Tuesday, November 20, 2007

Vascular Color Doppler 3D
Pendeteksi Stroke dan Gangren Diabetik


SERANGAN jantung dan stroke masih menjadi hal yang bisa menyebabkan kematian mendadak. Sementara gangren diabetik merupakan hal yang menakutkan, karena bila tidak ditangani secara baik penderita terpaksa harus diamputasi kakinya. Untuk itulah perlu dilakukan deteksi lebih awal, sebagai pencegahan.
Dengan alat Vascular Color Doppler 3D penyakit jantung koroner, stroke dan gangren diabetik dapat terdeteksi. Untuk penyakit jantung koroner dan stroke dilakukan pemeriksaan pembuluh darah ''Karotis''. Dengan Vascular Color Doppler 3D tersebut terdeteksi kondisi pembuluh darahnya serta terhitung kecepatan aliran darah ke otak. Karenanya pemeriksaan ini mempunyai akurasi yang tinggi dan merupakan pemeriksaan pertama yang harus dilakukan, bila diperkirakan adanya sesuatu gangguan fungsi otak atau pembuluh darah karotis. Sehingga bisa dipastikan terjadinya penyempitan pembuluh darah karotis berkorelasi dengan penyempitan pembuluh darah koroner.
Lalu bagaimana cara deteksi dini kaki diabetik? Deteksi dini kaki diabetik juga bisa menggunakan alat Vascular Doppler tersebut. Alat tersebut akan mendeteksi lebih awal dan akurat mengenai pembuluh darah yang mengalami penyempitan. Sehingga komplikasi lebih lanjut berupa gangren diabetik bisa dihindari, dan kaki pasien bisa dicegah dari tindakan amputasi.

Deteksi dini adanya masalah kaki diabetik serta kemungkinan infeksi, merupakan kunci keberhasilan pengelolaan kaki ataupun gangren diabetik. Pada setiap kesempatan pasien diabetes berkonsultasi dengan dokter, sangat ditekankan pemeriksaan kaki untuk mendeteksi adanya luka ataupun tanda dan faktor risiko lainnya. Dengan cara pemeriksaan yang sederhana sebenarnya dapat mendeteksi masalah neuropati yakni dengan usapan kapas dan iskemia dengan meraba denyut pembuluh darah punggung kaki.

Penyakit Jantung Koroner
Dari berbagai macam penyakit jantung, penyakit jantung koroner dengan manifestasi serangan jantung mendadak merupakan penyebab kematian yang paling banyak saat ini, khususnya di negara sedang berkembang.
Gejalanya bisa berupa nyeri/perasaan tidak enak di dada seperti terbakar, tertekan, diperas-peras, atau dicekik. Rasa tersebut sering menjalar ke lengan, dagu, leher, punggung atau ke perut yang menjadi kembung, mual atau muntah. Gejala teersebut berlangsung cukup lama (lebih dari beberapa menit) dan tidak berkurang/hilang dengan istirahat. Bahkan sering disertai gejala lain seperti sesak napas, tubuh terasa lemas (melayang), pucat, berkeringat dingin, berdebar-debar, dan perasaan cemas (takut mati).

Mereka yang berisiko terkena penyakit jantung koroner, laki laki usia diatas 45 tahun. Untuk wanita usia diatas 55 tahun/menopause awal tanpa terapi sulih hormon. Memiliki riwayat keluarga penyakit jantung koroner prematur, hipertensi, diabetes, hiperkolesterol, obesitas/kegemukan, perokok, dan kurang olah raga.

Stroke
Stroke terjadi ketika otak tidak berfungsi dengan baik, akibat terjadinya kerusakan sel. Karena otak yang mempunyai fungsi gerak, rasa, memori, indriawi dan fungsi vital lainnya mengalami kekurangan oksigen. Stroke dapat berakibat cacat seumur hidup, bahkan bisa fatal. Gejalanya berupa terasa baal/lemas/kesemutan pada muka/lengan kaki yang mengenai separuh badan (kiri/kanan). Bingung, tidak mengerti/sulit mengikuti pembicaraan, atau bicara jadi pelo. Penglihatan terganggu/sulit membaca. Lumpuh, sempoyongan, sulit berjalan dan sakit kepala hebat. Semua gejala tersebut umumnya muncul tiba-tiba.
Mereka yang berisiko terkena stroke usia diatas 40 tahun. Adanya riwayat penyakit hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, hiperkolesterol, kegemukan, merokok dll. Bagi wanita menopause risiko stroke meningkat dua kali dari pada pria.

Diabetes Melitus
Ini suatu penyakit metabolik tetapi juga merupakan penyakit vaskuler yang bersifat kronik dan seringkali disertai komplikasi akut dan kronik. Pada sebagian orang, diabetes sering tidak menimbulkan gejala klinis, sehingga penyandangnya tidak menyadari dan tidak berobat secara teratur, sampai saat timbul komplikasi.
Walaupun penderita diabetes telah berobat secara teratur, cepat atau lambat ia akan mengalami komplikasi kronik diabetes, yang kadang menyebabkan penderita maupun dokter yang merawatnya merasa putus asa. Gejala diabetes yang sering dikeluhkan antara lain banyak kencing, banyak minum (merasa haus), banyak makan (merasa lapar). Berat badan menurun. Penglihatan kabur. Kesemutan. Cepat lelah. Gatal pada kulit/sekitar kemaluan. Impoten dll.
Mereka yang berisiko diabetes, usia lebih dari 40 tahun. Kegemukan. Hipertensi. Dislipidemia/kadar lemak tinggi. Riwayat keluarga diabetes dan melahirkan anak diatas 4 kg.

Salah satu komplikasi kronik diabetes yang sering dijumpai adalah kaki diabetik/gangren diabetik. Ini merupakan manifestasi dari penyakit arteri perifer pada penderita diabetes. Masalah kaki diabetik yang sering dijumpai ialah lepuh, penebalan dan pengerasan kulit akibat ukuran sepatu yang tidak pas, mata ikan pada telapak kaki, kulit belah, infeksi jamur disela jari kaki, infeksi sekitar kuku, pertumbuhan kuku kedalam serta luka akibat memotong kuku.
Namun semuanya bergantung pada faktor risiko yang ada, apakah masalah tersebut akan membaik atau sebaliknya berkembang dengan cepat menjadi infeksi yang serius. Seperti abses (penumpukan nanah), selulitis (radang kulit) maupun ulkus-gangren diabetik.

(Dr.Djoko Merdikoputro Sp.PD/ Klinik Spesialis Hoo Semarang-35)

Monday, November 19, 2007

Membangun Kemitraan dalam Penempatan Tenaga Kesehatan ke Luar Negeri dan Peranan Organisasi Profesi


Bppsdmk, Jakarta - Menyimak pernik pelayanan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari SDM Kesehatan. Sebagai salah satu faktor yang turut berperan dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka profesionalisme tenaga kesehatan menjadi unsur penentu dan pendorong terciptanya derajat kesehatan masyarakat. Namun perhatian tidak hanya tertuju kepada tenaga kesehatan saja, hal-hal yang berada di sekitar tenaga kesehatan sebagai faktor pendukung dan penunjang perlu kita cermati dan diperhatikan. Organisasi profesi yang menaungi, melindungi, mengayomi, sempat luput dari perhatian kita.

Pada edisi kali ini, Majalah kesayangan insan SDM kesehatan akan menyajikan seputar tenaga kesehatan luar negeri dan organisasi profesi kesehatan. Berikut hasil wawancara dengan Dr. Asjikin Iman Hidayat, MHA, Kepala Pusat Pemberdayaan Profesi dan Tenaga Kesehatan Luar Negeri.

Tugas Pokok dan fungsi Puspronakes
Tugas pokok dan fungsi Pusat Pemberdayaan Profesi dan Tenaga Kesehatan Luar Negeri (Puspronakes) pada intinya ada dua, yaitu: Pemberdayaan Profesi Tenaga Kesehatan dan Pemberdayaan Tenaga Kesehatan ke Luar Negeri. Pemberdayaan profesi berkaitan dengan kompetensi apa yang harus dimiliki seorang tenaga kesehatan. Dari dokter, dokter gigi, perawat, bidan, ahli gizi, dan lain-lain semuanya berjumlah 32 jenis tenaga kesehatan. Namun dengan adanya Konsil Kedokteran, tugas kita dikurangi dari 32 profesi menjadi 30 profesi karena dokter dan dokter gigi telah ditangani oleh KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). Jadi menyangkut semua kompetensi yang harus dimiliki, Nah, ini semua ada kaitannya dengan kurikulum yang dibuat oleh Pusdiknakes. Hal ini juga berkaitan dengan pelatihan tambahan yang dibuat oleh Pusdiklat SDM Kesehatan, yang dasarnya adalah tugas pokok yang dibuat oleh Pusrengunnakes. Dan semuanya ditopang oleh Sekretariat Badan dalam pelayanan administrasi dan lain-lain. Untuk pemberdayaan tenaga kesehatan ke luar negeri, adalah bagaimana kita memanfaatkan kesempatan yang ada. Filosofinya bukan sekedar untuk mendatangkan devisa, yang utama adalah bagaimana tenaga kesehatan kita bisa menimba ilmu tentang pelayanan kesehatan yang baik itu bagaimana. Sehingga waktu mereka kembali kita harapkan pelayanan kesehatan yang kita punyai saat ini kalau sudah maksimal kita pertahankan kalau belum maksimal dapat lebih ditingkatkan lagi. Hal yang lain adalah para tenaga kesehatan yang telah kembali ke tanah air dapat mengkombinasikan pengetahuan yang didapat dengan ilmu yang ada di pemerintahan.

Sekarang adalah bagaimana kita mengembangkan filosofinya agar tenaga kesehatan yang telah kembali ke Indonesia tidak sia-sia. Dan kita manfaatkan serta didayagunakan untuk melihat langsung perbandingan dengan negara lain. Sehingga bila mereka kembali ke instansi semula, mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Yang perlu diingat, walupun mereka mendapat hal yang bagus di luar negeri, tapi belum tentu cocok dengan kondisi di Indonesia. Puspronakes mengirim tenaga kesehatan tidak untuk merubah sosial budaya, adat istiadat, dan lain-lain, tetapi untuk melihat atau studi banding.

Standar dan registrasi tenaga kesehatan non dokter dan dokter gigi
Sebelum ada KKI sudah dirintis bahwa tenaga kesehatan yang berhubungan dengan profesi kesehatan harus ada regulasinya. Sesorang yang lulus pendidikan tenaga kesehatan harus diregistrasi. Saat ini Puspronakes sedang berusaha meningkatkan perbaikan sistimnya. Dalam waktu dekat kita akan menyusun UU-nya, semacam UU Praktik Kedokteran. Kalau dilihat regulasinya, sesorang yang lulus dari institusi pendidikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang akan bekerja di Indonesia untuk bisa bekerja di wilayah Indonesia, harus diregistrasi terlebih dahulu. Yang mengeluarkan registrasi ini adalah badan-badan yang ditunjuk dan dibantu oleh organisasi profesi untuk menguji kompetensinya. Demikian halnya untuk ke luar negeri pun kita diuji kompetensi dulu, baru bisa bekerja. Tujuannya adalah untuk menghindari malpraktek, dan kesalahan-kesalahan lain, supaya standar pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia itu ada, tentunya disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah.

