Surat Edaran Tentang Formaldehid dalam Sediaan Kosmetik
(16-Aug-2007)
Oleh: NFA
www.pom.go.id
Kalbe.co.id - Dalam beberapa hari terakhir, para konsumen di Indonesiadikejutkan kembali dengan isu formalin yang terkandung dalam beberapa produk Unilever dalam sediaan pasta gigi, sabun cair dan sampo. Hal ini muncul setelah pernyataan Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ). Menurut Direktur Eksekutif LKJ Zaim Saidi, kandungan formalin yang tertera di sejumlah produk Unilever tercatat dengan nama kimia formaldehyde. Produk itu antara lain pasta gigi Pepsodent, sabun cair dan sampo Lifebuoy, serta sampo Clear dan Sunsilk.
Pihak Unilever menanggapi kajian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ) melalui pernyataan pada beberapa media massa. Semua bahan yang dipergunakan di dalam produk Unilever telah diketahui dan disetujui oleh BPOM. Pihak Unilever terus berkoordinasi dengan Badan POM untuk membantu klarifikasi kepada masyarakat.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan mengeluarkan surat edaran tentang formaldehid dalam sediaan kosmetik tanggal 11 Agustus 2007, yang ditandatangani oleh Dr. Husniati M. Thamrin Akib, MS, M.Kes, SpFK :
Sehubungan dengan adanya berita di media massatentang formalin dalam kosmetik (pasta gigi, shampo, dll) maka dengan ini diinformasikan pada masyarakat sebagai berikut :
Penggunaan formalin atau formaldehid dalam kosmetik sebagai pengawet diizinkan dengan batas kadar maksimal 0,1% untuk sediaan higiene mulut (pasta gigi), 0,2% untuk sediaan kosmetik lainnya, formalin dilarang digunakan pada sediaan aerosol.
Ketentuan tersebut diatas sesuai dengan aturan yang berlaku secara internasional seperti pada ASEAN Cosmetic Directive dan European Union (EU) Directive, juga SK. Ka Badan POM No. HK.00.05.4.1745 tahun 2003 tentang kosmetik.
sumber.http://www.kalbe.co.id
Sunday, August 26, 2007
Ekstasi menyebabkan kerusakan syaraf pada suhu ruang saat dikonsumsi
Kalbe.co.id - Telah diketahui hubungan langsung antara konsumsi 3,4-methylenedioxy-N-methylamphetamine (MDMA) atau ekstasi pada suhu ruangan dan peningkatan kerusakan saraf yang diprovokasi zat ini. Hal ini merupakan kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Beatriz Goni di School of Pharmacy of the University of Navarra.
Hasil ini merupakan bagian disertasi doktoral-nya yang berjudul “A Study of the neurotoxicity mechanism of 3,4-methylenedioxy-N-methylamphetamine (MDMA or ‘ecstasy’) after ist administration in rats : New responses to old questions.” Dengan studi ini, para peneliti dapat menghubungkan pertama kalinya suhu tubuh para pengguna dengan metabolisme yang lebih tinggi zat tersebut. Ada 2 faktor yang ketika bersamaan menghasilkan suhu sangat tinggi (hypertemia) yang membahayakan, suatu keadaan yang kadang-kadang menjadi fatal.
Sebelum menuju kesimpulan ini, ahli dari the Pamplonan pharmaceutical ini memberikan zat ini ke tikus pada suhu ruangan yaitu 15, 21, dan 30°C. Setelah melakukan analisis yang berkaitan, Goni menunjukkan bahwa metabolisme ekstasi dipercepat dengan suhu ruangan yang lebih tinggi pada waktu penggunaan. Tambahan, suhu ruangan lebih tinggi juga meningkatkan, dengan proporsi yang sama, kekurangan zat kimia saraf yang mempengaruhi otak para pengguna zat ini.
Menurut Beatriz Goni, penulis studi yang dilakukan di Universitas Navarra, penemuan dalam proyek penelitian ini perlu kaitan yang lebih tepat karena ekstasi biasanya digunakan di dalam lingkungan tertutup, dengan banyak orang dan ventilasi yang buruk, sehingga faktor-faktor suhu cenderung cukup tinggi.
Dia menambahkan bahwa kerusakan saraf akibat zat ini dan yang awalnya hanya diamati pada tikus, telah dibuktikan pada manusia dengan adanya kerusakan berat pada saraf-saraf serotonergik yang terlibat dalam proses tidur, nafsu makan dan pengatur mood.
Spesialis farmasi ini akhirnya menekankan bahwa kerusakan akibat konsumsi MDMA tergantung metabolisme setelah penggunaannya, karena bila digunakan langsung ke dalam otak, kerusakan saraf tidak akan terjadi.
sumber.http://www.kalbe.co.id
Kalbe.co.id - Telah diketahui hubungan langsung antara konsumsi 3,4-methylenedioxy-N-methylamphetamine (MDMA) atau ekstasi pada suhu ruangan dan peningkatan kerusakan saraf yang diprovokasi zat ini. Hal ini merupakan kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Beatriz Goni di School of Pharmacy of the University of Navarra.
Hasil ini merupakan bagian disertasi doktoral-nya yang berjudul “A Study of the neurotoxicity mechanism of 3,4-methylenedioxy-N-methylamphetamine (MDMA or ‘ecstasy’) after ist administration in rats : New responses to old questions.” Dengan studi ini, para peneliti dapat menghubungkan pertama kalinya suhu tubuh para pengguna dengan metabolisme yang lebih tinggi zat tersebut. Ada 2 faktor yang ketika bersamaan menghasilkan suhu sangat tinggi (hypertemia) yang membahayakan, suatu keadaan yang kadang-kadang menjadi fatal.
Sebelum menuju kesimpulan ini, ahli dari the Pamplonan pharmaceutical ini memberikan zat ini ke tikus pada suhu ruangan yaitu 15, 21, dan 30°C. Setelah melakukan analisis yang berkaitan, Goni menunjukkan bahwa metabolisme ekstasi dipercepat dengan suhu ruangan yang lebih tinggi pada waktu penggunaan. Tambahan, suhu ruangan lebih tinggi juga meningkatkan, dengan proporsi yang sama, kekurangan zat kimia saraf yang mempengaruhi otak para pengguna zat ini.
Menurut Beatriz Goni, penulis studi yang dilakukan di Universitas Navarra, penemuan dalam proyek penelitian ini perlu kaitan yang lebih tepat karena ekstasi biasanya digunakan di dalam lingkungan tertutup, dengan banyak orang dan ventilasi yang buruk, sehingga faktor-faktor suhu cenderung cukup tinggi.
Dia menambahkan bahwa kerusakan saraf akibat zat ini dan yang awalnya hanya diamati pada tikus, telah dibuktikan pada manusia dengan adanya kerusakan berat pada saraf-saraf serotonergik yang terlibat dalam proses tidur, nafsu makan dan pengatur mood.
Spesialis farmasi ini akhirnya menekankan bahwa kerusakan akibat konsumsi MDMA tergantung metabolisme setelah penggunaannya, karena bila digunakan langsung ke dalam otak, kerusakan saraf tidak akan terjadi.
sumber.http://www.kalbe.co.id
FDA memperingatkan konsumen menghindari produk red yeast rice yang dipromosikan di internet untuk menangani kolesterol tinggi
Kalbe.co.id - Badan Food and Drug Administration Amerika Serikat memperingatkan konsumen tidak membeli atau memakan 3 produk red yeast rice yang dipromosi dan dijual dalam website. Produk-produk ini mengandung obat yang tidak diijinkan yang dapat membahayakan kesehatan. Produk-produk ini dipromosikan dengan suplemen harian untuk menangani kolesterol tinggi.
Produk yang berpotensi membahayakan tersebut adalah : Red Yeast Rice and Red Yeast Rice/Policosonal Complex, dijual oleh Swanson Healthcare Products, Inc. dan masing-masing diproduksi oleh Nature’s Value Inc. dan Kabco Inc.; dan produk Cholestrix yang dijual oleh Sunburst Biorganics. Pengujian FDA mengungkapkan produk tersebut mengandung lovastatin, suatu zat aktif farmasi yang digunakan sebagai obat resep untuk menurunkan kolesterol.
Steven Galson, M.D. M.P.H., Direktur Pusat Evaluasi dan Penelitian Obat FDA mengatakan, risiko ini lebih serius karena konsumen tidak mengetahui efek samping berkaitan dengan lovastatin dan fakta bahwa hal ini dapat berinteraksi dengan pengobatan lain.
