Mendeteksi "Sindroma Down" dengan USG 3D..!
SEORANG ibu mengaku shock saat dokter menyatakan anaknya menderita sindroma Down. "Kesedihan kami sebagai orangtua hampir sama dengan kehilangan orang yang sangat kami cintai," begitulah ia mengenang.
UNTUNGLAH ibu ini tidak tenggelam dalam keputusasaan. Bersama sang suami, ia bangkit untuk mencari berbagai informasi. Mereka rajin mengumpulkan buku-buku mengenai sindroma Down dan penanganannya, meng-oprek Internet, sampai konsultasi kepada para ahli genetika.
"Kami sadar, tugas kami adalah membantu perkembangan anak ini sebaik-baiknya," kata ibu itu.
Sindroma Down merupakan kelainan genetik yang paling sering muncul dengan probabilitas satu per 700 kelahiran.
Adalah dokter Inggris bernama John Langdon Down, yang tahun 1866 berhasil mengidentifikasi kelainan ini pada kromosom nomor 21.
Kalau biasanya kromosom terdiri dari dua kromosom, maka pada kromosom 21 ditemukan tiga sehingga disebut trisomi 21. Dampaknya adalah gangguan informasi genetika, sehingga penderitanya mengalami penyimpangan fisik.
Kepala belakang yang pipih dan kanal dalam telinga yang sempit, membuat anak menjadi terganggu pendengarannya, rawan infeksi telinga, sulit bicara karena perubahan konstruksi rahang dan mulut, lidah panjang, mata juling atau katarak, rambut tipis dan merah, kaki dan tangan pendek, serta otot dan sendi lemah.
Anak sindroma Down juga sering menderita kelainan bawaan seperti gangguan jantung, leukimia, dan alzheimer.
SINDROMA Down bukanlah penyakit keturunan. Trisomi 21 berkorelasi dengan meningkatnya usia ibu saat melahirkan, ketebalan fetal nuchal translucency (NT), kadar serum beta-human chorionic gonadotropin (hCG), dan berkurangnya serum kehamilan yang terkait dengan dengan plasma protein A (PAPP-A).
Karena itu, metode paling efektif untuk penapisan trisomi 21 adalah kombinasi dari usia ibu melahirkan, fetal NT, dan serum biokimia pada 11-14 minggu kehamilan.
Fetal NT adalah cairan yang ada di sekitar leher janin. Ketebalan cairan yang di atas 3 mm, bisa menjadi penanda sindroma Down selain juga kegagalan fungsi jantung. Sedang hCG dan PAPP-A adalah serum kehamilan yang terdapat pada cairan plasenta. Para ahli juga sepakat, risiko sindroma Down makin tinggi bila ibu hamil di atas usia 35 tahun.
Menurut para peneliti di King s College Hospital dan Harold Wood Hospital (keduanya di Inggris) yang melakukan penelitian risiko trisomi 21, kombinasi semua faktor memberikan ketepatan prediksi hingga 90 persen. Ini jauh di atas pemeriksaan faktor usia ibu saja (ketepatan 30 persen), kombinasi usia ibu dengan uji serum biokimia pada trimester kedua kehamilan (65 persen), dan kombinasi usia ibu dengan fetal NT pada trimester I (75 persen).
DENGAN berkembangnya ilmu pengetahuan, sindroma Down memang bisa dideteksi pada saat usia janin masih amat dini. Salah satu teknik pemeriksaan yang tidak membahayakan kondisi janin adalah dengan ultrasonografi (USG).
Alat itu bekerja dengan memanfaatkan getaran ultra pendek seperti suara. Getaran yang dikirim alat USG akan dipantulkan oleh organ tubuh yang diperiksa seperti hati, ginjal, maupun janin. Gelombang pantul yang berbeda-beda dari organ yang dituju kemudian diolah menjadi citra organ tersebut, sehingga bisa dianalisis.
Awalnya USG bersifat dua dimensi (2D) dan citra yang dihasilkan masih hitam putih. Meski citranya tidak mudah dipahami masyarakat awam, dokter yang berpengalaman bisa memanfaatkan citra USG 2D untuk mendeteksi kelainan genetik janin, bibir sumbing, hidrocephalus, mengukur perkembangan organ maupun fisik janin. Kelainan ini, terutama cacat morfologi struktural, biasanya bisa dilihat saat usia janin 18-23 minggu.