Menjalin kerjasama dengan pihak Luar Negeri
Saat ini mekanisme yang kita jalankan adalah menghubungi pemerintah-pemerintah negara lain melalui Deplu, Konjen, dan para Dubes. Hampir seluruh dunia kita sudah menjalin kerjasama. Karena ada kaitannya dengan PJTKI yang baru ada MoU-nya adalah negar-negara Eropa, Amerika dan akan dijalin dengan Australia. Karena di negara-negara maju ini hal-hal yang demikian ini sudah dilakukan oleh pihak swasta, jadi kita menjalin kerjasama dengan pihak swasta. Jadi nantinya MoU ini ditingkatkan menjadi G to G dengan bantuan Deplu, misal Depkes menjalin kerjasama dengan pihak luar negeri, Depnakertrans demikian juga, itu oleh Deplu digabung menjadi G to G, nah untuk masing-masing Departemen adalah G to P. Karena di negara maju sudah berjalan, maka kita tinggal memperbaiki sistem dan sistimnya di negara kita.

Kendala utama
Kendala banyak, yang utama adalah, ketidakjujuran akibat dari vested intereted, dan itu selalu muncul. Contoh ke arab saudi gaji perawat kita dibayar 600 dolar per bulan, padahal informasi lain yang akurat, harusnya mereka dapat 1200 dolar, kita berusaha mengatur dalam hal ini. Demikian juga ke Amerika kita menemukan hal yang sama dalam ketidakjujuran. Namun kendala umum dapat kita atasi, kuncinya adalah transparan.

Menjalin kerjasama membangun kemitraan.
Kenapa banyak yag berminat dalam pengiriman nakes ke luar negeri, karena ada imbalannya, reward dan lain sebagainya. Ada poin dan koin, koin ini adalah yang diincar oleh swasta kita, dan kita sebagai pemerintah tidak boleh menerima imbalan seperti itu karena kerjasama kita dalam hal ini G to P. Privat di luar negeri memberikan imbalan sangat variatif sekali. Hal ini ditentukan oleh privat mereka dan privat yang membantu kita dalam melakukan recruitment, seleksi dll.

Fungsi Fasilitasi
Memang akhirnya Puspronakes dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitasi, karena memang itulah tugas pusat atau steering. Bila sektor swasta bergerak dengan aturan yang telah ditetapkan, maka ekonomi kita juga akan ikut bergerak.

Penerapan standar dan evaluasinya
Kita menetapkan standar mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi. Ada monitoring yang melibatkan Deplu, Depnakertrans dll, karena kita tidak mungkin melaksanakan monitoring sendirian.

Keberadaan Tenaga Kesehatan asing sehubungan dengan isu global.
Memang isu global ini kita tidak bisa menolak nakes asing akan masuk ke tanah air, apalagi dengan adanya perjanjian WTO yang ditandatangani oleh 144 negara. Kalau kita tidak siap dengan regulasinya, maka kita akan menemui banyak masalah dan tidak berjalan. Misalnya tenaga kesehatan asing mau praktik di Indonesia, kalau kita tidak mempunyai standar, maka nakes asing akan memakai standar mereka sendiri dalam bekerja disini. Oleh karena itu kita harus mempunyai standar tenaga kesehatan di luar dokter dan dokter gigi (sudah ada Konsil Kedokteran -red). Karena di luar negeri tahunya kalau ada urusan yang berhubungan dengan SDM Kesehatan, maka mereka menghubungi Menkes RI, kemudian didelegasikan kepada Badan PPSDM Kesehatan, dalam hal ini Puspronakes. Di luar dokter dan dokter gigi (kita juga bekerjasama dengan KKI) harus di registrasi juga untuk nakes asing yang akan bekerja di Indonesia. Jadi mereka mendaftar ke Badan PPSDM, setelah itu kita panggil organisasi profesinya, lalu diwajibkan untuk mengikut uji kompetensi, setelah lulus baru diijinkan bekerja di Indonesia. Demikian pula di daerah, mekanismenya melalui Depkes, kemudian ke Badan PPSDM Kesehatan lalu ke Puspronakes, dari Puspronakes apabila mau bekerja di daerah, maka kita arahkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi untuk mendapatkan registrasi atas nama Menkes. Nakes asing untuk bisa berpraktik harus mempunya registrasi, untuk bisa membuka tempat praktik harus ada surat ijin praktik (SIP) yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan masing-masing Provinsi. Regulasinya seperti itu agar kita dapat mengontrol keberadaan nakes asing di Indonesia.

Pihak mana saja yang dapat menjalankan kerjasama.
Dalam hal penempatan nakes ke luar negeri sebetulnya yang harus kita rintis terlebih dahulu adalah kerjasama lintas sektor pemerintah (Depnakertrans, Deplu) kemudian kita kembangkan lebihlanjut dengan Depkum dan HAM (imigrasi) yang akan mengurusi masalah dokumen imigrasi. Kalau kita tidak mempuyai dokumen imigrasi yang lengkap maka akan bermasalah di luar negeri, bagaimanapun juga warga negara RI yang berada di luar negeri menjadi tanggung jawab pemerintah, karena kita dalam pengiriman nakes ke luar negeri dibawah PP No 102a, bahwa yang dapat merekrut dan mengirimkan nakes ke luar negeri adalah pemerintah atau pihak swasta yang ditunjuk.

Bagaimana dengan pihak Pemda yang mengirimkan nakes ke luar negeri.
Dalam hal ini, pemerintah daerah memang banyak mengirimkan nakes tanpa melalui kita, sehingga nanti kita akan buatkan payung besar untuk menjalin kerjasama dalam hal pengiriman. Yang perlu digaris bawahi bukan berarti pemda yang akan mengirimkan nakes ke luar negeri harus melalui Pusat. Jadi kita tidak mempersulit, yang pokok, nakes yang akan dikirim hendaknya dicatat dengan baik, agar mudah dalam pengontrolan dan menjaga keselamatan tenaga kesehatan itu sendiri. Kita sudah menjalin kerjasama dengan Depnakertrans dan Depkum HAM, agar nakes kita terlindungi pada waktu mereka bekerja di luar negeri.

Bagaimana dengan analisis kecenderungan tenaga kesehatan.
Dengan adanya isu global, sekarang bagaimana masyarakat mempertahankan kesehatannya, bukan memperbaiki. Saat ini masih terjadi mal distribusi tenaga kesehatan di Indonesia, jadi dalam hal pemerataan tenaga kesehatan adalah tugas pemerintah. Maka bila ada dokter asing masuk, kecenderungan masyarakat lebih memilih dan percaya kepada dokter asing, padahal kemampuan dan kualitas dokter kita bisa dikatakan sama. Masalahnya hanya tinggal membangun jalinan kepercayaan dengan masyarakat.

Jenis Nakes yang dikirim ke luar negeri
Karena di luar negeri saat ini yang dibutuhkan adalah perawat dan sebagian tenaga elektromedik, jadi baru perawat tenaga elektromedik saja yang kita kirim. Sebetulnya peluang seperti ini kita harus jeli dalam menangkap peluang-peluang tersebut. Misalnya perlu perawat yang bisa bekerja di ruang kebidanan, kenapa tidak kita kirim bidan saja. Hal inilah ini yang akan kita olah dan dikembangkan lebih lanjut. Untuk dokter dan dokter gigi sementara ini pengirimannya masih melalui puspronakes.

Apakah untuk ke depannya diperlukan semacam konsil tenaga kesehatan non dokter dan dokter gigi.
PP 32 hanya menyebut 7 kategori tenaga kesehatan, dengan adanya UU Praktik Kedokteran kita juga akan membuat dua payung Undang Undang. Yang pertama adalah UU tenaga kesehatan yang berhubungan dengan pasien (perawat, bidan,dll). Sehingga ada kejelasan tentang jenis nakes yang berhubungan dengan pasien itu apa saja. Dan yang kedua UU tenaga kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan pasien (teknisi elektromedik, teknik rontgen, dll). Dibawah UU ini ada konsil-konsil yang akan meregistrasi dan menguji kompetensi dari masing-masing jenis nakes ini. Puspronakes salah satu tugas pokoknya adalah memberdayakan profesi kesehatan, salah satu yang ada kaitannya adalah standarisasi dan komptensi kurikulum harus jelas. Kalau kurikulum pendidikan telah terstandar, maka begitu lulus pendidikan tidak perlu diregistrasi. Karena nakes akan melayani kesehatan sesuai dengan bidangnya. Tapi 3 atau 5 tahun kemudian perlu diuji kompetensinya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,karena perkembangan IPTEK atau kemungkinan lupa, dll. Kalau terstandar dengan jelas dan sama maka nakes akan terlindungi. Inilah maksud uji kompetensi ini selain melindungi masyarakat juga melindungi nakes tersebut, karena Standar Operating Prosedur benar-benar dijalankan, secara tidak langsung masyarakat ikut terjamin juga.

Sejauh mana perhatian organisasi profesi mengenai hal tersebut.
Hal ini variatif sekali, ada organisasi profesi yang sudah jauh melihat hal ini sebagai preseden yang baik. Tapi ada juga yang kurang memperhatikan. Sampai saat ini Ikatan Bidan Indonesia, PPNI, Refraksionis, Gizi, dll sangat memperhatikan. Kita sudah mempunyai kurang lebih 25 organisasi profesi yang cukup interest. Dari memperhatikan kompetensinya, standarnya, dan lain lain. Kebetulan pemerintah mempunyai program Desa Siaga, organisasi profesi yang berkenaan dengan tenaga kesehatan yang akan ditempatkan sangat memperhatikan akan hal tersebut.

Perencanaan ke depan organisasi profesi
Mereka harus melihat pemerintah dalam hal perencanaan nakes, dalam hal ini Pusrengunakes. Seperti kurikulum yang dibuat Pusdiknakes, organisasi profesi hanya membantu dalam menyusun kurikulum. Dalam hal ini, organisasi profesi mengurusi masalah kompetensinya. Pusdiknakes menyusun kurikulum berdasar masukan dari Puspronakes. Supaya lulusan nakes dapat mencapai kompetensi seperti yang disusun oleh organisasi profesi maka perencanaan ini tidak dilaksanakan sendiri-sendiri. Pusrengunakes dalam hal ini merencanakan kebutuhan dan jenis tenaga kesehatan, dalam perencanaan dibutuhkan apa tidak jenis nakes seperti yang diusulkan oleh organisasi profesi melalui puspronakes. Jadi, perencanaan dan kebutuhan nakes kita harus jelas dan terarah untuk mencapai kompetensi ini. Apabila kompetensi ini dirasa kurang maka Pusdiklat menyiapkan pelatihan untuk mencapai kompetensi.