Produk-produk ini mengancam kesehatan karena kemungkinan yang ada bahwa lovastatin dapat menyebabkan masalah otot yang parah mengarah pada kerusakan ginjal. Risiko ini lebih besar pada pasien yang menggunakan dosis tinggi lovastatin atau mereka yang menggunakan lovastatin dan pengobatan lain yang meningkatkan risiko reaksi yang tidak diharapkan pada otot. Pengobatan ini termasuk anti depresan nefazodone, beberap antibiotik, obat-obat untuk menangani infeksi jamur dan infeksi HIV dan obat penurun kolesterol lainnya.
FDA telah mengeluarkan surat peringatan kepada Swanson dan Sunburst Biorganics untuk menghentikan promosi dan penjualan produk. Perusahaan yang tidak menuruti surat peringatan berisiko mendapat tindakan hukum, seperti meneruskan kekerasan dan produk ilegal.
Surat peringatan FDA menyatakan bahwa produk-produk Red Yeast Rice, Red Yeast Rice/Policosonal Complex dan Cholestrix, dijual pada website perusahaan adalah obat baru yang tidak disetujui yang dipasarkan dalam aturan Federal Food, Drug, and Cosmetic Act. Surat peringatan tersebut dapat diakses di website FDA : www.accesssdata.fda.gov/scripts/wlcfm/recentfiles.cfm
FDA menyarankan konsumen yang menggunakan produk-produk tersebut untuk mengkonsultasikan kepada pelayan kesehatan mereka jika mereka mengalami masalah akibat obat tersebut.
sumber.http://www.kalbe.co.id
Kalbe.co.id - Badan Food and Drug Administration Amerika Serikat memperingatkan konsumen tidak membeli atau memakan 3 produk red yeast rice yang dipromosi dan dijual dalam website. Produk-produk ini mengandung obat yang tidak diijinkan yang dapat membahayakan kesehatan. Produk-produk ini dipromosikan dengan suplemen harian untuk menangani kolesterol tinggi.
Produk yang berpotensi membahayakan tersebut adalah : Red Yeast Rice and Red Yeast Rice/Policosonal Complex, dijual oleh Swanson Healthcare Products, Inc. dan masing-masing diproduksi oleh Nature’s Value Inc. dan Kabco Inc.; dan produk Cholestrix yang dijual oleh Sunburst Biorganics. Pengujian FDA mengungkapkan produk tersebut mengandung lovastatin, suatu zat aktif farmasi yang digunakan sebagai obat resep untuk menurunkan kolesterol.
Steven Galson, M.D. M.P.H., Direktur Pusat Evaluasi dan Penelitian Obat FDA mengatakan, risiko ini lebih serius karena konsumen tidak mengetahui efek samping berkaitan dengan lovastatin dan fakta bahwa hal ini dapat berinteraksi dengan pengobatan lain.
Produk-produk ini mengancam kesehatan karena kemungkinan yang ada bahwa lovastatin dapat menyebabkan masalah otot yang parah mengarah pada kerusakan ginjal. Risiko ini lebih besar pada pasien yang menggunakan dosis tinggi lovastatin atau mereka yang menggunakan lovastatin dan pengobatan lain yang meningkatkan risiko reaksi yang tidak diharapkan pada otot. Pengobatan ini termasuk anti depresan nefazodone, beberap antibiotik, obat-obat untuk menangani infeksi jamur dan infeksi HIV dan obat penurun kolesterol lainnya.
FDA telah mengeluarkan surat peringatan kepada Swanson dan Sunburst Biorganics untuk menghentikan promosi dan penjualan produk. Perusahaan yang tidak menuruti surat peringatan berisiko mendapat tindakan hukum, seperti meneruskan kekerasan dan produk ilegal.
Surat peringatan FDA menyatakan bahwa produk-produk Red Yeast Rice, Red Yeast Rice/Policosonal Complex dan Cholestrix, dijual pada website perusahaan adalah obat baru yang tidak disetujui yang dipasarkan dalam aturan Federal Food, Drug, and Cosmetic Act. Surat peringatan tersebut dapat diakses di website FDA : www.accesssdata.fda.gov/scripts/wlcfm/recentfiles.cfm
FDA menyarankan konsumen yang menggunakan produk-produk tersebut untuk mengkonsultasikan kepada pelayan kesehatan mereka jika mereka mengalami masalah akibat obat tersebut.
sumber.http://www.kalbe.co.id
Saturday, August 18, 2007
Potensi Serum Albumin dari Ikan Gabus
Malang, Kompas - Guru besar pertama untuk Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (Unibraw) akan dikukuhkan hari Sabtu (4/1) ini, dengan materi pidato pengukuhan mengenai hasil penelitian albumin pada ikan gabus. Penelitian ini sangat berpotensi untuk menggantikan serum albumin yang mencapai Rp 1,3 juta per 10 mililiter.
Demikian disampaikan Prof Dr Ir Eddy Suprayitno MS dalam jumpa pers, Jumat (3/1), di Malang. Ia hari ini akan dikukuhkan sebagai guru besar pertama untuk Fakultas Perikanan Unibraw.
Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam plasma yang mencapai kadar 60 persen. Manfaatnya untuk pembentukan jaringan sel baru. Di dalam ilmu kedokteran, albumin ini dimanfaatkan untuk mempercepat pemulihan jaringan sel tubuh yang terbelah, misalnya karena operasi atau pembedahan.
Pada masa krisis saat ini, impor serum albumin yang dimanfaatkan sering membebani biaya pasien. Untuk satu kali pembedahan, penggunaan serum ini bisa mencapai tiga kali 10 mililiter itu.
Pada penelitian Eddy, ternyata di dalam ikan gabus atau dikenal secara lokal sebagai ikan kutuk ini, terdapat albumin pula. Dan, ini tidak terdapat pada jenis ikan konsumsi lainnya, seperti ikan lele, nila, mas, gurami, dan sebagainya.
"Masyarakat sampai sekarang sangat sedikit yang mengenal manfaat ikan gabus ini. Padahal, ikan gabus ini masih mudah ditemukan," kata Eddy.
Salah satu lokasi yang banyak ditemukan jenis ikan gabus, di antaranya di Bendungan Sengguruh atau bendungan lainnya. Masyarakat setempat yang berpencaharian mencari ikan sering memperoleh jenis ikan gabus ini. Tetapi, hasilnya masih jarang digunakan untuk menunjang kegiatan medis, terutama bertujuan untuk menggantikan serum albumin yang mahal itu.
sumber.http://www.kompas.com
Malang, Kompas - Guru besar pertama untuk Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (Unibraw) akan dikukuhkan hari Sabtu (4/1) ini, dengan materi pidato pengukuhan mengenai hasil penelitian albumin pada ikan gabus. Penelitian ini sangat berpotensi untuk menggantikan serum albumin yang mencapai Rp 1,3 juta per 10 mililiter.
Demikian disampaikan Prof Dr Ir Eddy Suprayitno MS dalam jumpa pers, Jumat (3/1), di Malang. Ia hari ini akan dikukuhkan sebagai guru besar pertama untuk Fakultas Perikanan Unibraw.
Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam plasma yang mencapai kadar 60 persen. Manfaatnya untuk pembentukan jaringan sel baru. Di dalam ilmu kedokteran, albumin ini dimanfaatkan untuk mempercepat pemulihan jaringan sel tubuh yang terbelah, misalnya karena operasi atau pembedahan.
Pada masa krisis saat ini, impor serum albumin yang dimanfaatkan sering membebani biaya pasien. Untuk satu kali pembedahan, penggunaan serum ini bisa mencapai tiga kali 10 mililiter itu.
Pada penelitian Eddy, ternyata di dalam ikan gabus atau dikenal secara lokal sebagai ikan kutuk ini, terdapat albumin pula. Dan, ini tidak terdapat pada jenis ikan konsumsi lainnya, seperti ikan lele, nila, mas, gurami, dan sebagainya.
"Masyarakat sampai sekarang sangat sedikit yang mengenal manfaat ikan gabus ini. Padahal, ikan gabus ini masih mudah ditemukan," kata Eddy.
Salah satu lokasi yang banyak ditemukan jenis ikan gabus, di antaranya di Bendungan Sengguruh atau bendungan lainnya. Masyarakat setempat yang berpencaharian mencari ikan sering memperoleh jenis ikan gabus ini. Tetapi, hasilnya masih jarang digunakan untuk menunjang kegiatan medis, terutama bertujuan untuk menggantikan serum albumin yang mahal itu.
sumber.http://www.kompas.com
UJIAN PEMERIKSAAN KESIHATAN
versi bahasa malaya
Ujian Pemeriksaan Kesihatan merupakan sekumpulan ujian yang direka khas untuk menilai tahap kesihatan seseorang individu. Panduan ini memberikan maklumat umum tentang jenis-jenis dan kepentingan ujian yang dilakukan. Namun demikian, anda dinasihatkan untuk mendapat maklumat atau keterangan lanjut dari doktor anda.
