal. Hal ini menyebabkan dikeluarkannya renin yang selanjutnya mengaktivasi angiotensin II dan aldosteron. Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi sedangkan aldosteron menyebabkan retensi cairan. Keduanya menyebabkan peningkatan tekanan darah (Silbernagl S dan Lang F, 2000).



Manifestasi Klinis

Tekanan sistolik adalah gaya yang mempengaruhi dinding arteri sesaat jantung berkontraksi untuk memompakan darah. Tekanan sistolik yang sering tinggi di atas normal dapat menyebabkan hipertensi sistolik. Tekanan sistolik yang tinggi (hipertensi sistolik) diketahui merupakan faktor resiko yang besar untuk terkena komplikasi penyakit jantung, ginjal dan sirkulasi atau bahkan kematian, terutama pada pasien umur pertengahan dan orang tua. Semakin besar jarak antara tekanan sistolik dan diastolik, maka semakin besar bahayanya (Kannel WB et al, 2001).

Sebenarnya, meningkatnya tekanan sistolik menyebabkan besarnya kemungkinan timbulnya kejadian stroke dan myocard infark bahkan walaupun tekanan diastoliknya dalam batas normal (isolated systolic hypertension). Isolated systolic hypertension adalah bentuk hipertensi yang paling sering terjadi pada lansia. Pada suatu penelitian, ia menempati 87% kasus pada orang yang berumur 50 sampai 59 tahun (Kannel WB et al, 2001).

Tekanan diastolik adalah gaya yang dikeluarkan pada saat jantung terisi oleh darah balik. Tekanan diastolik yang tinggi atau disebut hipertensi diastolik adalah prediktor kuat terhadap kejadian serangan jantung dan stroke pada dewasa muda (Kannel WB et al, 20)

Diagnosis

Tekanan darah dapat diperiksa secara sederhana dengan metode auskultasi yang tentunya harus dilakukan secara benar dengan menggunakan instrumen yang telah dikalibrasi dan validitasnya terjamin. Pasien sebaiknya dalam posisi duduk istirahat selama sedikitnya 5 menit, dengan kaki di atas lantai dan lengan yang sejajar dengan letak jantung. Pengukuran dengan posisi berdiri dapat dilakukan secara periodik, terutama pada pasien dengan resiko hipotensi postural. Pergunakan ukuran manset yang tepat untuk menjamin akurasi pengukuran (manset paling tidak melingkari 80% keliling lengan atas). Pengukuran harus dilakukan minimal dua kali. Tekanan darah sistolik adalah titik dimana suara pertama dapat terdengar (fase 1) dan tekanan darah diastolik adalah titik sebelum suara tidak terdengar lagi (fase 5). Diagnosis hipertensi dapat ditegakkan berdasarkan pengukuran tekanan darah yang didapat dengan melihat kategori penyakit hipertensi di bawah ini (JNC, 1997).

Pada pemeriksaan tekanan darah dapat ditentukan pula tekanan nadi (Pulse Pressure). Tekanan nadi adalah selisih antara tekanan sistolik dan diastolik. Tampaknya ini merupakan indikator kekakuan dan adanya inflamasi pada dinding pembuluh darah. Semakin besar perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik, maka semakin kaku dan rusaklah pembuluh darah. Walaupun belum secara luas digunakan oleh para dokter untuk menentukan pengobatan, bukti menunjukkan bahwa ia merupakan prediktor kuat adanya masalah pada jantung, terutama pada lansia. Beberapa penelitian melaporkan bahwa setiap kenaikan tekanan nadi sebesar 10 mmHg, maka resiko terjadinya stroke meningkat sampai 11%, penyakit kardiovaskular 10% dan mortalitas sampai 16% (pada dewasa muda resikonya bahkan lebih besar lagi) (JNC, 1997).

Evaluasi pasien yang sebelumnya diketahui menderita hipertensi mempunyai 3 macam penilaian. (1) menilai gaya hidup dan mengidentifikasi faktor resiko kardiovaskular atau gangguan yang secara bersama ada, yang dapat mempengaruhi prognosis pengobatan. (2) untuk mencari sebab hipertensi yang dapat diidentifikasi. (3) menilai ada atau tidak kerusakan target organ (target organ damage) dan penyakit serebrovaskular (JNC, 1997).