Harapan ke depan terhadap organisasi profesi.
Harapan kita terhadap organisasi agar mereka mempunyai suatu organisasi yang tangguh. Ini tugas kita untuk memberdayakan organisasi profesi, karena organisasi profesi mempunyai andil yang cukup besar dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Selain itu juga melindungi masyarakat dan profesinya. Kita hanya memfasilitasi saja bagaimana organisasi profesi di Indonesia lebih berdaya dan meningkat.

Sumber : Sub Bagian Humas, Set Badan PPSDM Kesehatan
Safe Staffing dalam Pelayanan Kesehatan menyelamatkan kehidupan dan penghematan dana keperawatan sedunia menghimbau legislator dan penentu kebijakan untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan SDM Keperawatan yang memadai dan sesuai dalam tatanan/sarana pelayanan kesehatan.

Organisasi Profesi Keperawatan di Indonesia yang dikenal dengan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) atau Indonesian Nurses Association (INNA) didirikan pada tanggal 17 maret 1974 yang merupakan wadah lebih dari 300.000 perawat Indonesia ini mempunyai kepengurusan yang menyebar di seluruh Indonesia, yaitu satu Pengurus Pusat yang berkedudukan di Ibu Kota Negara, 32 Pengurus Provinsi, 358 Pengurus Kabupaten/Kota dan lebih dari 2500 Komisariat PPNI. Saat ini sudah dibentuk Indonesian Nurses Association in Kuwait (INAK) yang selanjutnya sedang berproses sebagai cabang dari PPNI atau INNA. Mengingat sudah semakin banyak perawat Indonesia berkiprah, khususnya yang bekerja di mancanegara, maka PPNI membentuk cabangnya di luar negeri.

Sejak Juni 2003, PPNI/INNA telah menjadi anggota ICN (International Council of Nurses) ke 125 dari 129 National Nurses Association yang menjadi anggota ICN dan menghimpun 13 juta perawat sedunia yang merupakan 80% dari tenaga kesehatan secara keseluruhan. Mereka bekerja 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. ICN didirikan sejak tahun 1899. Dengan keanggotaan PPNI/INNA di berbagai Negara, maka akan lebih mudah bagi PPNI/INNA untuk memberikan perlindungan dan dukungan bagi perawat Indonesia.

Visi dan Misi PPNI
Sebagaimana suatu organisasi, PPNI yang merupakan wadah komunitas keperawatan yang merupakan mayoritas tenaga kesehatan, berupaya membangun kekuatan kolektif.
Visi PPNI:
adalah menjadi corong yang kuat bagi komunitas keperawatan dan komit terhadap pemberian asuhan keperawatan professional yang berkualitas bagi kepentingan masyarakat.
Misi PPNI adalah:
Memantapkan manajemen dan kepemimpinan Pengurus PPNI untuk mencapai suatu kepengurusan yang kokoh dan jejaring kinerja yang kuat pada semua tingkat (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan Komisariat),
Mendukung perawat/ners Indonesia dalam melakukan praktek keperawatan yang aman, kompeten dan professional kepada masyarakat Indonesia,
Membuka pintu gerbang dunia bagi perawat Indonesia melalui kompetensi global yang dimiliki.
Hari Keperawatan Sedunia 12 Mei 2006
Jika PPNI menetapkan Hari Keperawatan Indonesia pada tanggal 17 Maret, maka ICN mencanangkan setiap tanggal 12 Mei diperingati sebagai Hari Keperawatan Sedunia atau Internasional Nurses Day. Tema yang dicanangkan oleh ICN dalam peringatan IND adalah ?Safe Staffing Saves Lives? Tenaga Keperawatan (staffing) yang tidak memadai dalam tatanan pelayanan kesehatan telah mencapai proporsi krisis di semua wilayah. Fakta menunjukkan bahwa kondisi krisis dan terpuruknya ketenagaan keperawatan ini telah mengakibatkan meningkatnya jumlah hari rawat di rumah sakit, angka kesakitan dan angka kematian serta kasus kelalaian yang sebenarnya dapat dicegah. Pada Hari Keperawatan Sedunia ini, perawat dimanapun berada dihimbau pada penetap kebijakan untuk memperhatikan masalah yang amat serius ini dan merencanakan sumber daya manusia kesehatan secara komprehensif dan menetapkan rasio perawat dan pasien yang memadai pada semua tatanan atau sarana kesehatan.

Pemberian pelayanan menjadi prioritas utama bagi banyak negara; termasuk Indonesia, namun sulit untuk membuat pelayanan kesehatan terjangkau dan bermutu bagi masyarakat luas. Apabila suplai tenaga kesehatan dalam sistem kesehatan tidak memadai maka kualitas kehidupan kerja akan terpuruk.

Walaupun tidak ada definisi umum tentang apa yang dimaksudkan dengan safe staffing, terutama untuk bisa mengakomodasi seluruh tatanan internasional, namun tema yang diangkat kali ini mengacu pada situasi dimana jumlah dan kualifikasi perawat untuk memenuhi kebutuhan klien yang komplek dalam berbagai tatanan pelayanan kesehatan.

Safe Staffing tidak hanya berarti jumlah dan jenis tenaga keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan kepada klien, tetapi meliputi; beban kerja, lingkungan, kerja kompleksitas pasien, tingkat keterampilan staf, kombinasi tenaga keperawatan, efisensi dana dan keterkaitannya dengan hasil pada pasien dan perawat, bahkan mencakup elemen keselamatan pasien.

Hasil penelitian:
Peningkatan beban kerja perawat dari empat orang pasien menjadi enam orang, mengakibatkan 14% peningkatan kematian pasien yang dirawat dalam 30 hari pertama sejak dirawat di rumah sakit,
Terdapat hubungan antara jumlah kematian dengan jumlah perawat per pasien dalam sehari. (Sovie & Jawad, 2001: ?Peningkatan jumlah jam kerja RN (Registred Nurses) per pasien terbukti menurunkan frekuensi pasien jatuh dan meningkatkan kepuasan pasien, manajemen nyeri terhadap pasien),
Terdapat hubungan antara tingkat staffing dengan dampak pada pasien (CFNU, 2005: ?tidak memadainya jumlah dan kualifikasi perawat berhubungan dengan kejadian tukak baring, infeksi saluran kemih, pneumonia, infeksi luka operasi, kesalahan medik, thrombosis, manajemen nyeri, perdarahan gastroinstestinal, jatuh, gagal jantung dan rawat ulang?),
Institusi pelayanan kesehatan dengan jumlah perawat dan dokter yang memadai menggunakan besarnya jumlah staf untuk menaikkan tingkat kompetisi terhadap rumah sakit lain,
Jumlah perawat berhubungan dengan kondisi kesehatan perawat (Sheward, et.al, 2005: ?perawat yang bekerja lembur terus menerus atau bekerja tanpa dukungan yang memadai cenderung untuk banyak tidak masuk kerja dan kondisi kesehatan yang buruk?.),
50,9% perawat Indonesia yang bekerja di 4 provinsi mengalami stress kerja, sering merasa pusing, lelah, tidak ada istirahat karena beban kerja terlalu tinggi dan menyita waktu, gaji rendah tanpa insentif yang memadai. Namun perawat yang bekerja di RS Swasta dengan gaji yang lebih baik mengalami stress kerja yang lebih besar dibandingkan perawat yang bekerja di RS Pemerintah dengan penghasilan yang lebih rendah (PPNI, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas kehidupan secara menyeluruh lebih berpengaruh daripada faktor imbalan uang yang berdiri sendiri,
Hasil penelitian di Puskesmas terpencil di 10 provinsi, 20 Kabupaten dan 60 Puskesmas oleh Depkes dan UI (2005), menunjukkan bahwa;
69% menyatakan Puskesmas tidak mempunyai sistem penghargaan bagi perawat;
78,8% melaksanakan tugas petugas kebersihan;
63,6% melakukan tugas administrasi;
Lebih dari 90% perawat melakukan tugas non keperawatan (menetapkan diagnosis penyakit, membuat resep obat, melakukan tindakan pengobatan), sementara hanya 50% melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan peran dan fungsinya.
Peranan Asosiasi Perawat Nasional Anggota ICN, termasuk PPNI

Riset:
PPNI sebagai salah satu Organisasi Profesi bersama Asosiasi Perawat Nasional Sedunia lainnya berpengaruh dalam menetapkan agenda penelitian pada tatanan lokal, nasional, dan internasional. Menjalin jejaring dengan institusi pendidikan dan pelayanan serta menyediakan sumber data atau kepakaran dan bahkan melakukan kegiatan penelitian. Asosiasi Profesi merupakan mitra yang dapat diandalkan untuk mendapatkan bantuan dana dalam mengumpulkan data dan menganalisis situasi. Temuan ini dapat dijadikan dasar dalam menetapkan keputusan dan perumusan kebijakan pemerintah.

Penetapan Kebijakan:
Perawat pemimpin proaktif dan berpengetahuan tinggi untuk menyelesaikan masalah. Sektor kesehatan dan para perawat memerlukan asosiasi profesi untuk dapat memberikan bimbingan dan strategi yang efektif dalam menangani masalah ketenagaan. Proses akreditasi bagi institusi pelayanan kesehatan menggunakan indicator safe staffing sebagai kriteria yang diusulkan oleh Asosiasi Profesi. Asosiasi Profesi juga terlibat aktif dalam merancang Undang-undang Praktik Keperawatan, Sistem Kesehatan Nasional dan upaya untuk mendekatkan pelayanan kesehatan sehingga terjangkau bagi masyarakat.

Advokasi:
PPNI dan Asosiasi Profesi lain memainkan peranan penting dalam memberikan advokasi tentang lingkungan kerja yang sehat dan praktik safe staffing. Bisa pada tingkat nasional maupun forum khusus yang menghimpun perawat dengan peminatan tertentu, misalnya IPANI (Ikatan Perawat Anak Indonesia) bisa saja memberikan advokasi tentang staffing yang memadai untuk unit rawat anak di rumah sakit.

Perwakilan:
Di dalam suatu lingkungan atau kondisi yang sarat dengan potensi peningkatan litigasi atau tuntutan hukum, perawat harus menanggung sendiri proses hukum bahkan harus menangung sendiri biaya jika dihadapkan pada tuntutan hukum, walaupun sebenarnya merupakan masalah sistem kesehatan, bukan karena kelalaian individu perawat. Dalam hal ini PPNI maupun Asosiasi Perawat di berbagai Negara bertanggung jawab untuk membela anggotanya baik dalam persidangan maupun dalam menghadapi Badan Regulatori.