PEMERIKSAAN DARAH PERIFERI
Red Cell Indices
Red Cell Indices memberi petunjuk tentang ketaknormalan sel darah merah.
Hematokrit (PCV)
Nilai PCV yang rendah mungkin disebabkan oleh anemia, kehilangan darah dan anemia hemolitik. PCV yang tinggi boleh disebabkan oleh polycythaemia atau macrocytosis.
Hemoglobin (Hb)
Hb berperanan sebagai pengangkut oksigen kepada sel. Nilai Hb di bawah aras normal menandakan anemia.
Sel Darah Putih
Sel darah putih (SDP) bertindak sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisma yang boleh mendatangkan penyakit. Ia boleh dibahagikan kepada 5 jenis iaitu neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil.
Kehadiran sel yang abnormal menandakan infeksi kronik. Kehadiran sel-sel yang tak matang (blasts cells) dalam darah periferi dan peninkatan nilai SDP menandakan leukemia.
Platelet
Platelet memainkan peranan yang penting dalam mekanisma pembekuan darah bagi mengelakkan kehilangan darah yang berlebihan.
ESR
Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) merupakan kadar enapan komponen selular dalam plasma dalam masa satu jam.
PBF (Peripheral Blood Film)
Smear darah nipis yang diwarnakan dengan pewarna tertentu dan diperiksa di bawah mikroskop. Impression yang diberikan adalah berdasarkan smear darah dan keputusan ujian darah yang lain.
Kumpulan Darah
Dua sistem yang biasa digunakan dalam penentuan kumpulan darah adalah ABO dan Rhesus (Rh). Melalui sistem ABO, kumpulan darah boleh dibahagikan kepada A, B, AB dan O. Taburan bagi setiap kumpulan adalah A (23%), B (23%), AB (5%) dan O (49%).
Di bawah sistem Rhesus pula, darah boleh dibahagikan kepada 2 kumpulan iaitu rhesus positif atau rhesus negatif.
URIN (FEME)
Urin atau air kencing dihasilkan dari proses penyaringan darah melalui ginjal. Kandungan urin bergantung kepada keadaan kesihatan dan pemakanan harian seseorang individu.
pH
Individu normal mempunyai julat pH antara 5.0 hingga 7.0. Faktor yang mempengaruhi pH urin seseorang individu adalah pemakanan harian, tempoh selepas pengutipan sampel, infeksi saluran urinari dan ketakseimbangan hormonal.
Glukos
Ujian saringan kehadiran glukos dalam urin adalah petanda seseorang individu itu mempunyai penyakit diabetes melitus. Namun demikian, kehadiran glukos dalam urin individu yang normal mungkin berlaku dalam individu yang mempunyai ambang glukos rendah; keadaan yang dikenali sebagai glukosuria.
Keton
Keton adalah hasil sampingan daripada metabolisma lemak dan dikumuhkan dalam urin. Keton biasanya hadir dalam pesakit diabetes mellitus kerana sel-sel badan tidak dapat menggunakan glukos sebagai sumber tenaga secara efektif.
Darah
Kehadiran darah dalam urin; hematuria;mungkin berpunca dari ginjal, saluran urinari atau pundi kencing. Hematuria dengan kesakitan adalah satu petanda kehadiran batu karang dalam salur urinari. Namun demikian, kehadiran darah dalam perempuan semasa haid biasanya dianggap normal.
Protein
Kandungan protein meningkat dalam individu yang mengalami infeksi saluran urinari, individu yang mempunyai tekanan darah tinggi, diabetes mellitus dan penyakit ginjal.
Specific Graviti (S.G.)
S.G. adalah indikasi daya pemekatan dan perkumuhan ginjal. Individu normal mempunyai julat S.G. antara 1.015 hingga 1.030.
Mikroskopi
Permeriksaan kandungan urin di bawah mikroskop.
Sel Darah Putih (SDP)
Hitungan kurang dari 5 dalam satu HPF dianggap normal. Peningkatan SDP dan kehadiran bakteria dalam urin adalah berhubungkait dengan infeksi saluran urinari.
Ujian kultur perlu dilakukan untuk menentukan jenis bakteria dan antibiotik yang perlu diberikan.
Sel Darah Merah (SDM)
SDM menandakan kehadiran darah dalam urin.
Sel Epithelia
Hitungan lebih dari 10 dalam satu HPF adalah indikasi infeksi saluran urinari.
Casts
Kehadiran cast granular mungkin menandakan kegagalan fungsi ginjal. Cast hialin boleh hadir dalam urin individu normal selepas senaman berat atau individu yang mengamalkan pemakanan diet kaya protein.
Kristal
Kristal urin yang biasa dilihat adalah kristal asid urik dan kalsium oksalat. Kehadiran kristal triple phosphate menandakan kemungkinan besar kehadiran batu karang ginjal.
UJIAN FUNGSI HATI
Protein (Albumin & Globulin)
Kedua-dua albumin dan globulin berguna untuk mengukur status pemakanan seseorang individu. Kedua-duanya juga berguna untuk mendiagnosis penyakit hati, gastrointestinal dan ginjal (buah pinggang), ketaknormalan protein, kanser dan kegagalan fungsi sel darah.
Bilirubin
Peningkatan aras bilirubin dalam serum boleh berpunca dari kegagalan fungsi hati, obstruksi salur hempedu atau penyakit sel darah merah. Manifestasi klinikal ialah penyakit kuning.
SGOT/AST/Aspartate Aminotransferase
Enzim akan dibebaskan ke dalam peredaran darah apabila sel tercedera dan aras akan meningkat mengikut tahap kecederaan pada sel.
SGPT/ALT/Alanine Aminotransferase
Ianya selalu digunakan bersama SGOT bagi mengukur fungsi hati dan mendiagnos penyakit yang berkaitan dengan kegagalan fungsi hati.
SAP/Alkaline Phosphatase
Paras ALP yang tinggi ditemui pada kanak-kanak, penyakit hati, obstruksi salur hempedu dan penyakit tulang.
UJIAN FUNGSI GINJAL (RENAL FUNCTION TEST)
Elektrolit
Elektrolit merupakan komponen yang penting dalam cecair badan dan keseimbangannya membolehkan berbagai sel dan organ berfungsi secara normal.
Urea
Urea merupakan hasil akhir metabolisma protein dan asid amino. Ia mengukur fungsi ginjal dan hidrasi. Walaubagaimanapun, ianya tidak boleh digunakan secara bersendirian dalam penentuan fungsi ginjal (hanya untuk ujian penyaringan sahaja).
Kreatinin
Kreatinin selalunya diukur bersama-sama urea untuk menentukan fungsi ginjal.
Asid Urik
Gout merupakan sindrom klinikal bagi pesakit yang mempunyai asid urik yang tinggi dalam darah dan pengenapan kristal urate pada tisu lembut; terutamanya pada sendi mengakibatkan respons inflamasi.
Parasnya dalam darah juga dipengaruhi oleh jumlah asid urik yang dihasilkan dan kecekapan eksresi ginjal.
LIPID STUDIES
Aras kolesterol darah memberikan indikasi risiko mendapat penyakit kardiovaskular dan juga berguna untuk menilai fungsi hati dan tiroid.
Kolesterol
Peningkatannya boleh mengakibatkan penimbunan pada dinding salur darah menyebabkan penyempitan dan seterusnya penyumbatan saluran darah (arhterosclerosis).
HDL-Kolesterol
Ianya dikenali juga sebagai kolesterol yang baik (good cholesterol). Ianya berfungsi sebagai pengangkut bagi mengeluarkan kolesterol yang berlebihan dari sel. Nilainya boleh ditingkatkan dengan melakukan senaman harian.
LDL-Kolesterol
Ianya juga dikenali sebagai kolesterol yang tak baik (bad cholesterol). Kolesterol yang berlebihan akan diangkut oleh LDL ke dinding arteri; mengakibatkan artherosclerosis.
Trigliseride
Trigliseride merupakan asid lemak yang ditemui dalam aliran darah. Aras yang tinggi boleh meningkatkan risiko mendapat penyakit jantung.
Glukos (Kandungan gula darah)
Ianya biasa digunakan untuk mengdiagnos penyakit kencing manis (diabetes mellitus). atau bagi menilai tahap pengawalan glukos. Perubahan arasnya dalam darah bergantung kepada aktiviti individu dan juga jangkamasa selepas makan.