Pemeriksaan fisik lain meliputi pemeriksaan fundus optik, indeks massa tubuh, adanya bising pada arteri karotis, abdominal dan femoral; palpasi kelenjar thyroid, pemeriksaan jantung-paru dan ginjal, edema pada ekstremitas bagian bawah dan penilaian neurologis (JNC, 1997).

Tes laboratorium rutin dianjurkan untuk dilaksanakan sebelum memulai pengobatan, yang meliputi pemeriksaan EKG, urinalisis, glukosa darah dan hematokrit, kalium serum, kreatinin dan kalsium; dan profil lipid (setelah 9-12 jam berpuasa) yang meliputi HDL, LDL dan trigliserida. Tes lain meliputi pengukuran ekskresi albumin urin, rasio albumin/kreatinin (Neaton JD dan Wentworth D, 2002).


Penatalaksanaan

Tujuan terapi antihipertensi adalah pengurangan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular dan ginjal. Karena sebagian besar pasien dengan hipertensi, terutama yang berumur sedikitnya 50 tahun, mendapatkan tekanan darah diastolik yang normal bila tekanan sisitolik normal dapat diwujudkan, maka tujuan utama terapi hipertensi adalah mempertahankan tekanan sistolik dalam batas normal. Mempertahankan tekanan darah sistolik dan diastolik kurang dari 140/90 mmHg berhubungan dengan menurunnya komplikasi penyakit kardiovaskular. Pada pasien dengan hipertensi yang disertai diabetes dan penyakit ginjal, target tekanan darahnya adalah 130/80 mmHg (Applegate WB, 2002).
Adopsis gaya hidup sehat oleh semua individu penting dalam pencegahan meningkatnya tekanan darah dan bagian yang tidak terpisahkan dari terapi pasien dengan hipertensi (Applegate WB, 2002). Terdapat banyak pilihan terapi non-farmakologis dalam menangani hipertensi pada lansia, terutama bagi mereka dengan peningkatan tekanan darah yang ringan. Bukti saat ini menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup cukup efektif dalam menangani hipertensi ringan pada lansia. Beberapa cara berikut membantu menurunkan tekanan darah pada lansia : mengurangi berat badan yang berlebihan, mengurangi atau bahkan menghentikan konsumsi alkohol, mengurangi intake garam pada makanan, dan melakukan olah raga ringan secara teratur. Cara lain yang secara independen mengurangi resiko penyakit arteri terutama adalah berhenti merokok. Pada pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang (tekanan diastolik 90-105 mmHg dan atau sistolik 160-180mmHg) terapi non-farmakologi dapat dicoba selama 3 sampai 6 bulan sebelum mempertimbangkan pemberian terapi farmakologis. Pada hipertensi berat, perubahan gaya hidup dan terapi farmakologi harus dijalani secara bersama-sama. Pola makan makanan tinggi kalium dan kalsium serta rendah natrium juga merupakan metode terapi non-farmakologis pada lansia penderita hipertensi ringan (Coope J dan Warrender TS,1996; JNC, 1997)

Saat ini, pemberian terapi farmakologis menunjukkan penurunan morbiditas dan mortalitas pada lansia penderita hipertensi. Berdasarkan penelitian terbaru pada obat-obat antihipertensi yang tersedia sekarang ini (angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor), angiotensin-receptor blocker (ARBs), calcium channel blocker, diuretik tipe Tiazid, beta-blocker), semua menurunkan komplikasi penyakit hipertensi (Hansson L et al,1998).

Diuretik tiazid merupakan terapi dasar antihipertensi pada sebagian besar penelitian. Pada penelitian-penelitian tersebut, termasuk Antihypertensive And Lipid Lowering Treatment To Prevent Heart Attack Trial, diuretik lebih baik dalam mencegah komplikasi kardiovaskular akibat penyakit hipertensi. Pengecualian datang dari Australian National Blood Pressure trial, yang melaporkan hasil yang sedikit lebih baik pada pria kulit putih yang memulai terapi hipertensi dengan ACE inhibitor dari pada mereka yang memulai dengan diuretik (Curb JD et al 1999).