Negosiasi:
Pada situasi terpuruknya tenaga keperawatan, seringkali perencanaan sumber daya manusia menjadi salah satu upaya penting untuk diperjuangkan. PPNI berperan penting untuk menyuarakan komunitas keperawatan, menegosiasikan suplai perawat yang memadai ketika memasuki dunia kerja dan mendorong kondisi kerja yang baik serta dapat membuat perawat yang kompeten betah bekerja dalam bidang kesehatan dan tidak meninggalkan profesi keperawatan.

sumber.bppsdmk.depkes.go.id
Antisipasi Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan guna Mendukung Indonesia Sehat 2010


Bppsdmk, Jakarta - Pengadaan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan diselenggarakan antara lain melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan atau masyarakat, demikian antara lain bunyi pasal 51 UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Untuk medukung hal tersebut maka PP No. 32 tentang tenaga kesehatan telah menetapkan bahwa Perencanaan nasional tenaga kesehatan adalah menjadi tanggung jawab Menteri Kesehatan dengan memeperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat, sarana pelayanan kesehatan serta jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Untuk melaksanakan hal-hal tersebut di atas maka Departemen Kesehatan telah mencanangkan visi baru, misi serta kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan melalui Indonesia Sehat 2010 yang dideklarasikan presiden B.J Habibie tahun 1999. Salah satu strateginya di bidang pengembangan sumber daya Manusia Kesehatan adalah pemantapan profesionalisme tenaga kesehatan.

Untuk mencapai dan menetapkan ukuran tentang semua upaya kesehatan agar dapat diukur secara baik, maka melalui Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2003 telah ditetapkan indikator keberhasilan Indonesia Sehat 2010 untuk semua jenis pelayanan kesehatan termasuk tentang indikator sumber daya kesehatan yang merupakan kelompok indikator proses dan masukan untuk mencapai atau melaksanakan pelayanan kesehatan dalam mencapai Indonesia Sehat 2010.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka Pusat Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Badan PPSDM Kesehatan telah menyusun perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dengan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku tersebut di atas melalui Keputusan menteri Kesehatan Nomor : 81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Perencana-an SDM Kesehatan di Tingkat Propinsi, Kab/Kota serta Rumah Sakit tertanggal 13 januari 2004.

ANTISIPASI KEBUTUHAN DOKTER
Dalam hal jumlah tenaga dokter apabila diperhitungkan secara deret hitung maka pada saat ini diperkirakan jumlah dokter sekitar 40.000 orang ini berarti bahwa untuk mencapai jumlah 94.376 orang di tahun 2010 diperlukan tambahan dokter baru sebanyak 54.376 dokter baru. Ini berarti bahwa setiap tahun diperlukan penambahan dokter sebanyak 54.376 dibagi 7 (tujuh tahun lagi) atau sebanyak 7.768 dokter baru.

Melihat situasi keberadaan Fakultas Kedokteran yang ada saat ini berjumlah sekitar 45 buah fakultas kedokteran negeri yang rata rata kelulusannya sekitar 100 orang dokter, maka maksimal hanya dihasilkan dokter baru sebanyak 4.500 orang dokter . Sedangkan Fakultas kedokteran swasta yang saat ini baru berdiri masih belum bisa diharapkan kontribusinya dalam waktu dekat ini. Dengan demikian kita akan kekurangan tenaga dokter sekitar 3.000 orang setiap tahunnya, ini berarti bahwa apabila kita ingin konsisten menunjang kebutuhan akan dokter dalam menunjang pencapaian Indonesia sehat 2010 maka mau tidak mau harus memepercepat produksi dokter melalui fakultas kedokteran swasta dengan tidak boleh mengesampingkan kualitasnya. Jalan lain yang bisa ditempuh adalah memanfaatkan kondisi globalisasi dengan membuka seluas-luasnya masuknya tenaga kesehatan asing di Indonesia untuk dapat ditempatkan pada sarana pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta yang membutuhkan.

KEBUTUHAN TENAGA KESEHATAN TAHUN 2010
Dalam Kepmenkes 1202 tahun 2003 tentang indikator Indonesia sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, indikator tenaga kesehatan baru ditetapkan sebanyak 10 ( sepuluh ) jenis tenaga kesehatan antara lain :

Tenaga Kesehatan
Penduduk Thn 2010 Rasio per 100.000
Nakes Thn 2010* Perkiraan Jumlah
Dokter 40 94.376
Dokter Spesialis 6 14.156
Dokter Keluarga 2 : 1.000 keluarga 94.376 ( asumsi 1 kel 5 jiwa )
Dokter Gigi 11 25.953
Apoteker 10 23.594
Bidan 100 235.939
Perawat 117,5 276.049
Ahli Gizi 22 51.907
Ahli Sanitasi 40 94.376
Ahli Kesh. Masyarakat 40 94.376
? ? ?

*) Dengan mempergunakan dasar perhitungan tersebut maka apabila mengacu jumlah penduduk di tahun 2003 sebanyak 214.800.000 jiwa dan perkiraan pertambahan penduduk sebesar 1,35 % per tahun maka pada tahun 2010 penduduk Indonesia diperkiran sebesar 235.939.000 jiwa sehingga pada saat itu dibutuhkan sejumlah tenaga kesehatan untuk mendukung pencapaian Indonesia Sehat 2010.

ANTISIPASI KEBUTUHAN TENAGA KEPERAWATAN
Jumlah tenaga lulusan keperawatan yang sampai dengan 2003 diperkirakan sebanyak 233.116 orang tersebar di seluruh wilayah. Apabila dibandingkan dengan Indikator Indonesia sehat 2010 sebesar 117 orang perawat untuk 100.000 penduduk atau sebanyak 276.049 orang perawat di tahun 2010, maka Indonesia hanya memerlukan tambahan tenaga perawat sebanyak 42.933 orang perawat lagi untuk memenuhi kebutuhan dalam menunjang Indonesia Sehat 2010 atau sekitar 6.130 orang perawat setiap tahunnya.

Berbeda halnya dengan tenaga dokter yang institusi pendidikannya sangat terbatas maka khusus untuk tenaga keperawatan sampai saat ini telah berdiri sekitar 32 buah Politeknis Kesehatan dan 598 Akademi Kesehatan yang berstatus milik daerah, ABRI, dan Swasta (DAS) yang saat ini telah menghasilkan lulusan sekitar 20 ? 23.000 lulusan tenaga Perawat setiap tahunnya. Apabila dibandingkan dengan jumlah kebutuhan untuk menunjang Indonesia Sehat 2010 sebanyak 6.130 orang setiap tahun, sedangkan lulusan tenaga Keperawatan sebesar 23.000 orang maka khusus untuk tenaga keperawatan akan terjadi surplus tenaga sekitar 16.670 tenaga perawat setiap tahunnya.

Oleh karena itu masih layakkah kita saat ini masih terus menerus mendirikan sekolah setingkat diploma III keperawatan yang sudah secara jelas jumlah produksi mengalami kelebihan . Apakah tidak sebaiknya para mitra swasta yang berminat di bidang pendidikan ini mengalihkan perhatiannya dengan mendirikan pendidikan non keperawatan seperti pendidikan tenaga Refraksi Optisi atau Radiografer yang sudah jelas sangat kekurangan tenaganya dan bahkan untuk tenaga terapi Wicara sampai saat ini hanya terdapat satu institusi pendidikan swasta yang bergerak di bidang pendidikan terapi wicara.

Oleh karena itu untuk mengantisipasi kelebihan tenaga tersebut salah satu yang perlu disiapkan oleh semua pihak terkait adalah bagaimana memenuhi kebutuhan masyarakat di Luar Negeri yang sangat banyak setiap tahunnya sehingga kelulusannya lebih ditingkatkan dengan cara meningkatkan kemampuan/kualitas lulusan yang ada saat ini.

Bagi organisasi profesi penataan profesi keperawatan merupakan sesuatu yang sudah tidak bisa ditawar lagi agar mampu dan diakui oleh organisasi keperawatan di Luar Negeri dengan melakukan sertifikasi tenaga Keperawatan yang berstandar International.

Kepada pihak swasta yang berminat di bidang Institusi pendidikan, diharapkan mampu menerapkan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan melaksanakannya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan tanpa mengurangi kewajiban yang harus disiapkan sehingga mengakibatkan menurunnya kualitas tenaga keperawatan. Kata kunci bagi pihak swasta untuk ikut bertanggung jawab terhadap mutu tenaga keperawatan adalah dengan mendirikan Institusi Keperawatan yang memenuhi syarat baik kurikulum maupun sarana dan prasarana yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

ANTISIPASI TENAGA SANITARIAN
Sanitarian sebagai salah satu dari tenaga yang berkategori sebagai tenaga Kesehatan masyarakat dimana semua upaya pelayanannya bersifat sebagai public goods maka akan sangat berbeda dengan tenaga keperawatan dan dokter yang lebih bersifat private goods.

Perhitungan kebutuhan untuk mendukung Indonesia Sehat 2010 sebanyak 94.376 sanitarian sedangkan saat in baru mempunyai tenaga sebanyak 12.461 orang masih membutuhkan tenaga sanitarian sebanyak 81.915 orang atau sekitar 11.000 sanitarian setiap tahunnya. Apabila dikaitkan dengan Institusi pendidikan sanitarian yang ada saat ini yaitu D III kesehatan lingkungan yang berjumlah 23 buah dan dari jurusan Kes. Lingkungan di Poltekes sebanyak 20 buah apabila diperkirakan setiap institusi mengahasilkan lulusan sebanyak 60 orang setiap tahunnya maka institusi ini baru mengahsilkan lulusan sebanyak 2.580 orang atau masih kekurangan 8.420 orang. Meskipun secara perhitungan bahwa tenaga Sanitarian masih sangat kekurangan namun pada kenyataannya masih banyak tenaga sanitarian yang belum bekerja sesuai dengan bidangnya karena keterbatasan pemerintah dalam menyerap tenaga ini.

Atas dasar hal tersebut di atas maka kiranya sudah saatnya di dalam merencanakan kebutuhan tenaga kesehatan di masa mendatang sudah harus dipikirkan perekrutan terhadap tenaga public health dan bukan hanya tenaga dokter, perawat dan bidan yang telah dijalankan selama ini. Dengan demikian pengangkatan Sanitarian dan tenaga public Health lainnya sebagai Pegawai Negri Sipil Perlu medapatkan dukungan dari semua pihak mengingat bahwa tenaga public health merupakan tenaga yang keberadaanya memang diperuntukan memikirkan kepentingan masyarakat luas bukan untuk kepentingan individu/perorangan.

Ketiga contoh tenaga tersebut diatas adalah merupakan contoh yang perlu mendapatkan perhatian lebih seksama dengan telah dikeluarkannya pedoman dan Keputusan menteri kesehatan yang berkaitan dengan penataan tenaga kesehatan pada khususnya dan SDM Kesehatan pada umunya karena sebetulnya masih banyak hal-hal yang perlu diantisipasi di bidang ketenagaan dan sumberdaya Manusia Kesehatan lainya seperti dibutuhkannya jenis tenaga Sarjana Hukum yang ahli di bidang kesehatan atau ahli ekonomi kesehatan serta tenaga aktuaria yang terkait erat dengan pelayanan dokter keluarga dalam hal menghitung premi pelayanan kesehatan dan cost analisis untuk advokasi kepada pemegang kekuasaan sehingga memahami arti penting pembiayaan kesehatan dihubungkan dengan masalah ekonomi. Untuk itu diperlukan antisipasi terhadap semua jenis tenaga lainnya yang lebih terperinci satu persatu pada kesempatan lainnya.

sumber.http://www.bppsdmk.depkes.go.id
Peluang Kerja TKKI (Tenaga Kerja Kesehatan Indonesia) ke Luar Negeri Oleh: Drg. Tiarny G. Sianturi,MARS, Staf Bidang Evaluasi dan Pemantauan Pusat Pronakes LN, Badan PPSDM Kesehatan Depkes RI


Bppsdmk, Jakarta - Peluang kerja bagi Tenaga Kerja Kesehatan Indonesia (TKKI) untuk bekerja ke luar negeri saat ini telah terbuka luas seiring dengan era globalisasi yang juga merambah ke liberalisasi jasa kesehatan, khususnya Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan. Profesi Kesehatan yang banyak dibutuhkan pasar di luar negeri memang masih di dominasi oleh profesi Dokter dan Perawat tetapi tidak tertutup kemungkinan profesi tenaga kesehatan lain juga dapat menembus pasar internasional.