Individu dengan keputusan ujian glukos darah dalam keadaan puasa yang menghampiri nilai yang ditetapkan dikehendaki melakukan ujian Glucose Tolerance Test (GTT) untuk menentukan diagnosis penyakit kencing manis.
T4 (Thyroxine)
Aras T4 darah berguna sebagai ujian penyaringan bagi mengesan penyakit tiroid.
Kalsium & Fosforus
Kedua-dua ujian ini berguna bagi mengdiagnos penyakit ginjal dan penyakit tulang (skeletal disorders) serta digunakan untuk menilai elektrolit dan keseimbangan asid-bes.
HBsAg
Individu dengan keputusan HBsAg reaktif juga dikenali sebagai pembawa Hepatitis B (Hepatitis B carrier). Pembawa Hepatitis B mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapat penyakit kanser hati dan kerosakan hati (cirrhosis) jika dibandingkan dengan orang normal.
Anti-HBs
Anti-HBs merupakan antibodi yang dihasilkan bagi melawan antigen permukaan Hepatitis B.
Rheumatoid Factor (RF)
RF boleh dikesan pada pesakit yang menghidap rheumatoid arthritis dan inflamasi kronik seperti sifilis, hepatitis, infectious mononucleosis dan leprosi.
VDRL
VDRL adalah ujian penyaringan bagi penyakit sifilis. Keputusan VDRL positif tidak semestinya menunjukkan seseorang individu itu mempunyai sifilis kerana kemungkinan terjadinya reaksi positif palsu. Ujian TPHA dilakukan untuk mengesahkan penyakit sifilis jika ujian VDRL didapati positif di peringkat awal.
Petanda Tumor (Tumour Markers)
Tumour markers merupakan salah satu ujian yang penting yang dapat digunakan bersama dengan ujian lain dalam diagnosis penyakit. Selain daripada mengesan dan mengikuti perkembangan sesuatu penyakit, penentuan dengan ujian petanda tumor tertentu juga dapat menolong mengdiagnos sesuatu penyakit secara klinikal.
CEA (Carcino Embryonic Antigen)
Ianya dihasilkan secara khusus oleh sel yang aktif membahagi (proliferatif). CEA dikesan dalam aras yang tinggi pada pesakit yang mempunyai tumor pada saluran gastrointestinal (pankreas, kolon, rektum), paru-paru, buah dada, kelenjar prostatik dan ovari. Parasnya dalam darah juga bergantung kepada faktor lain seperti kehadiran inflamasi dan juga tabiat merokok.
AFP (Alpha feto Protein)
AFP merupakan antigen onkofetal yang hadir pada sesetengah sel 'germ line tumour' seperti teratoblastoma, kanser testikular dan ovari, kanser hati (hepatocellular carcinoma) dan penyakit hati seperti cirrhosis, hepatitis dan nekrosis. Ujian ini biasanya digunakan secara meluas bagi mengdiagnos kanser hati.
PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA dijumpai hanya pada tisu prostatik. Ianya digunakan untuk mengdiagnos kanser prostatik. Aras dalam darah juga meningkat pada keadaan benign seperti benign prostatic hypertrophy (BPH).
CA-125
Aras CA-125 berguna untuk mengesan perkembangan kanser dan nilainya mempunyai korelasi dengan saiz kanser.
CA-153
Aras CA-153 dalam darah meningkat dalam pesakit kanser payudara dan kanser paru-paru. Ianya digunakan untuk mengesan pertumbuhan kanser baru selepas terapi primer sebelum ianya dapat dikesan secara klinikal.
CA-199
Aras CA-199 biasanya meningkat pada pesakit dengan kanser intra-abdomen, adenokarsinoma paru-paru, perut, pundi hempedu dan kolon.
HSV II IgG (Herpes Simplex Type II IgG)
Infeksi HSV jenis II dikelasifikasikan sebagai penyakit jangkitan seksual. Namun begitu, infeksi HSV jenis I yang bukan penyakit seksual mungkin akan memberi keputusan ujian positif palsu. Ini adalah kerana kedua-dua virus tersebut mempunyai banyak persamaan (cross reactivity).
HAV IgG (Hepatitis A IgG)
Kehadiran antibodi adalah kekal dan dapat memberi perlindungan dari jangkitan berulang.
Anti HIV I & II
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan agen penyebab bagi penyakit AIDs (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Strain virus yang utama adalah jenis I dan II.
Diagnosis serologi dan penyaringan jangkitan HIV adalah melalui pengesanan antibodi HIV (Anti HIV I & II). Pengesahan jangkitan HIV adalah melalui ujian Western Blot. Individu dengan keputusan ujian Anti HIV I & II negatif tidak bermakna ianya tidak dijangkiti kerana ujian yang dilakukan pada window period akan memberi keputusan negatif palsu.
sumber.http://www.bphealthcare.com
versi bahasa malaya
Ujian Pemeriksaan Kesihatan merupakan sekumpulan ujian yang direka khas untuk menilai tahap kesihatan seseorang individu. Panduan ini memberikan maklumat umum tentang jenis-jenis dan kepentingan ujian yang dilakukan. Namun demikian, anda dinasihatkan untuk mendapat maklumat atau keterangan lanjut dari doktor anda.
PEMERIKSAAN DARAH PERIFERI
Red Cell Indices
Red Cell Indices memberi petunjuk tentang ketaknormalan sel darah merah.
Hematokrit (PCV)
Nilai PCV yang rendah mungkin disebabkan oleh anemia, kehilangan darah dan anemia hemolitik. PCV yang tinggi boleh disebabkan oleh polycythaemia atau macrocytosis.
Hemoglobin (Hb)
Hb berperanan sebagai pengangkut oksigen kepada sel. Nilai Hb di bawah aras normal menandakan anemia.
Sel Darah Putih
Sel darah putih (SDP) bertindak sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisma yang boleh mendatangkan penyakit. Ia boleh dibahagikan kepada 5 jenis iaitu neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil.
Kehadiran sel yang abnormal menandakan infeksi kronik. Kehadiran sel-sel yang tak matang (blasts cells) dalam darah periferi dan peninkatan nilai SDP menandakan leukemia.
Platelet
Platelet memainkan peranan yang penting dalam mekanisma pembekuan darah bagi mengelakkan kehilangan darah yang berlebihan.
ESR
Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) merupakan kadar enapan komponen selular dalam plasma dalam masa satu jam.
PBF (Peripheral Blood Film)
Smear darah nipis yang diwarnakan dengan pewarna tertentu dan diperiksa di bawah mikroskop. Impression yang diberikan adalah berdasarkan smear darah dan keputusan ujian darah yang lain.
Kumpulan Darah
Dua sistem yang biasa digunakan dalam penentuan kumpulan darah adalah ABO dan Rhesus (Rh). Melalui sistem ABO, kumpulan darah boleh dibahagikan kepada A, B, AB dan O. Taburan bagi setiap kumpulan adalah A (23%), B (23%), AB (5%) dan O (49%).
Di bawah sistem Rhesus pula, darah boleh dibahagikan kepada 2 kumpulan iaitu rhesus positif atau rhesus negatif.
URIN (FEME)
Urin atau air kencing dihasilkan dari proses penyaringan darah melalui ginjal. Kandungan urin bergantung kepada keadaan kesihatan dan pemakanan harian seseorang individu.
pH
Individu normal mempunyai julat pH antara 5.0 hingga 7.0. Faktor yang mempengaruhi pH urin seseorang individu adalah pemakanan harian, tempoh selepas pengutipan sampel, infeksi saluran urinari dan ketakseimbangan hormonal.
Glukos
Ujian saringan kehadiran glukos dalam urin adalah petanda seseorang individu itu mempunyai penyakit diabetes melitus. Namun demikian, kehadiran glukos dalam urin individu yang normal mungkin berlaku dalam individu yang mempunyai ambang glukos rendah; keadaan yang dikenali sebagai glukosuria.
Keton
Keton adalah hasil sampingan daripada metabolisma lemak dan dikumuhkan dalam urin. Keton biasanya hadir dalam pesakit diabetes mellitus kerana sel-sel badan tidak dapat menggunakan glukos sebagai sumber tenaga secara efektif.
Darah
Kehadiran darah dalam urin; hematuria;mungkin berpunca dari ginjal, saluran urinari atau pundi kencing. Hematuria dengan kesakitan adalah satu petanda kehadiran batu karang dalam salur urinari. Namun demikian, kehadiran darah dalam perempuan semasa haid biasanya dianggap normal.