Diuretik menambah keampuhan obat-obat hipertensi, berguna untuk mengontrol tekanan darah dan lebih terjangkau dari pada obat-obat antihipertensi lain. Diuretik seharusnya dipakai sebagai pengobatan awal terapi hipertensi untuk semua pasien, baik secara sendiri maupun kombinasi dengan 1 dari golongan obat antihipertensi lain (ACE inhibitor, ARBs, β-Blocker, CCB), karena memberikan manfaat pada beberapa penelitian. Namun jika obat ini tidak ditoleransi secara baik atau merupakan kontraindikasi, sedangkan obat dari golongan lain tidak, maka pemberian obat dari golongan lain tersebut harus dilakukan (Curb JD et al 1999).

Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan dua atau lebih obat-obat antihipertensi lain untuk mencapai target tekanan darah yang diingini. Tambahan obat kedua dari golongan lain seharusnya dimulai jika penggunaan obat tunggal pada dosis yang adekuat gagal mencapai target tekanan darah yang diingini. Bila tekanan darah di atas 20/10 mmHg dari target, pertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat, baik pada sebagai resep yang terpisah maupun pada dosis kombinasi tetap. Pemberian obat antihipertensi dengan dua obat dapat mencapai target tekanan darah yang diingini dalam waktu yang singkat, namun mesti diperhatikan adanya hipotensi ortostatik, seperti pada pasien diabetes mellitus, disfungsi otonom, dan beberapa kelompok usia tua (SHEP, 2001).
Sekali terapi obat antihipertensi diberikan, maka pasien harus datang kembali untuk dilakukan follow up dan perencanaan pengobatan kembali. Follow up dilakukan setiap bulan sampai target tekanan darah yang diingini tercapai. Pasien hipertensi derajat 2 atau pasien dengan komplikasi memerlukan lebih banyak kunjungan ke dokter untuk menilai keberhasilan pengobatan (Moser M et al, 2000).

Kadar kalium dan kreatinin serum harus dimonitor satu sampai dua kali per tahun. Setelah target tekanan darah yang diingini tercapai dan stabil, kunjungan follow up dapat dilakukan dalam interval 3-6 bulan. Kondisi komorbid seperti gagal jantung dan penyakit yang memerlukan tes laboratorium seperti diabetes mellitus, mempengaruhi frekuensi kunjungan. Faktor resiko kardiovaskular lain harus ditangani sesuai dengan tujuan terapi penyakit tersebut. Pasien juga harus sering dianjurkan untuk berhenti merokok. Terapi aspirin dosis rendah dapat dilakukan hanya ketika tekanan darah terkontrol, karena resiko terjadinya stroke hemoragik meningkat pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol (Marques et al, 1997).

Pasien lansia penderita hipertensi dan kondisi komorbid tertentu memerlukan perhatian dan follow up oleh dokter. Pada tabel di bawah ini menggambarkan indikasi yang memberatkan yang memerlukan obat-obat antihipertensi untuk kondisi resiko tinggi. Pemilihan obat untuk kondisi ini berdasarkan data yang didapatkan dari beberapa penelitian terbaru. Kombinasi beberapa obat mungkin diperlukan. Pertimbangan lain yang mesti dipikirkan adalah meliputi obat-obat yang sudah pernah digunakan, tolerabilitas dan target tekanan darah yang diingini. Pada beberapa kasus, konsultasi kepada ahli diindikasikan (Holzgreve H dan Middeke M, 2003).

Pertimbangan lain dalam pemilihan obat-obat antihipertensi antara lain adanya efek yang baik dan buruk yang menyertai kondisi komorbid. Tiazid berguna untuk memperlambat demineralisasi pada osteoporosis. β-blocker berguna pada penatalaksanaan takiaritmia arteri/fibrilasi, migraine, tirotoksikosis (jangka pendek), tremor esensial, atau hipertensi perioperatif. Calcium channel blocker berguna pada sindrom Raynaud dan aritmia tertentu, dan prostatisme (Gutzwiller F, 1999).