Berbicara tentang potensi pasar dan pemanfaatan peluang yang ada tentu tidak lepas dari mutu TKKI kita yang tentunya diharapkan memiliki kompetensi berstandar internasional agar mampu bersaing dengan tenaga kerja kesehatan dari negara lain dalam merebut kesempatan bekerja. Upaya mewujudkan TKKI yang memiliki kompetensi berstandar internasional sebenarnya diharapkan sudah dimulai sejak masa pendidikan formal, sehingga ketika ada peluang hanya tinggal memoles sedikit untuk mempersiapkan TKKI tersebut siap “go international”, misalnya hanya tinggal menambah kemampuan penguasaan bahasa asing & pengetahuan tentang kultur budaya negara yang dituju.

Pusat Pemberdayaan Profesi dan Tenaga Kesehatan Luar Negeri (Pusat Pronakes LN) Departemen Kesehatan RI, yang merupakan unit termuda di bawah Badan PPSDM Kesehatan Depkes RI, tidak hanya menyelenggarakan kegiatan untuk meningkatkan kompetensi TKKI agar berstandar internasional tetapi juga melakukan analisis pasar, monitoring dan evaluasi penempatannya. Kerjasama dengan departemen terkait dan pihak-pihak yang terlibat dalam penempatan TKKI perlu terjalin harmonis, agar peluang pasar TKKI di luar negeri dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. ada dasarnya pemberdayaan TKKI ke luar negeri didasari oleh situasi dan kondisi saat ini yakni : Penyerapan lulusan pendidikan tenaga kesehatan kita di dalam negeri baik di sektor pemerintah dan swasta terbatas, terkait dengan keterbatasan lapangan pekerjaan di dalam negeri, atau dapat dikatakan sebagai "Temporary Surplus of Health Professionals." Sebagai contoh untuk lulusan tenaga perawat saat ini hanya sekitar 20% yang dapat terserap untuk bekerja di dalam negeri

Banyaknya permintaan terhadap TKKI kita dari negara-negara user seiring dengan adanya era globalisasi.

Pusat Pronakes LN Depkes RI mencoba melakukan analisis pasar TKKI ke LN yang bertujuan untuk menggambarkan peta kebutuhan pasar internasional terhadap TKKI secara akurat dan “up to date” , sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak terkait yang membutuhkan dan bahan evaluasi bagi pengembangan pemberdayaan TKKI ke luar negeri.

Diharapkan di masa mendatang melalui negosiasi, monitoring dan evaluasi yang didukung oleh perencanaan kerja yang matang berdasarkan analisis pasar maka penempatan TKKI ke LN akan lebih lancar, dan sekembalinya mereka ke Indonesia para TKKI ini dapat membantu meningkatkan mutu layanan kesehatan kita.

Berikut kami lampirkan Tabel Kebutuhan dan Realisasi TKKI yang Bekerja ke Luar Negeri Berdasarkan Negara Pengguna (yang terdata di Puspronakes LN tahun 2003 s/d 2006). Data ini sekaligus sebagai bahan masukan untuk peluang kesempatan kerja yang ada bagi TKKI ke LN untuk tahun 2007. Data ini merupakan hasil rangkuman dari berbagai sumber yaitu:


Hasil rapat koordinasi promosi dan perlindungan TKI di kawasan Eropa oleh Deplu dan Depnakertrans di Budapest, 3-4 Desember 2006. Peluang kerja tahun 2006, Informasi Depnakertrans RI
Profil Pusat Pronakes LN Depkes RI tahun 2006.
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Pusat Pronakes LN Depkes RI

sumber.http://www.bppsdmk.depkes.go.id

Sunday, November 11, 2007

WASPADAI PEMBERIAN DAN PERESEPAN ANTIBIOTIKA YANG BERLEBIHAN

CAMPAIGN FOR TRUE HEALTH
"Get Smart, Know When Antibiotics Work"



“PEMBERIAN ANTIBIOTIKA BERLEBIHAN PADA ANAK”
Dr Widodo Judarwanto SpA
Rumah Sakit Bunda Jakarta
telp : (021) 31922005 ext 152, 0817171764 email : wido25@hotmail.com ,


“Penderita yang sering berobat di Indonesia bila berobat di luar negeri (terutama di negara maju,) sering khawatir karena bila sakit jarang diberi antibiotika. Sebaliknya pasien yang sering berobat di luar negeri juga sering khawatir, bila berobat di Indonesia setiap sakit selalu mendapatkan antibiotika”. Hal ini bukan sekedar pameo belaka. Tampaknya banyak fakta yang mengatakan bahwa memang di Indonesia, dokter lebih gampang memberikan antibiotika.

Pemberian antibiotika berlebihan pada anak tampaknya memang semakin meningkat dan semakin mengkawatirkan.. Pemberian antibiotika berlebihan atau pemberian irasional artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga dihadapi oleh negara maju seperti Amerika Serikat. Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey, pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut.

Di Indonesia belum ada data resmi tentang penggunaan antibiotika. Sehingga banyak pihak saat ini tidak khawatir dan sepertinya tidak bermasalah. Tetapi berdasarkan tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya pemakaian antibiotika di Indonesia jauh banyak dan lebih mencemaskan.

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
Antibiotika pertama kali ditemukan oleh Alexander Flemming pada tahun 1929 dan digunakan untuk membunuh bakteri secara langsung atau melemahkan bakteri sehingga kemudian dapat dibunuh dengan sistem kekebalan tubuh kita. Antibiotika ada yang merupakan produk alami, semi sintetik, berasal dari alam dibuat dengan beberapa perubahan agar lebih kuat, mengurangi efek samping atau untuk memperluas jenis bakteri yang dapat dibunuh dan sepenuhnya sintetik.

Jenis antibiotika terdiri dari antibiotika narrow spectrum untuk membunuh jenis2 bakteri secara spesifik. Kemampuan membunuh kuman hanya tertentu, contohnya ampicillin, amoxycilin, cotrimoksazol. Jenis lainnya Broad spectrum, membunuh semua jenis bakteri didalam tubuh. Antibiotika yang termasuk kategori ini adalah cephalosporin. Cephalosporin dalam perkembangannya terdapat generasi baru yaitu generasi 2 dan generasi 3. Semakin besar generasinya semakin kuat potensi untuk membunuh kuman. Tampaknya saat ini penggunaan obat generasi 2 dan 3 tersebut saat ini sudah mulai marak, meskipun infeksi yang diderita penderita tidak terlalu berat. Bahkan tidak jarang seorang dokter memberikan obat antibiotika lebih dari 1 antibiotika dalam satu resep.

Di dalam tubuh banyak sekali terdapat bakteri, bahkan salah satu kandungan ASI adalah bakteri. Sebenarnya kebanyakan bakteri dalam tubuh tidaklah jahat. Manfaat bakteri diusus adalah mengubah makanan menjadi nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh dan memproduksi vitamin B dan vitamin K. Fungsi bakteri juga memperbaiki sel dinding usus yang tua atau sudah rusak dan merangsang gerak usus. Dengan menghambat berkembang biaknya bakteri jahat dan secara tidak langsung mencegah tubuh kita agar tidak terinfeksi bakteri jahat.

BAHAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA IRASIONAL PADA ANAK
Sebenarnya pemberian antibiotika secara benar dan sesuai indikasi memang harus diberikan. Meskipun terdapat pertimbangan bahaya efek samping dan mahalnya biaya. Tetapi menjadi masalah yang mengkawatirkan, bila penggunaannnya irasional atau berlebihan. Banyak kerugian yang terjadi bila pemberian antibiotika berlebihan tersebut tidak dikendalikan secara cepat dan tuntas. Kerugian yang dihadapi adalah meningkatnya resistensi terhadap bakteri. Belum lagi perilaku tersebut berpotensi untuk meningkatkan biaya berobat. Harga obat antibiotika sangat mahal dan merupakan bagian terbesar dari biaya pengobatan.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan antibiotika adalah gangguan beberapa organ tubuh. Apalagi bila diberikan kepada bayi dan anak-anak, karena sistem tubuh dan fungsi organ pada bayi dan anak-anak masih belum tumbuh sempurna. Apalagi anak beresiko paling sering mendapatkan antibiotika, karena lebih sering sakit akibat daya tahan tubuh lebih rentan. Bila dalam setahun anak mengalami 9 kali sakit, maka 9 kali 7 hari atau 64 hari anak mendapatkan antibiotika. Gangguan organ tubuh yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan sumsum tulang, gangguan darah dan sebagainya. Gangguan saluran cerna dapat berupa diare, mual, muntah dan nyeri perut. Beberapa antibiotika dapat mengganggu sumsum tulang, salah satunya kloramfenikol. Bila sumsum tulang terganggu maka terjadi gangguan pembentukan sel darah merah menjadikan kurang darah atau anemia. Antibiotika dapat mengganggun fungsi hati. Obat tuberkulosis seperti INH, rifampisin dan PZA (pirazinamid) yang paling sering menimbulkan efek ini. Golongan antibiotika yang bisa menimbulkan gangguan fungsi ginjal adalah aminoglikosida (garamycine, gentamycin), Imipenem, Meropenem dan Ciprofloxacin. Akibat lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan vivir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa (reaksi anafilaksis). Antibiotika juga dapat menimbulkan demam seperti golongan cotrimoksazol (bactrim, septrim), sefalsporin dan eritromisin.

Akibat lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa (reaksi anafilaksis).

Pemakaian antibiotika berlebihan atau irasional juga dapat membunuh kuman yang baik dan berguna yang ada didalam tubuh kita. Sehingga tempat yang semula ditempati oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri jahat atau oleh jamur atau disebut "superinfection". Pemberian antibiotika yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten atau disebut “superbugs”.
Jenis bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah dengan Antibiotika yang ringan. Apabila antibiotikanya digunakan dengan irasional, maka bakteri tersebut mutasi dan menjadi kebal, sehingga memerlukan jenis antibiotika yang lebih kuat. Bila bakteri ini menyebar ke lingkungan sekitar, maka suatu saat akan tercipta kondisi dimana tidak ada lagi jenis antibiotika yang dapat membunuh bakteri yang terus menerus bermutasi ini. Hal ini akan membuat kita kembali ke zaman sebelum antibiotika ditemukan. Pada zaman tersebut infeksi yang diakibatkan oleh bakteri tidak dapat diobati sehingga angka kematian akan drastis melonjak naik. Hal lain yang mungkin terjadi nantinya kebutuhan pemberian antibiotika dengan generasi lebih berat, dan menjadikan biaya pengobatan semakin meningkat karena semakin harganya mahal.