Protein
Kandungan protein meningkat dalam individu yang mengalami infeksi saluran urinari, individu yang mempunyai tekanan darah tinggi, diabetes mellitus dan penyakit ginjal.
Specific Graviti (S.G.)
S.G. adalah indikasi daya pemekatan dan perkumuhan ginjal. Individu normal mempunyai julat S.G. antara 1.015 hingga 1.030.
Mikroskopi
Permeriksaan kandungan urin di bawah mikroskop.
Sel Darah Putih (SDP)
Hitungan kurang dari 5 dalam satu HPF dianggap normal. Peningkatan SDP dan kehadiran bakteria dalam urin adalah berhubungkait dengan infeksi saluran urinari.
Ujian kultur perlu dilakukan untuk menentukan jenis bakteria dan antibiotik yang perlu diberikan.
Sel Darah Merah (SDM)
SDM menandakan kehadiran darah dalam urin.
Sel Epithelia
Hitungan lebih dari 10 dalam satu HPF adalah indikasi infeksi saluran urinari.
Casts
Kehadiran cast granular mungkin menandakan kegagalan fungsi ginjal. Cast hialin boleh hadir dalam urin individu normal selepas senaman berat atau individu yang mengamalkan pemakanan diet kaya protein.
Kristal
Kristal urin yang biasa dilihat adalah kristal asid urik dan kalsium oksalat. Kehadiran kristal triple phosphate menandakan kemungkinan besar kehadiran batu karang ginjal.
UJIAN FUNGSI HATI
Protein (Albumin & Globulin)
Kedua-dua albumin dan globulin berguna untuk mengukur status pemakanan seseorang individu. Kedua-duanya juga berguna untuk mendiagnosis penyakit hati, gastrointestinal dan ginjal (buah pinggang), ketaknormalan protein, kanser dan kegagalan fungsi sel darah.
Bilirubin
Peningkatan aras bilirubin dalam serum boleh berpunca dari kegagalan fungsi hati, obstruksi salur hempedu atau penyakit sel darah merah. Manifestasi klinikal ialah penyakit kuning.
SGOT/AST/Aspartate Aminotransferase
Enzim akan dibebaskan ke dalam peredaran darah apabila sel tercedera dan aras akan meningkat mengikut tahap kecederaan pada sel.
SGPT/ALT/Alanine Aminotransferase
Ianya selalu digunakan bersama SGOT bagi mengukur fungsi hati dan mendiagnos penyakit yang berkaitan dengan kegagalan fungsi hati.
SAP/Alkaline Phosphatase
Paras ALP yang tinggi ditemui pada kanak-kanak, penyakit hati, obstruksi salur hempedu dan penyakit tulang.
UJIAN FUNGSI GINJAL (RENAL FUNCTION TEST)
Elektrolit
Elektrolit merupakan komponen yang penting dalam cecair badan dan keseimbangannya membolehkan berbagai sel dan organ berfungsi secara normal.
Urea
Urea merupakan hasil akhir metabolisma protein dan asid amino. Ia mengukur fungsi ginjal dan hidrasi. Walaubagaimanapun, ianya tidak boleh digunakan secara bersendirian dalam penentuan fungsi ginjal (hanya untuk ujian penyaringan sahaja).
Kreatinin
Kreatinin selalunya diukur bersama-sama urea untuk menentukan fungsi ginjal.
Asid Urik
Gout merupakan sindrom klinikal bagi pesakit yang mempunyai asid urik yang tinggi dalam darah dan pengenapan kristal urate pada tisu lembut; terutamanya pada sendi mengakibatkan respons inflamasi.
Parasnya dalam darah juga dipengaruhi oleh jumlah asid urik yang dihasilkan dan kecekapan eksresi ginjal.
LIPID STUDIES
Aras kolesterol darah memberikan indikasi risiko mendapat penyakit kardiovaskular dan juga berguna untuk menilai fungsi hati dan tiroid.
Kolesterol
Peningkatannya boleh mengakibatkan penimbunan pada dinding salur darah menyebabkan penyempitan dan seterusnya penyumbatan saluran darah (arhterosclerosis).
HDL-Kolesterol
Ianya dikenali juga sebagai kolesterol yang baik (good cholesterol). Ianya berfungsi sebagai pengangkut bagi mengeluarkan kolesterol yang berlebihan dari sel. Nilainya boleh ditingkatkan dengan melakukan senaman harian.
LDL-Kolesterol
Ianya juga dikenali sebagai kolesterol yang tak baik (bad cholesterol). Kolesterol yang berlebihan akan diangkut oleh LDL ke dinding arteri; mengakibatkan artherosclerosis.
Trigliseride
Trigliseride merupakan asid lemak yang ditemui dalam aliran darah. Aras yang tinggi boleh meningkatkan risiko mendapat penyakit jantung.
Glukos (Kandungan gula darah)
Ianya biasa digunakan untuk mengdiagnos penyakit kencing manis (diabetes mellitus). atau bagi menilai tahap pengawalan glukos. Perubahan arasnya dalam darah bergantung kepada aktiviti individu dan juga jangkamasa selepas makan.
Individu dengan keputusan ujian glukos darah dalam keadaan puasa yang menghampiri nilai yang ditetapkan dikehendaki melakukan ujian Glucose Tolerance Test (GTT) untuk menentukan diagnosis penyakit kencing manis.
T4 (Thyroxine)
Aras T4 darah berguna sebagai ujian penyaringan bagi mengesan penyakit tiroid.
Kalsium & Fosforus
Kedua-dua ujian ini berguna bagi mengdiagnos penyakit ginjal dan penyakit tulang (skeletal disorders) serta digunakan untuk menilai elektrolit dan keseimbangan asid-bes.
HBsAg
Individu dengan keputusan HBsAg reaktif juga dikenali sebagai pembawa Hepatitis B (Hepatitis B carrier). Pembawa Hepatitis B mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapat penyakit kanser hati dan kerosakan hati (cirrhosis) jika dibandingkan dengan orang normal.
Anti-HBs
Anti-HBs merupakan antibodi yang dihasilkan bagi melawan antigen permukaan Hepatitis B.
Rheumatoid Factor (RF)
RF boleh dikesan pada pesakit yang menghidap rheumatoid arthritis dan inflamasi kronik seperti sifilis, hepatitis, infectious mononucleosis dan leprosi.
VDRL
VDRL adalah ujian penyaringan bagi penyakit sifilis. Keputusan VDRL positif tidak semestinya menunjukkan seseorang individu itu mempunyai sifilis kerana kemungkinan terjadinya reaksi positif palsu. Ujian TPHA dilakukan untuk mengesahkan penyakit sifilis jika ujian VDRL didapati positif di peringkat awal.
Petanda Tumor (Tumour Markers)
Tumour markers merupakan salah satu ujian yang penting yang dapat digunakan bersama dengan ujian lain dalam diagnosis penyakit. Selain daripada mengesan dan mengikuti perkembangan sesuatu penyakit, penentuan dengan ujian petanda tumor tertentu juga dapat menolong mengdiagnos sesuatu penyakit secara klinikal.
CEA (Carcino Embryonic Antigen)
Ianya dihasilkan secara khusus oleh sel yang aktif membahagi (proliferatif). CEA dikesan dalam aras yang tinggi pada pesakit yang mempunyai tumor pada saluran gastrointestinal (pankreas, kolon, rektum), paru-paru, buah dada, kelenjar prostatik dan ovari. Parasnya dalam darah juga bergantung kepada faktor lain seperti kehadiran inflamasi dan juga tabiat merokok.
AFP (Alpha feto Protein)
AFP merupakan antigen onkofetal yang hadir pada sesetengah sel 'germ line tumour' seperti teratoblastoma, kanser testikular dan ovari, kanser hati (hepatocellular carcinoma) dan penyakit hati seperti cirrhosis, hepatitis dan nekrosis. Ujian ini biasanya digunakan secara meluas bagi mengdiagnos kanser hati.
PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA dijumpai hanya pada tisu prostatik. Ianya digunakan untuk mengdiagnos kanser prostatik. Aras dalam darah juga meningkat pada keadaan benign seperti benign prostatic hypertrophy (BPH).
CA-125
Aras CA-125 berguna untuk mengesan perkembangan kanser dan nilainya mempunyai korelasi dengan saiz kanser.
CA-153
Aras CA-153 dalam darah meningkat dalam pesakit kanser payudara dan kanser paru-paru. Ianya digunakan untuk mengesan pertumbuhan kanser baru selepas terapi primer sebelum ianya dapat dikesan secara klinikal.