Diuretik tiazid harus diperhatikan pada pasien yang mempunyai riwayat gout atau hiponatremia signifikan. β-blocker biasanya dihindari pada pasien yang memiliki riwayat asma, penyakit saluran pernafasan reaktif atau blok jantung derajat dua atau tiga (Curb JD et al 1999). ACE inhibitor dan ARBs tidak diberikan pada wanita yang diduga hamil dan merupakan kontraindikasi bagi wanita yang hamil; ACE inhibitor tidak diberikan pada individu yang mempunyai riwayat angioedema. Antagonis aldosteron dan kalium sparing diuretik dapat menyebabkan hiperkalemia dan biasanya dihindari pada pasien dengan kadar kalium lebih dari 5.0 mEq/L (Dahlof B et al 2001).

Penurunan tekanan sistolik lebih dari 10 mmHg pada posisi berdiri yang disertai rasa pusing dan cemas disebut hipotensi postural dan banyak terjadi pada penderita lansia dengan hipertensi sistolik, diabetes dan mereka yang sedang menggunakan diuretik, venodilator (seperti nitrat, α blocker) dan beberapa obat psikotropika. Tekanan darah pada pasien ini harus dimonitor pada posisi terlentang. Perhatian meliputi penghindaran deplesi volume dan titrasi dosis obat antihipertensi yang terlalu cepat (Trenkwalder P et al, 2004).

Dokter harus cukup tanggap bila target tekanan darah yang diingini tidak pernah tercapai bahkan walaupun pasien telah mendapatkan 3 regimen obat antihipertensi yang meliputi diuretik. Kondisi tersebut bisa disebut sebagai hipertensi resisten. Setelah menyingkirkan penyebab hipertensi sekunder, dokter dapat menggali secara hati-hati sebab lain kegagalan terapi (JNC, 1997).

Pasien hipertensi biasanya meninggal dunia lebih cepat apabila penyakitnya tidak terkontrol dan telah menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital. Sebab kematian yang sering terjadi adalah penyakit jantung dengan atau tanpa disertai stroke dan gagal ginjal. Dengan pendekatan per organ sistem, dapat diketahui komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi

Prognosis

Usia, ras, jenis kelamin, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, hiperkolesterole-mia, intoleransi glukosa dan berat badan, semuanya mempengaruhi prognosis dari penyakit hipertensi esensial pada lansia. Semakin muda seseorang terdiagnosis hipertensi pertama kali, maka semakin buruk perjalanan penyakitnya apalagi bila tidak ditangani (Fauci AS et al, 1998).

prognosis

Di Amerika serikat, ras kulit hitam mempunyai angka morbiditas dan mortalitas empat kali lebih besar dari pada ras kulit putih. Prevalensi hipertensi pada wanita pre-menopause tampaknya lebih sedikit dari pada laki-laki dan wanita yang telah menopause. Adanya faktor resiko independen (seperti hiperkolesterolemia, intoleransi glukosa dan kebiasaan merokok) yang mempercepat proses aterosklerosis meningkatkan angka mortalitas hipertensi dengan tidak memperhatikan usia, ras dan jenis kelamin (Fauci AS et al, 1998).

untuk melihat teks asli. dapat mengunjungi http://www.klinikmedis.com/index.php?view=article&catid=42%3Acardio&id=78%3AHT-Lansia&option=com_content&Itemid=60

3 comments:

Anonymous said...

asslmkm, setidaknya meringan kan kami sebagai mahasiswa yang sedang dalam proses belajar. tapi alangkah indahnya jika ada referensi dari buku agar kami bisa melihat langsung bukunya.

wahyu str said...

assalamualaikum
haiiii
nama saya ra_shid2006
saya mahasiswa farmasi..
saya berterima kasih ne..
blog nya bisa buat jadi bahan kuliah ni

Anonymous said...

Hi there, I log on to your new stuff like every week. Your writing style is witty, keep it up!


Also visit my web-site: tao system of badass free Ebook