INDIKASI PEMAKAIAN ANTIBIOTIKA
Indikasi yang tepat dan benar dalam pemberian antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek yang berkelanjutan selama lebih 10 – 14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari.

Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kultur urine. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami infeksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium. Infeksi virus dengan peningkatan sedikit pemeriksaan nilai widal sudah divonis gejala tifus dan dihantam dengan antibiotika.

Sebagian besar kasus penyakit pada anak yang berobat jalan penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus. Sebaiknya jangan terlalu mudah mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya secara alamiah pilek, batuk dan pengeluaran cairan hidung akan menetap paling lama sampai 14 hari setelah gejala lainnya membaik. Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 penderita pilek(flu) karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis sangat jarang sekali terjadi komplikasi bakteri.

SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB ?
Dalam permasalahan penggunaan antibiotika yang berlebihan ini, pihak manakah yang bertanggung jawab untuk mengatasinya? Permasalahan ini tidak sesederhana seperti yang kita lihat. Banyak pihak yang berperanan dan terlibat dalam penggunaan antibiotika berlebihan ini. Pihak yang terlibat mulai dari penderita (orang tua penderita), dokter, rumah sakit, apotik, medical representatif, perusahaan farmasi dan pabrik obat.

Orangtua juga sering sebagai faktor terjadinya penggunaan antibiotika yang berlebihan. Pendapat umum yang tidak benar terus berkembang, bahwa kalau tidak memakai antibiotika maka penyakitnya akan lama sembuhnya. Tidak jarang penggunaan antibiotika adalah permintaan dari orang tua. Yang lebih mengkawatirkan saat ini beberapa orang tua dengan tanpa beban membeli sendiri antibiótika tersebut tanpa pertimbangan dokter. Antibiotika yang merupakan golongan obat terbatas, obat yang harus diresepkan oleh dokter. Tetapi runyamnya ternyata obat antibiotika tersebut mudah didapatkan di apotik atau di toko obat meskipun tanpa resep dokter.

Bila penggunaan antibiotika berlebihan lebih dikarenakan faktor dokter, maka orang tua sebagai penerima jasa dalam keadaan posisi yang sulit. Tetapi orang tua penderita sebagai pihak pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya rencana pengobatan, tujuan pengobatan dan akibat efek samping pengobatan tersebut Kalau perlu orang tua sedikit berdiskusi dengan cara bukan menggurui untuk peluang apakah boleh tidak diberi antibiotika.
Persoalan menjadi lebih rumit karena ternyata bisnis perdagangan antibiotika sangat menggiurkan. Pabrik obat, perusahaan farmasi, medical sales representative dan apotik sebagai pihak penyedia obat mempunyai banyak kepentingan. Antibiotika merupakan bisnis utama mereka, sehingga banyak strategi dan cara dilakukan. Dokter sebagai penentu penggunaan antibiotika, harus lebih bijak dan harus lebih mempertimbangkan latar belakang ke ilmuannya. Sesuai sumpah dokter yang pernah diucapkan, apapun pertimbangan pengobatan semuanya adalah demi kepentingan penderita, bukan keperntingan lainnya. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan secara berkala dan berkelanjutan dokter juga ikut berperanan dalam mengurangi perilaku penggunaan antibiótika yang berlebihan ini.

Departemen Kesehatan (Depkes), Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Rumah akit Indonesia (PERSI) dan beberapa intitusi terkait lainnya harus bekerjasama dalam penanganannya. Pendidikan tentang bahaya dan indikasi pemakaian antibiotika yang benar terhadap masyarakat harus terus dilakukan melalui berbagai media yang ada. Penertiban penjualan obat antibiotika oleh apotik dan lebih khusus lagi toko obat harus terus dilakukan tanpa henti. Organisasi profesi kedokteran harus terus berupaya mengevaluasi dan melakukan pemantauan lebih ketat tentang perilaku penggunaan antibiótika yang berlebihan ini terhadap anggotanya. Kalau perlu secara berkala dilakukan penelitian secara menyeluruh terhadap penggunaan antibitioka yang berlebihan ini. Sebaiknya praktek dan strategi promosi obat antibiotika yang tidak sehat juga harus menjadi perhatian. Bukan malah dimanfaatkan untuk kepentingan dokter, meskipun demi kepentingan kegiatan ilmiah. PERSI sebagai wadah organisasi rumah sakit, juga berwenang memberikan pengawasan kepada anggotanya untuk terus melakukan evaluasi yang ketat terhadap formularium obat yang digunakan.

Di Amerika Serikat, karena upaya kampanye dan pendidikan terus menerus terhadap masyarakat dan dokter ternyata dapat menurunkan penggunaan antibiotika secara drastis. Proporsi anak usia 0 – 4 tahun yang mendapatkan antibiotika menuirun dari 47,9% tahun 1996 menjadi 38,1% tahun 2000. Jumlah rata-rata antibiotika yang diresepkan menurun, dari 47.9 1.42 peresepan per anak tahun 1996 menjadi 0.78 peresepan per anak tahun 2000. Rata-rata pengeluaran biaya juga dapat ditekan cukup banyak, padfa tahun 1996 sebesar $31.45 US menjadi $21.04 per anak tahun 2000.

Rekomendasi dan kampanye penyuluhan ke orangtua dan dokter yang telah dilakukan oleh kerjasama CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan pengertian yang benar tentang penggunaan antibiotika. Pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan indikasi antibiotika. Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri.
Upaya ini seharusnya menjadi contoh yang baik terhadap intitusi yang berwenang di Indonesia dalam mengatasi permasalahan pemberian antibiotika ini. Melihat rumitnya permasalahan pemberian antibiotika yang irasional di Indonesia tampaknya sangat sulit dipecahkan. Tetapi kita harus yakin dengan kemauan keras, niat yang tulus dan keterlibatan semua pihak maka permasalahan ini dapat diatasi. Jangan sampai terjadi, kita baru tersadar saat masalah sudah dalam keadaan yang sangat serius.


sumber.http://avianflutidakseindahnamanya.blogspot.com
Pankreatitis Akut, Apakah Memerlukan Pemberian Antibiotik?

YUDISTIRA PANJI SANTOSA
--------------------------------------------------------------------------------

Pendahuluan

Pankreatitis akut adalah reaksi peradangan pankreas yang secara klinis ditandai dengan nyeri perut yang akut disertai kenaikan enzim pankreas dalam darah dan urin1. Pada pankreatitis akut, didapati autodigesti dari enzim pankreas terhadap sel pankreas sehingga menimbulkan reaksi inflamasi2. Inflamasi dimulai dari perilobuler dan jaringan peripankreas dengan manifestasi edema dan nekrosis setempat. Setelah itu, mengenai sel asiner perifer, duktus pankreatikus, pembuluh darah, dan jaringan sekitarnya. Komplikasi digolongkan menjadi dua bagian:

Komplikasi lokal, berupa: (a) Pengumpulan cairan yang akut. Hal ini paling sering terjadi, biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit, dan dapat membaik secara spontan; (b) Nekrosis dari pankreas. Dapat terjadi lokal atau difus, bisa juga steril dan terinfeksi; (c) Abses pankreas. Hal ini merupakan komplikasi lokal yang jarang terjadi; serta (d) Yang lain, seperti pendarahan, trombosis vena splenikus, nekrosis, dan impaksi batu.
Komplikasi sistemik, berupa: (a) Syok sirkulasi; (b) Gagal napas; (c) Gagal ginjal akut; (d) Sepsis; (e) KID (Koagulopati Intravaskular Diseminata); (f) Hiperglikemia; dan (g) Hipokalsemia3.
Secara klinis, penderita pankreatitis akut dapat beragam, dari yang mudah sembuh (self limiting) sampai yang dapat menimbulkan gejala-gejala berat dan kematian. Untuk itu, diperlukan identifikasi pasien yang mempunyai risiko untuk kematian berupa penilaian berat atau tidaknya penyakit yang diderita4.

Saat ini banyak terdapat sistem penilaian, seperti:

Kriteria Ranson
Menilai pada saat pasien masuk/dirawat di rumah sakit: umur > 55 tahun; lekosit dalam darah > 16.000/ml; gula darah > 200 mg/dL; LDH > 350 IU/L; dan AST > 200 IU/L.
Setelah 48 jam perawatan: penurunan hematokrit > 10%; peningkatan BUN > 5 mg/dL; kalsium dalam darah < 8 mg/dL; arterial PaO2 < 60 mmHg; defisit basa > 4 mEq/L; dan defisit cairan > 6 liter5.


Kriteria Glasgow (modifikasi)
Setelah 48 jam perawatan: arterial PaO2 < 60 mmHg; albumin < 32 g/L; kalsium < 2 mmmol/L; lekosit dalam darah > 15.000/ml; AST/ALT > 100 U/L; LDH > 600 U/L; gula darah > 10 mmol/L (tidak ada diabetes); dan urea > 16 mmol/L6.

APACHE II
Cara kerjanya adalah dengan menjumlahkan skor-skor dari skor fisiologis akut dengan skor umur dan skor kesehatan kronis7. Tetapi, skor ini cukup rumit, diperlukan komputer untuk menentukan skor, dan memerlukan standarisasi untuk menentukan angka terendah serta tertinggi1.
Simposium di Atlanta merekomendasikan bahwa keadaan berat dari pankreatitis akut merupakan keadaan dengan skor ≥ 8 dari sistem skor APACHE II, atau skor ≥ 3 dari sistem skor Ranson8. Sedangkan menurut kriteria Glasgow (modifikasi) skor ≥ 3 dikatakan keadaan dengan prognosis buruk6.

Adakah Kelainan Anatomis?

Setelah kita menentukan berat atau tidaknya perjalanan penyakit, perlu juga ditelusuri ada tidaknya kelainan anatomis yang terjadi. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan ultrasonografi maupun dengan CT-Scan untuk mengetahui apakah sudah terjadi komplikasi lokal. Jika terjadi komplikasi lokal, apalagi komplikasi sistemik, maka mengharuskan kita untuk memberikan terapi yang lebih agresif seperti pemberian antibiotik atau kalau perlu dengan pembedahan. Sebab, jika terjadi komplikasi lokal seperti nekrosis pankreas, dapat menyebabkan kegagalan organ (organ failure). Ini diketahui oleh Tenner S. dkk. yang menyelidiki pasien pankreatitis akut dengan menggunakan CT Scan. Ia mendapati 50% kasus kegagalan organ pada pasien dengan nekrosis pada pankreas. Keadaan ini dapat menyebabkan bertambah beratnya pankreatitis akut yang dialami9.