CA-199
Aras CA-199 biasanya meningkat pada pesakit dengan kanser intra-abdomen, adenokarsinoma paru-paru, perut, pundi hempedu dan kolon.
HSV II IgG (Herpes Simplex Type II IgG)
Infeksi HSV jenis II dikelasifikasikan sebagai penyakit jangkitan seksual. Namun begitu, infeksi HSV jenis I yang bukan penyakit seksual mungkin akan memberi keputusan ujian positif palsu. Ini adalah kerana kedua-dua virus tersebut mempunyai banyak persamaan (cross reactivity).
HAV IgG (Hepatitis A IgG)
Kehadiran antibodi adalah kekal dan dapat memberi perlindungan dari jangkitan berulang.
Anti HIV I & II
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan agen penyebab bagi penyakit AIDs (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Strain virus yang utama adalah jenis I dan II.
Diagnosis serologi dan penyaringan jangkitan HIV adalah melalui pengesanan antibodi HIV (Anti HIV I & II). Pengesahan jangkitan HIV adalah melalui ujian Western Blot. Individu dengan keputusan ujian Anti HIV I & II negatif tidak bermakna ianya tidak dijangkiti kerana ujian yang dilakukan pada window period akan memberi keputusan negatif palsu.
sumber.http://www.bphealthcare.com
Meresepkan antibiotik berlebihan pada anak-anak menyebabkan resistensi obat (07-Aug-2007)
Oleh: NFA
Para ahli Inggris mengingatkan dalam studi yang dipublikasi di BMJ online 26 Juli 2007, meresepkan rutin antibiotik pada anak-anak di dalam komunitas tetap mempertahankan resistensi antibiotik yang tinggi pada populasi. Menurut David mant dan koleganya dari Universitas Oxford, para dokter umum di Inggris didorong kuat agar mengurangi penulisan antibiotik untuk meminimalkan risiko resistensi obat, sehubungan peresepan antibiotik pada anak-anak masih biasa dalam praktek sehari-hari.
Tulisan yang dipublikasikan tahun 1999 melaporkan bahwa lebih dari setengah (55%) anak-anak berumur 0-5 tahun di Inggris (kelompok pasien yang menerima banyak antibiotik di komunitas) menerima rata-rata 2,2 resep antibiotik beta laktam seperti amoksisilin dari dokter umum mereka setiap tahun. Walaupun pengurangan dalam peresepan (dengan strategi merekomendasikan menunda 24-48 jam sebelum meresepkan antibiotik) telah menghasilkan penurunan sekitar 40% konsumsi antibiotik semenjak itu, suatu data yang tidak dipublikasi menjelaskan bahwa penulisan antibiotik dalam komunitas meningkat kembali.
Dalam British Medical Journal (BMJ) juga dilaporkan studi yang menunjukkan bahwa dokter umum di Inggris masih meresepkan antibiotik pada sebagian besar pasien dengan infeksi minor. Jadi, mereka melakukan pengujian efek peresepan antibiotik terhadap resistensi antibiotik
Mereka mengidentifikasi 119 anak yangmengunjungi praktek dokter umum di Oxfordshire dengan infeksi saluran napas atas, yang 71 diantaranya menerima antibiotik beta laktam (amoksisilin) dan 48 tidak menerima antibiotik. Latar belakang informasi medis dicatat dan cairan tenggorokan diambil pada permulaan studi dan diambil kembali pada menggu ke-2 dan ke-12 untuk mengetahui apakah bakteri resisten timbul. Bakteri resisten diidentifikasi dengan hadirnya gen yang mengkode untuk resistensi bakteri tersebut. Pada anak-anak yang tidak menerima antiobiotik, tidak terjadi peningkatan bakteri resisten bawaan dalam tenggorokan dari mulai sampai pada minggu ke-2 dan ke-12. Namun demikian, pada anak-anak yang menerima antibiotik, sejumlah bakteri resisten bawaan menjadi 2 kali lipat setelah minggu ke-2, tapi menurun kembali di minggu ke-12 ke tingkat awal. Hasil ini menunjukkan bahwa peresepan amoksisilin pada anak-anak di praktek umum meningkatkan 2 kali lipat risiko elemen resistensi beta laktam pada tenggorokan anak 2 minggu kemudian.
Walaupun efek ini bersifat temporer pada individu anak, penulis mengingatkan bahwa hal ini cukup mempertahankan kadar tinggi resistensi antibiotik dalam populasi. Memotong angka resistensi memerlukan perubahan substansi dan terus menerus dalam penulisan antibiotik di dalam komunitas. Pilihannya mencakup penanganan jangka pendek atau hanya meresepkan antibiotik dalam keadaan yang jelas dan tidak dapat digantikan.
sumber.http://www.kalbe.co.id
Oleh: NFA
Para ahli Inggris mengingatkan dalam studi yang dipublikasi di BMJ online 26 Juli 2007, meresepkan rutin antibiotik pada anak-anak di dalam komunitas tetap mempertahankan resistensi antibiotik yang tinggi pada populasi. Menurut David mant dan koleganya dari Universitas Oxford, para dokter umum di Inggris didorong kuat agar mengurangi penulisan antibiotik untuk meminimalkan risiko resistensi obat, sehubungan peresepan antibiotik pada anak-anak masih biasa dalam praktek sehari-hari.
Tulisan yang dipublikasikan tahun 1999 melaporkan bahwa lebih dari setengah (55%) anak-anak berumur 0-5 tahun di Inggris (kelompok pasien yang menerima banyak antibiotik di komunitas) menerima rata-rata 2,2 resep antibiotik beta laktam seperti amoksisilin dari dokter umum mereka setiap tahun. Walaupun pengurangan dalam peresepan (dengan strategi merekomendasikan menunda 24-48 jam sebelum meresepkan antibiotik) telah menghasilkan penurunan sekitar 40% konsumsi antibiotik semenjak itu, suatu data yang tidak dipublikasi menjelaskan bahwa penulisan antibiotik dalam komunitas meningkat kembali.
Dalam British Medical Journal (BMJ) juga dilaporkan studi yang menunjukkan bahwa dokter umum di Inggris masih meresepkan antibiotik pada sebagian besar pasien dengan infeksi minor. Jadi, mereka melakukan pengujian efek peresepan antibiotik terhadap resistensi antibiotik
Mereka mengidentifikasi 119 anak yangmengunjungi praktek dokter umum di Oxfordshire dengan infeksi saluran napas atas, yang 71 diantaranya menerima antibiotik beta laktam (amoksisilin) dan 48 tidak menerima antibiotik. Latar belakang informasi medis dicatat dan cairan tenggorokan diambil pada permulaan studi dan diambil kembali pada menggu ke-2 dan ke-12 untuk mengetahui apakah bakteri resisten timbul. Bakteri resisten diidentifikasi dengan hadirnya gen yang mengkode untuk resistensi bakteri tersebut. Pada anak-anak yang tidak menerima antiobiotik, tidak terjadi peningkatan bakteri resisten bawaan dalam tenggorokan dari mulai sampai pada minggu ke-2 dan ke-12. Namun demikian, pada anak-anak yang menerima antibiotik, sejumlah bakteri resisten bawaan menjadi 2 kali lipat setelah minggu ke-2, tapi menurun kembali di minggu ke-12 ke tingkat awal. Hasil ini menunjukkan bahwa peresepan amoksisilin pada anak-anak di praktek umum meningkatkan 2 kali lipat risiko elemen resistensi beta laktam pada tenggorokan anak 2 minggu kemudian.
Walaupun efek ini bersifat temporer pada individu anak, penulis mengingatkan bahwa hal ini cukup mempertahankan kadar tinggi resistensi antibiotik dalam populasi. Memotong angka resistensi memerlukan perubahan substansi dan terus menerus dalam penulisan antibiotik di dalam komunitas. Pilihannya mencakup penanganan jangka pendek atau hanya meresepkan antibiotik dalam keadaan yang jelas dan tidak dapat digantikan.
sumber.http://www.kalbe.co.id
Memberikan ASI pada 1 jam pertama melahirkan dapat mengurangi kematian bayi (09-Aug-2007)
Oleh: NFA
UNICEF membuka World Breasfeeding Week, 1-7 Agustus 2007 dengan penjelasan bahwa memberikan ASI segera setelah melahirkan dapat mencegah secara bermakna jumlah kematian janin di negara-negara berkembang. World Breasfeeding Week dirayakan pertama kali tahun 1992 dan saat ini melayani di lebih 120 negara oleh UNICEF dan parnernya, termasuk World Alliance for Breasfeeding Action and the World Health Organization.