Namun, kini, dengan kemajuan teknologi, sudah dihasilkan USG 3D yang bisa lebih jelas memantau kondisi janin dan USG 4D yang tidak hanya memotret tetapi juga bisa melihat gerakan janin.
Seperti yang dipaparkan dr med Dario Turk SpOG dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Family di Jakarta, USG 3D membantu dokter untuk melihat semua kelainan kongenital saat janin berusia 11-14 minggu.
"Salah satunya adalah untuk penapisan sindroma Down. Selain pengukuran fetal NT, USG 3D juga mempermudah dokter mengukur tulang hidung serta mendeteksi kelainan bentuk jari kaki dan tangan yang merupakan penanda lain sindroma Down," ujarnya.
USG 3D sebenarnya sudah digunakan di beberapa rumah sakit di Jakarta dan tempat-tempat praktik pribadi dokter obstetri dan ginekologi. "Tetapi, teknologi USG yang lengkap hingga 4D baru kami satu-satunya di Asia Tenggara," kata Turk.
Turk yang berpatungan dengan rekan-rekannya membeli alat USG Volution seharga 180.000 dollar AS (sekitar Rp 1,62 milyar) dari perusahaan Austria, Kretz. General Electric yang kemudian membeli perusahaan itu, tertarik bekerja sama dan menjadikan RS Family sebagai Center of Excellent pemanfaatan USG 3D dan 4D di Indonesia. "Sebagai center of excellent, alat akan di-up grade terus-menerus," tambah Turk.
Sedang untuk penilaian risiko kelainan kromosom pada janin, RS Family sudah mendapat akreditasi dari Fetal Medicine Foundation, London, untuk menggunakan Fetal Medicine Foundation Software.
Turk berharap, upaya deteksi dini sindroma Down di Indonesia juga bisa dikembangkan menjadi One-stop Clinic for Assessment of Risk (Oscar) yang tidak hanya untuk trisomi 21 tetapi juga berbagai kelainan genetik janin lainnya. Seperti di Eropa dan negara maju lainnya, Oscar meliputi konseling sebelum pemeriksaan, uji biokimia terhadap ibu, pemeriksaan janin dengan USG, dan konseling pascapemeriksaan. Semua dilakukan secara terpadu di satu tempat dalam satu hari kunjungan, sehingga juga efisien untuk pasiennya.
MENURUT Turk, penggunaan USG 3D dan 4D di RS Family bisa berlangsung 20-50 menit, dengan biaya pemeriksaan Rp 750.000. "Untuk penapisan kelainan genetik, paling baik pemeriksaan dilakukan pada trimester I dan selambat-lambatnya trimester II kehamilan," paparnya.
Secara umum, pemeriksaan trimester I mencakup kelainan genetik, penilaian usia kehamilan, dan perkiraan kelahiran. Trimester kedua sebenarnya lebih untuk melihat perkembangan anatomi organ secara detail, dan trimester ketiga untuk mengecek pertumbuhan janin secara keseluruhan.
Turk biasanya melakukan pemeriksaan awal dengan USG 2D. "Saya menghabiskan waktu sekitar 70 persen dengan USG 2D," tambahnya.
Bila ada kelainan, baru pemeriksaan detail dilakukan dengan 3D. "Dengan teknik ini, kondisi tulang belakang, muka, juga letak telinga, sudut kaki, maupun kelainan bibir sumbing bisa lebih jelas terlihat," paparnya.
Biasanya pasien juga merasa lebih yakin dengan pemeriksaan 3D ini, karena citra yang dihasilkan memang lebih mudah dipahami.
Sedang USG 4D bisa untuk melihat fungsi jantung, sudutsudut yang ekstrem, maupun gerakan bayi. Di negara maju, metode 4D juga dikembangkan untuk mempelajari perilaku janin di dalam rahim. "Dari situ bisa diketahui, apakah janin sedang dalam keadaan senang, bermain, atau lagi dilanda stres," ujar Turk.
Hasil-hasil pemeriksaan yang menunjukkan kelainan, akan dirujuk kepada ahlinya. RS Family sudah merintis kerja sama dengan rumah sakit lain untuk rujukan. Kelainan jantung misalnya, langsung dirujuk ke bagian kardiologi anak untuk ditindaklanjuti. "Soalnya kelainan pada janin ini 30-40 persen kena ke jantung," tambahnya.
Pemaparan potensi USG ini sekaligus menepis mitos di masyarakat yang masih melihat USG sekadar untuk mengetahui jenis kelamin janin.
sumber.http://www.kompas.com
No comments:
Post a Comment