Secara patofisiologi, didapatkan adanya keadaan terinfeksi dari pankreas jika terdapat nekrosis pankreas atau lebih berat seperti abses. Tetapi, tidak semua keadaan nekrosis pankreas terjadi infeksi. Untuk itu, banyak penyelidikan terhadap keadaan ini, baik dengan hewan percobaan maupun dengan uji klinis.

Percobaan Menggunakan Antibiotik sebagai Regimen Terapi

Meithover K., dkk. membuat eksperimen terhadap binatang percobaan (tikus) yang dibuat nekrosis pada pankreas. Kemudian, hewan percobaan diberi antibiotik (imipemen dan siproflokasin). Hasilnya menunjukkan hal yang berbeda dengan kontrol (hanya diberikan saline). Eksperimen mendapatkan hasil berupa komplikasi sepsis pankreatitis berkurang dan kelangsungan hidup tikus yang diberi antibiotik lebih lama daripada kontrol10.

Pada binatang percobaan, infeksi dapat timbul secara spontan. Hipotesis-hipotesis menyatakan infeksi dapat terjadi melalui nekrosis peripankreas, hematogen, translokasi dari usus (migrasi transmural), ascites, limfatik, sistem duktus bilier, dan duodenum lewat duktus pankreatikus11.

Kuman yang didapati pada pankreatitis akut adalah kuman pada traktus gastrointestinal seperti Escherichia coli, Pseudomonas spesies, Streptococcus fecalis, Enterococcus, Staphylococcus aureus. Kuman ini didapati dengan cara aspirasi cairan empedu dengan bantuan USG abdomen dan CT Scan12.

Jika kita menggunakan antibiotik, perlu juga dipikirkan penetrasi antibiotik ke pankreas. Antibiotik yang dapat dipakai adalah antibiotik yang dapat masuk sawar darah pankreas (blood-pancreatic juice). Hal ini ditemukan karena beragamnya konsentrasi antibiotik di dalam pankreas sesudah diberikan secara intravena pada hewan percobaan (anjing)13. Antibiotik yang telah diujicobakan pemakaiannya pada manusia dengan cara penghitungan kadar antibiotik dalam jaringan nekrosis dari pankreas dan diambil dengan aspirasi jarum dengan bantuan CT scan, adalah imipenem-cilastatin, pefloxacin, metronidazole, amikacin, gentamicin, dan mezlocillin. Hasilnya menunjukkan bahwa pefloxacin dan metronidazole mempunyai daya penetrasi yang baik, yaitu 89% dan 99%, kemudian diikuti oleh imipenem dan mezlocillin14.

Sedangkan hasil klinis yang didapat dengan percobaan serupa dengan membandingkan luas daerah nekrosis, terinfeksinya nekrosis, dan skor APACHE II, menghasilkan berupa tidak adanya perbedaan yang mencolok antara besar dan terinfeksinya daerah nekrosis. Tetapi, mempunyai hasil yang mencolok berupa perubahan skor APACHE II menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan antibiotik. Studi ini dilakukan oleh Schwarz dkk., yang melakukan studi mengunakan ofloxacin 2 x 200 mg dan metronidazole 3 x 500 mg secara intravena15. Sedangkan Pederzolli, Bassi, dan Vensentini, melakukan studi dengan menggunakan imipenem. Studi ini menghasilkan penurunan terinfeksinya jaringan nekrosis, tetapi tidak berpengaruh pada mortalitas16.

Penelitian Sanio dkk. mengunakan cefuroxime, mendapatkan hasil yang tidak baik sehingga mengharuskan perubahan pemberian antibiotik di hari ke-9 (rata-rata) dengan memakai imipenem ditambah vancomycin dan fluconazole17. Sedangkan Luitten dkk., dengan menggunakan kombinasi norfloxacin, colistin, dan amphotericin tidak mendapatkan hasil yang signifikan dalam hal morbiditas maupun berkurangnya infeksi pada pankreas18.

Studi yang dilakukan pada 1998 oleh Bassi, Falconi, dan Talamini dihasilkan hal yang menggembirakan, dengan membandingkan pemakaian imipenem 3 x 500 mg (IV) dengan pefloxacin 2 x 400 mg (IV) selama 2 minggu. Studi ini dilakukan terhadap 60 pasien. Tiga puluh (30) pasien diberikan imipenem dan 30 pasien diberikan pefloxacin. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan penggunaan imipenem, prosentase terinfeksinya jaringan nekrosis dan ekstrapankreatik lebih kecil daripada penggunaan pefloxacin. Tetapi, tidak ada perbedaan yang signifikan dari mortalitas19.

Perlukah Pemberian Antibiotik?

Jika mendapati pasien pankreatitis, perlu diketahui berat atau tidaknya perjalanan penyakitnya. Kemudian, perlu juga adanya identifikasi mengenai kelainan anatomis apakah sudah terjadi nekrosis, abses, dan sebagainya atau belum. Sebab, jika kita mendapati kasus yang berat, perlu adanya pertimbangan pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik dapat menurunkan mortalitas.

Pilihan antibiotik merupakan masalah berikutnya. Antobiotik yang dipilih harus sesuai dengan kuman yang ada (jika terjadi infeksi) pada pankreatitis akut, dan harus mempunyai konsentrasi yang cukup dengan cara melewati sawar darah-pankreas. Hal ini menimbulkan perlunya penelitian-penelitian lebih lanjut, meskipun pada studi-studi yang terbaru menunjukkan penggunaan imipenem dan pefloxacin merupakan regimen terapi yang mempunyai hasil yang memuaskan.

sumber.tempo.co.id
Kunci Tatalaksana Sepsis

GERAI - Edisi Februari 2007 (Vol.6 No.7), oleh andra

--------------------------------------------------------------------------------

Timing dan appropriate merupakan kunci dalam menangani pasien sepsis dan syok sepsis. Detik-detik begitu berharga, terlambat sedikit, bisa-bisa pasien pulang lewat pintu belakang alias menemui ajal.

Berbicara mengenai sepsis rasanya tidak beranjak dari bicara tentang ancaman maut yang kerap mengintai pasien. Hal ini dikarenakan masih sangat tingginya angka kematian akibat kondisi ini. Meski telah ada kemajuan dalam teknologi kedokteran dan telah ditemukan metoda baru dalam penanganannya, namun sampai saat ini para dokter masih kewalahan menaklukkan sepsis. Di Indonesia saja, angka kematian diperkirakan mencapai 30-50%. Ini memperlihatkan masih banyaknya penanganan yang inapproriate.

Menurut Prof. DR. Dr. H. Achmad Guntur Hermawan, SpPD-KPTI,penanganan sepsis secara teoritis sebenarnya tidaklah sulit. Pada prinsipnya penanganan sepsis dilakukan dengan menyeimbangkan dua hal, yakni antara TH1 dengan TH2 dan proinflamatori dengan antiinflamatori. “Namun pada praktiknya, penanganan sepsis tidaklah semudah dalam teori. Pasalnya, sepsis merupakan suatu kondisi yang sangat komplek dan melibatkan begitu banyak faktor biomolekular,” ujarnya pada PIN PAPDI ke-4, 15 Desember 2006 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta.

Lebih lanjut Guntur mengatakan, pada dasarnya sepsis merupakan alarm reaction. Artinya, pada saat terjadi sepsis tubuh akan menimbulkan reaksi kesiagaan. Di HPA aksis, semua endokrin termasuk epinefrin, norepinefrin, mineralokortikotropin, dan kortisol akan keluar dari persembunyian, sehingga jumlahnya meningkat dari keadaan normal. Biasanya peningkatan kortisol jauh lebih tinggi daripada endokrin lainnya. “Memburuk atau tidaknya sepsis, tergantung pada keseimbangan tadi. Bila TH2 yang kuat atau inflamasi yang kuat, maka terjadilah syok sepsis. Lalu bagaimana mengatasinya? Mudah saja, kembalikan kondisi pada keseimbangan lagi.“

Pada permulaan syok sepsis, di adrenal biasanya terjadi penekanan oleh sitokin, obat anestesi, infeksi, agen antiinfeksi, dan pendarahan, sehingga terjadi syok. Meskipun kortisol di area ini meningkat, namun efek sitokin proinflamatori jauh lebih kuat. Untuk menekan efek tersebut, kadang diperlukan asupan dari luar dengan pemberian kortisol di awal sepsis. Namun hal ini masih dipertentangkan. Ada yang berpendapat memberikan kortisol setelah terjadi syok.

“Menurut kepustakaan, pasien syok sepsis dengan kadar kortisol kurang dari 10 berisiko tinggi kematian. Pada penelitian saya di Solo, sekitar 6 dari 9 pasien yang kadar kortisolnya kurang dari 9, semuanya meninggal. Berlatar hal tersebut, sah-sah saja memberikan kortisol di awal sepsis. Namun memberikan setelah syok juga tidak masalah, yang penting harus dikaji rasionalitasnya.“


Guntur menambahkan, sebenarnya pada keadaan syok sepsis yang dibutuhkan adalah pemberian vasoaktif, terutama bila resusitasi dengan cairan gagal untuk mengembalikan tekanan darah dan perfusi jaringan yang memadai. Kenapa demikian? Pasalnya pada kondisi syok sepsis, di mikrosirkulasi biasanya terjadi vaskular leakage syndrom (kebocoran), tonus pembuluh darah kapiler menurun karena berkurangnya norepinefrin dan epinefrin, permiabilitas kapiler meningkat, dan terjadi perdarahan (DIC). Adapun maksud pemberian vasoaktif adalah untuk memperbaiki tonus pembuluh darah mikro tersebut.

Ada silang pendapat vasoaktif mana yang terbaik untuk syok sepsis. Namun yang terpenting, sasaran utamanya adalah memulihkan mean arterial pressure (MAP), yakni harus lebih dari 65-75 mmHg. Selain itu juga diharapkan terjadi peningkatan kontraktilitas miokard, sehingga hantaran oksigen membaik ke jaringan. Obat yang diberikan diantaranya adalah dopamine, epinefrin, noepinefrin, dobutamin, dan fenilefrin.

Tabel 1. Aktivitas Reseptor Rerbagai Obat
OBAT AKTIVITAS PADA RESEPTOR
Alpha-1 Beta-1 Beta-2 Dopaminergik
Dopamin HCl 2+ 3+ 2+ 3+
Norepinefrin 3+ 2+ ? 0
Dobutamin ½ + 3+ 2+ 0
Epinefrin 2/3+ 3+ 3+ 0
Fenilefrin HCl 3+ 0 0 0


Tabel 2. Efek-efek Hemodinamik Obat Vasoaktif
OBAT AKTIVITAS PADA RESEPTOR
Dosis CO MAP SVR
Dopamin HCl 5-20 µg/kg/min 2+ 1+ 1+
Norepinefrin 0,05-5 µg/kg/min -/0/+ 2+ 2+
Dobutamin 5-20µg/kg/min 2+ -/0/+ -
Epinefrin 0,05-2µg/kg/min 2+ 2+ 2+
Fenilefrin HCl 2-10µg/kg/min -/0/+ 2+ 2+


Catt: CO : cardiac output
MAP : mean arterial pressure
SVR : systemic vascular resistance

Guntur mengatakan, dari tabel terlihat bahwa vasokontriktor yang cukup kuat untuk meningkatkan SVR adalah epinefrin dan norepinefrin. Keduanya juga meningkatkan tekanan darah tanpa sedikit pun menaikkan denyut nadi. Yang terpenting norepinefrin dan epinefrin bisa meningkatakan MAP menjadi 65-75 mmHg, bahkan hingga mencapai 85 mmHg sekalipun. Khusus untuk norepinefrin, selain potensial terhadap reseptor alpha-1 agonis, ternyata vasopresor ini juga memiliki efek terhadap reseptor beta agonis. Melihat keunggulan itu, tak ayal forum sepsis internasional pun lebih memilih vasopresor norepinefrin dibandingkan dengan dopamine (critical care, 2003).