Studi dari Ghana yang dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics edisi 177 tahun 2006 mengindikasikan bahwa 16% kematian neonatus dapat dicegah dengan memberikan ASI pada bayi pada hari pertama, meningkat 22% jika pemberian ASI dimulai pada 1 jam pertama setelah kelahiran. Pemberian ASI secara dini adalah tema World Breasfeeding Week tahun ini. Ann M. Veneman, Direktur eksekutif UNICEF mengatakan, “Lebih dari sepertiga anak-anak meninggal terjadi pada bulan pertama yang sangat riskan setelah kelahiran. Memberikan ASI sedini mungkin, menghasilkan nutrisi kritis yang melindungi bayi melawan penyakit mematikan dan memacu pertumbuhan dan perkembangan.”
Isu ini relevan khususnya di daerah sub sahara Afrika yang mempunyai angka kematian bayi tertinggi di dunia. Sekitar 10% dari semua bayi, meninggal sebelum berumur 1 tahun dan kebanyakan kematian bayi terjadi di rumah. Walaupun laju menyusui ASI eksklusif sampai 6 bulan menjadi 2 kali lipat di daerah ini sejak tahun 1990 (menjadi 30%), masih meninggalkan ratusan dari ribuan anak-anak yang rentan pada penyakit dan kematian.
Vaneman mengatakan merupakan hal yang kritis untuk mencapai para wanita di rumah dan komunitas. UNICEF menunjang pelayanan kesehatan berbasis komunitas terintegrasi, termasuk promosi menyusui ASI eksklusif dan kerjasama dengan parner, pemerintah dan komunitas untuk mendukung peraturan menyusui bayi nasional, meningkatkan pelayanan saat dan setelah kelahiran dan memacu sumber-sumber untuk ibu-ibu baru di tingkat komunitas.
Dalam mendukung upaya dunia mempromosikan menyusui ASI, UNICEF Inncenti Research Centre telah menyiapkan paket yang berisi publikasi, poster dan materi komunikasi dan saran lain dalam beberapa bahasa
sumber.http://www.kalbe.co.id
Oleh: NFA
UNICEF membuka World Breasfeeding Week, 1-7 Agustus 2007 dengan penjelasan bahwa memberikan ASI segera setelah melahirkan dapat mencegah secara bermakna jumlah kematian janin di negara-negara berkembang. World Breasfeeding Week dirayakan pertama kali tahun 1992 dan saat ini melayani di lebih 120 negara oleh UNICEF dan parnernya, termasuk World Alliance for Breasfeeding Action and the World Health Organization.
Studi dari Ghana yang dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics edisi 177 tahun 2006 mengindikasikan bahwa 16% kematian neonatus dapat dicegah dengan memberikan ASI pada bayi pada hari pertama, meningkat 22% jika pemberian ASI dimulai pada 1 jam pertama setelah kelahiran. Pemberian ASI secara dini adalah tema World Breasfeeding Week tahun ini. Ann M. Veneman, Direktur eksekutif UNICEF mengatakan, “Lebih dari sepertiga anak-anak meninggal terjadi pada bulan pertama yang sangat riskan setelah kelahiran. Memberikan ASI sedini mungkin, menghasilkan nutrisi kritis yang melindungi bayi melawan penyakit mematikan dan memacu pertumbuhan dan perkembangan.”
Isu ini relevan khususnya di daerah sub sahara Afrika yang mempunyai angka kematian bayi tertinggi di dunia. Sekitar 10% dari semua bayi, meninggal sebelum berumur 1 tahun dan kebanyakan kematian bayi terjadi di rumah. Walaupun laju menyusui ASI eksklusif sampai 6 bulan menjadi 2 kali lipat di daerah ini sejak tahun 1990 (menjadi 30%), masih meninggalkan ratusan dari ribuan anak-anak yang rentan pada penyakit dan kematian.
Vaneman mengatakan merupakan hal yang kritis untuk mencapai para wanita di rumah dan komunitas. UNICEF menunjang pelayanan kesehatan berbasis komunitas terintegrasi, termasuk promosi menyusui ASI eksklusif dan kerjasama dengan parner, pemerintah dan komunitas untuk mendukung peraturan menyusui bayi nasional, meningkatkan pelayanan saat dan setelah kelahiran dan memacu sumber-sumber untuk ibu-ibu baru di tingkat komunitas.
Dalam mendukung upaya dunia mempromosikan menyusui ASI, UNICEF Inncenti Research Centre telah menyiapkan paket yang berisi publikasi, poster dan materi komunikasi dan saran lain dalam beberapa bahasa
sumber.http://www.kalbe.co.id
Penggunaan kalsium dan vitamin D setahun bermanfaat bagi pasien patah tulang (16-Aug-2007)
Oleh: NFA
Kalbe.co.id - Berdasarkan temuan yang dipublikasikan dalam American Journal of Clinical Nutrition edisi Juli 2007, penggunaan kalsium dan vitamin D selama setahun menurunkan kehilangan masa tulang diantara pasien-pasien dengan patah tulang ringan. Pemberian kalsium dan vitamin D ini meningkatkan densitas mineral tulang (bone mineral density = BMD) pada pasien berumur kurang dari 70 tahun dan menurunkan keropos tulang pada pasien yang lebih tua.
Dr. Mette F. Hitz, dari Copenhagen University Hospital Hvidovre, denmark dan koleganya menulis, patah tulang ringan pada pinggul, lengan, pundak, dan tulang belakang telah diketahui merupakan konsekuensi osteoporosis. Patah tulang pinggul terjadi pada sebagian besar orang tua sebagai akibat risiko defisiensi kalsium dan vitamin D.
Dalam studi buta ganda, para peneliti menguji efek penanganan kalsium dan vitamin D selama 1 tahun pada densitas mineral tulang dan penanda tulang dari 122 pasien yang baru-baru ini mengalami patah tulang ringan. Partisipan diuji secara acak untuk menerima 3.000 mg kalsium karbonat plus 1.400 IU ko-kalsiferol atau plasebo. Dalam analisis intention-to-treat, densitas mineral tulang tulang belakang meningkat pada kelompok yang diintervensi dan penurunan terjadi pada kelompok plasebo. Perbedaan bermakna antara kedua kelompok terjadi setelah 12 bulan. Tidak ada perubahan bermakna untuk densitas mineral tulang pinggul.
Tim melaporkan bahwa penyusunan berdasarkan umur menunjukkan efek yang lebih nyata dari penanganan (densitas mineral tulang tulang belakang) pada pasien-pasien berumur kurang dari 70 tahun dibandingkan mereka yang berumur lebih dari 70 tahun. Mereka juga menemukan bahwa perubahan densitas mineral tulang pada tulang belakang berhubungan dengan performa fisik, yang menekankan pentingnya pergerakan (mobilisasi).
Para peneliti menekankan bahwa karena kelemahan pasien-pasien berumur lebih dari 70 tahun tidak banyak bergerak, sehingga mereka tidak dapat menurunkan penyerapan tulang dan meningkatkan massa tulang ketika ditangani dengan kalsium dan vitamin D. Pentingnya pemuatan mekanis yang cukup telah ditunjukkan dalam trial-trial klinis. Efek pemberian kalsium dan vitamin D berkurang apabila pasien-pasien tidak banyak bergerak.
sumber.http://www.kalbe.co.id
Oleh: NFA
Kalbe.co.id - Berdasarkan temuan yang dipublikasikan dalam American Journal of Clinical Nutrition edisi Juli 2007, penggunaan kalsium dan vitamin D selama setahun menurunkan kehilangan masa tulang diantara pasien-pasien dengan patah tulang ringan. Pemberian kalsium dan vitamin D ini meningkatkan densitas mineral tulang (bone mineral density = BMD) pada pasien berumur kurang dari 70 tahun dan menurunkan keropos tulang pada pasien yang lebih tua.
Dr. Mette F. Hitz, dari Copenhagen University Hospital Hvidovre, denmark dan koleganya menulis, patah tulang ringan pada pinggul, lengan, pundak, dan tulang belakang telah diketahui merupakan konsekuensi osteoporosis. Patah tulang pinggul terjadi pada sebagian besar orang tua sebagai akibat risiko defisiensi kalsium dan vitamin D.
Dalam studi buta ganda, para peneliti menguji efek penanganan kalsium dan vitamin D selama 1 tahun pada densitas mineral tulang dan penanda tulang dari 122 pasien yang baru-baru ini mengalami patah tulang ringan. Partisipan diuji secara acak untuk menerima 3.000 mg kalsium karbonat plus 1.400 IU ko-kalsiferol atau plasebo. Dalam analisis intention-to-treat, densitas mineral tulang tulang belakang meningkat pada kelompok yang diintervensi dan penurunan terjadi pada kelompok plasebo. Perbedaan bermakna antara kedua kelompok terjadi setelah 12 bulan. Tidak ada perubahan bermakna untuk densitas mineral tulang pinggul.