Optimalisasi Penggunaan Antibiotik

Setelah ditemukan banyak kegagalan pada antimediator lain, bahkan protein C sekalipun, maka mulailah dipertimbangkan optimalisasi pemberian antibiotik pada pasien sepsis. Optimalisasi ini dimulai dengan pemberian initial antibiotic yang adekuat
Pemberian antibiotik selama ini kerap kali tidak cukup mencover semua kuman pathogen. Seorang dokter haruslah mengetahui farmakokinetika dan farmakodinami (PKPD) suatu antibiotik agar terapi bisa sensitif dan adekuat. “Mengobati pasien yang berat 50 kg bisa berbeda dengan 100 kg, mengobati pasien anak berbeda dengan dewasa dan lansia. Jadi semua hal harus dipertimbangkan, terutama waktu. Pasalnya keterlambatan pengobatan bisa meningkatkan kematian,” jelas prof. dr. Herdiman T Poha, SpPD-KPTI masih di PIN PAPDI ke-4 di Hotel Mercure, 15 Desember 2006.

Adapun salah satu tujuan optimalisasi tersebut adalah mencegah terjadinya resistensi. Hal ini bisa dicegah dengan beberapa cara. Pertama dengan pemberian antibiotik yang optimal dan efektif. Kedua dengan mencegah pemberian antibiotik yang tidak diperlukan (overuse). Pemberian yang overuse selain berakibat resistensi juga menyebabkan peningkatan biaya. Sedangkan underuse bisa meningkatkan kematian dan lamanya perawatan di rumah sakit.

Salah satu bukti dari penggunanan antibiotik berlebih bisa menimbulkan reisten adalah hasil penelitian infeksi nosokomial di bagian penyakit dalam RSCM, pada bulan januari-Maret 2006. Hasil penelitian menunjukkan, beberapa antibiotik yang sering digunakan sudah mulai resisten semisal ceftazidime dan ceftriaxone. Namun untuk beberapa obat mahal, seperti amikacin dan meropenem, tampak masih sensitif baik untuk gram positif maupun negatif.

Oleh karena itu, tambah Herdiman, di sebuah rumah sakit seharusnya ada suatu goal target terapi antibiotik. Pertama sekali adalah dengan mengetahui dan membuat antimicrobial mapping di tempat tersebut, sehingga bisa diberikan resep yang tepat. Di Indonesia, hal ini memang menjadi masalah , terutama untuk perawatan di rumah sakit rujukan. Selain itu dipertimbangkan pemberian antibiotik untuk ruang atau area yang spsifik, misalnya ICU. Selain itu, penggunaan antibiotik harus dilakukan sependek mungkin dan hindari pemberian profilaksis dalam jangka panjang. Selanjutnya bila perlu diberikan terapi kombinasi untuk mencover semua kuman pathogen. “Sebenarnya apakah pemberian antibiotik sebaiknya kombinasi atau monoterapi, hingga kini masih menjadi masalah. Ada sekitar 156 literatur, tapi hingga sejauh ini kesimpulannya tergantung situasi/klinikal impresi,“ ujar Herdiman.

Meski demikian, yang paling penting dalam optimalisasi antibiotik adalah de-eskalasi, yakni menggunakan antibiotik dengan spekrum sempit segera setelah diperoleh hasil kultur. Deeskalasi ini bisa mencegah atau meminimalisasi resistensi tapi tentunya dengan pemberian antibiotik pertamanya yang cukup baik. Salah satu antibiotic yang cukup poten dan berspektrum luas adalah meropenem

Adapun antibiotik yang bisa diberikan untuk mengatasi sepsis adalah betalaktam, sefalosporin generasi 3 dan 4, aminoglikosida, kuinolon, dan karbapenem. Kini yang sedang popular adalah karbapenem. Namun tetap harus diingat bahwa tiap golongan punya kelemahan (spectrum gap) masing-masing. Kuinolon misalnya, tampak sudah mulai resisten terhadap streptococcus dan MRSA. Pemakaian karbapenem sendiri untuk infeksi pseudomonas sudah harus hati-hati. Sementara sefalosporin generasi 3 & 4 dan kuinolon ternyata menjadi penyebab timbulnya resistensi MRSA. Bahkan ada pembicaraan di kalangan ahli mungkin lima tahun kedepan pemakaian kuinolon akan dihentikan karena banyaknya penggunaan oleh veterinary. Tazobactam dan piperacillin meski telah lama digunakan tetapi masih cukup efektif. (Arnita) \

note.untuk melihat naskah asli dapat mengunjungi situs asli seperti yang tercantum pada sumber.
sumber.http://www.majalah-farmacia.com
Infeksi Saluran Kemih

Oleh: Retno Wahab Supriyadi



Apa jadinya jika saluran kemih kita terinfeksi oleh bakteri? Bagaikan serangan gerilya, infeksi bakteri ke saluran kemih seringkali tak disadari oleh penderitanya. Bahkan, setelah terinfeksi pun, ada penderita yang tak merasakan gejalanya. Jika infeksi tak bergejala ini terjadi pada ibu hamil dan tak ditangani sampai tuntas, maka risikonya bisa merambat ke ginjal. Bahkan, jika tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan keguguran.



Apakah infeksi saluran kemih itu?

Infeksi saluran kemih adalah infeksi bakteri pada saluran kemih terluar (pembuangannya) sampai ke ginjal. Infeksi yang biasa ditemui adalah infeksi kandung kemih. Sementara infeksi lain yang sering terjadi adalah infeksi ginjal dan infeksi urethra (saluran membranosa yang mengalirkan urin dari kandung kemih ke luar tubuh). Infeksi ini bisa asimptomatik (tak bergejala), tetapi bakterinya tetap tumbuh di saluran kemih. Sebaliknya, ada juga yang bergejala, sehingga mudah dilacak oleh dokter.



Bagaimana mendeteksi infeksi saluran kemih?

Gejala infeksi saluran kemih pada setiap orang memang tidak selalu sama. Ada yang merasakan gejalanya seperti terbakar ketika buang air kecil, terasa selalu ingin buang air kecil setiap 30–60 menit, atau merasa seolah-olah ingin buang air kecil kembali ( anyang-anyangan ). Pada beberapa kasus, mungkin terlihat sedikit darah pada air seninya yang baunya sangat menyengat.

Untuk infeksi yang tidak bergejala (asimptomatik bakteriuria), dokter Anda dapat memeriksa dengan tes urin di laboratorium. Asimptomatik bakteriuria pada ibu hamil harus segera ditangani.



Apa penyebab infeksi saluran kemih?

Lemahnya pertahanan tubuh telah menyebabkan bakteri dari vagina, perineum (daerah sekitar vagina), rektum (dubur) atau dari pasangan (akibat hubungan seksual), masuk ke dalam saluran kemih. Bakteri itu kemudian berkembang biak di saluran kemih sampai ke kandung kemih, bahkan bisa sampai ke ginjal.

Wanita mamang lebih rentan untuk terkena infeksi ini dibanding pria, karena saluran urethra pada wanita yang lebih pendek dibandingkan dengan pria. Selain itu, berbagai perubahan hormon pada wanita hamil juga meningkatkan risiko menderita infeksi saluran kemih, seperti:

Riwayat kesehatan pasien yang pernah mengalami infeksi tersebut.

Pasien menderita diabetes mellitus .

Penanganan anemia sickle sell (anemia karena adanya kelainan pada sel-sel darah merah).

Adanya ketidaknormalan pada saluran kemih orang yang bersangkutan.

Kehamilan lebih dari tiga kali.

Adanya batu ginjal (nephrolithiasis ).



Bagaimana pengaruhnya terhadap janin?

Jika di masa hamil Anda mengalami infeksi saluran kemih dan tidak ditangani dengan baik, maka hal ini dapat menyebabkan infeksi ginjal. Infeksi ginjal dapat menyebabkan keguguran atau kelahiran prematur. Tidak itu saja, infeksi saluran kemih yang berat dapat menyebabkan infeksi yang meluas (sitemik) dan keadaan ini dapat menyebabkan kelahiran prematur. Infeksi saluran kemih yang berat juga sering mempengaruhi infeksi pada dinding rongga amnion (ketuban), sehingga menyebabkan ketuban pecah dini, yang akibatnya dapat meningkatkan risiko infeksi pada janin. Untungnya, asimptomatik bakteriuria pada kandung kemih atau saluran kemih ini, biasanya dapat ditemukan segera sebelum ginjal orang yang bersangkutan terinfeksi. Jika dokter segera menangani infeksi saluran kemih ini sejak dini dan ditangani sampai tuntas, maka hal ini tidak akan mengganggu kehamilan Anda maupun janin Anda.



Bagaimana menangani infeksi ini?

Dokter biasanya akan memberikan resep obat yang aman untuk Anda dan bayi Anda. Anda juga dapat membantu kesembuhan ini dengan minum banyak air putih untuk membantu mendorong bakteri keluar melalui air seni, dan tidak menunda buang air kecil.

Untuk mengetahui apakah pengobatan itu berhasil atau tidak, adalah dengan melihat tanda-tandanya. Jika suhu tubuh meningkat, menggigil, bagian bawah perut sakit, mual, muntah, atau sakit di ulu hati, sebaiknya Anda segera menghubungi dokter. Demikian juga, bila Anda merasakan kontraksi, atau jika setelah minum obat dokter selama tiga hari tetapi masih terasa seperti terbakar ketika buang air kecil.



Bagaimana mencegah infeksi ini?

Ada beberapa upaya yang dapat Anda lakukan untuk mencegah infeksi saluran kemih ini, antara lain:

Minumlah banyak cairan (dianjurkan untuk minum minimal 8 gelas air putih sehari).

Segera buang air kecil sebelum dan sesudah melakukan hubungan seksual.

Jika membersihkan kotoran, bersihkan dari arah depan ke belakang, agar kotoran dari dubur tidak masuk ke dalam saluran kemih.

Periksakan air seni secara rutin selama kehamilan. Dengan pemeriksaan tersebut akan dapat segera diketahui apakah Anda terinfeksi atau tidak.

Jangan terlalu lama menahan keinginan buang air kecil.

sumber.http://situs.kesrepro.info