Tim melaporkan bahwa penyusunan berdasarkan umur menunjukkan efek yang lebih nyata dari penanganan (densitas mineral tulang tulang belakang) pada pasien-pasien berumur kurang dari 70 tahun dibandingkan mereka yang berumur lebih dari 70 tahun. Mereka juga menemukan bahwa perubahan densitas mineral tulang pada tulang belakang berhubungan dengan performa fisik, yang menekankan pentingnya pergerakan (mobilisasi).
Para peneliti menekankan bahwa karena kelemahan pasien-pasien berumur lebih dari 70 tahun tidak banyak bergerak, sehingga mereka tidak dapat menurunkan penyerapan tulang dan meningkatkan massa tulang ketika ditangani dengan kalsium dan vitamin D. Pentingnya pemuatan mekanis yang cukup telah ditunjukkan dalam trial-trial klinis. Efek pemberian kalsium dan vitamin D berkurang apabila pasien-pasien tidak banyak bergerak.
sumber.http://www.kalbe.co.id
PLASENTA DALAM DUNIA KOSMETIKA
Di zaman yang penuh dengan kepalsuan ini kosmetika memegang peranan yang cukup dominan. Ia dapat mengubah citra seseorang sesuai dengan yang diinginkan. Ia juga dapat menutup kekurangan dan kelemahan fisik yang dimiliki seseorang menjadi lebih cantik dan menawan. Atau setidaknya memberikan kesegaran, perawatan kulit dan anggota tubuh, serta mencegah dan melindungi pengaruh buruk dari proses oksidasi, penuaan, sinar matahari maupun debu.
Fungsi inilah yang kemudian banyak diminati konsumen, khususnya di kalangan kaum hawa. Tampil cantik dan sehat merupakan dambaan setiap orang. Sekedar menjaga dan merawat kulit, tanpa bermaksud mengubah ataupun memodifikasinya, sebenarnya sah-sah saja. Apalagi untuk tujuan-tujuan yang baik tanpa ada niat negatif yang dilarang Agama. Tetapi niat baik itu akan sia-sia jika kosmetika yang digunakan mengandung bahan yang haram dan najis.
Salah satu bahan kosmetika yang saat ini sedang populer dan banyak digunakan untuk berbagai keperluan adalah plasenta. Krim pelembut, pelembab, pencegah penuaan, antioksidan, pencegah keriput dan jenis kosmetika kulit lainnya cukup banyak yang menggunakan bahan ini. Terutama kosmetika impor yang banyak beredar di pasar lokal. Negara pengekspor kosmetika tersebut terutama adalah Cina, Taiwan dan Jepang.
Mengapa plasenta sangat digemari produsen kosmetika dan begitu diminati konsumen? Plasenta adalah organ tubuh yang muncul pada waktu manusia atau hewan mengandung anaknya. Ketika bayi masih berada di dalam kandungan, ia belum bisa makan dan minum sebagaimana manusia yang sudah lahir. Untuk mencukupi kebutuhan gizi bagi pertumbuhannya, maka Tuhan menciptakan plasenta di dalam perut ibunya. Plasenta ini berisi zat-zat gizi dan zat-zat pertumbuhan yang sangat dibutuhkan bayi sebagai makanan. Pemasukan isi plasenta ke dalam tubuh si bayi dilakukan melalui sebuah saluran yang bermuara pada pusar.
Pada saat bayi lahir dan keluar dari rahim ibu, plasenta akan ikut keluar bersama. Saluran yang menghubungkan antara plasenta dan pusar bayi dipotong. Pada zaman dahulu, plasenta itu kemudian dikuburkan di suatu tempat, bahkan dengan ritual dan tradisi tertentu. Tetapi kini di beberapa rumah sakit bersalin, plasenta itu dibuang di tempat pembuangan. Nah, bahan itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh para ilmuwan sebagai bahan kosmetika.
Di dalam plasenta tersebut masih tersimpan zat gizi dan zat pertumbuhan , seperti vitamin dan hormon-hormon pertumbuhan. Dari hasil riset, zat-zat itu terbukti cukup efektif untuk merawat kulit, seperti mencegah kerut, mencegah penuaan dan mempertahankan kesegaran kulit.
Masalahnya, apakah penggunaan plasenta tersebut bisa dibenarkan dalam kaidah Islam? Dari kajian yang dilakukan, sumber plasenta itu sendiri bermacam-macam. Ada yang berasal dari plasenta manusia, ada pula yang berasal dari plasenta hewan. Sedangkan untuk plasenta hewan sendiri ada yang berasal dari kambing, sapi atau juga babi. Kalau yang berasal dari manusia jelas, Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan larangan bagi penggunaan organ tubuh manusia untuk keperluan makanan, obat maupun kosmetika. Demikian juga plasenta yang berasal dari hewan haram, hukumnya juga haram. Akan tetapi untuk plasenta dari hewan halal, seperti kambing dan sapi, saat ini masih dibahas di Komisi Fatwa.
Bagaimana status kosmetika yang menggunakan plasenta dan sudah beredar di tengah masyarakat? Memang tidak ada kejelasan, apakah berasal dari plasenta manusia atau yang lainnya. Kalau ternyata plasenta tersebut berasal dari manusia, maka hukumnya adalah haram dan tidak boleh digunakan. Nah, apakah untuk mempercantik penampilan wajah, Anda rela menggunakan bahan haram atau najis?
sumber.http://www.halalmui.or.id
Di zaman yang penuh dengan kepalsuan ini kosmetika memegang peranan yang cukup dominan. Ia dapat mengubah citra seseorang sesuai dengan yang diinginkan. Ia juga dapat menutup kekurangan dan kelemahan fisik yang dimiliki seseorang menjadi lebih cantik dan menawan. Atau setidaknya memberikan kesegaran, perawatan kulit dan anggota tubuh, serta mencegah dan melindungi pengaruh buruk dari proses oksidasi, penuaan, sinar matahari maupun debu.
Fungsi inilah yang kemudian banyak diminati konsumen, khususnya di kalangan kaum hawa. Tampil cantik dan sehat merupakan dambaan setiap orang. Sekedar menjaga dan merawat kulit, tanpa bermaksud mengubah ataupun memodifikasinya, sebenarnya sah-sah saja. Apalagi untuk tujuan-tujuan yang baik tanpa ada niat negatif yang dilarang Agama. Tetapi niat baik itu akan sia-sia jika kosmetika yang digunakan mengandung bahan yang haram dan najis.
Salah satu bahan kosmetika yang saat ini sedang populer dan banyak digunakan untuk berbagai keperluan adalah plasenta. Krim pelembut, pelembab, pencegah penuaan, antioksidan, pencegah keriput dan jenis kosmetika kulit lainnya cukup banyak yang menggunakan bahan ini. Terutama kosmetika impor yang banyak beredar di pasar lokal. Negara pengekspor kosmetika tersebut terutama adalah Cina, Taiwan dan Jepang.
Mengapa plasenta sangat digemari produsen kosmetika dan begitu diminati konsumen? Plasenta adalah organ tubuh yang muncul pada waktu manusia atau hewan mengandung anaknya. Ketika bayi masih berada di dalam kandungan, ia belum bisa makan dan minum sebagaimana manusia yang sudah lahir. Untuk mencukupi kebutuhan gizi bagi pertumbuhannya, maka Tuhan menciptakan plasenta di dalam perut ibunya. Plasenta ini berisi zat-zat gizi dan zat-zat pertumbuhan yang sangat dibutuhkan bayi sebagai makanan. Pemasukan isi plasenta ke dalam tubuh si bayi dilakukan melalui sebuah saluran yang bermuara pada pusar.
Pada saat bayi lahir dan keluar dari rahim ibu, plasenta akan ikut keluar bersama. Saluran yang menghubungkan antara plasenta dan pusar bayi dipotong. Pada zaman dahulu, plasenta itu kemudian dikuburkan di suatu tempat, bahkan dengan ritual dan tradisi tertentu. Tetapi kini di beberapa rumah sakit bersalin, plasenta itu dibuang di tempat pembuangan. Nah, bahan itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh para ilmuwan sebagai bahan kosmetika.
Di dalam plasenta tersebut masih tersimpan zat gizi dan zat pertumbuhan , seperti vitamin dan hormon-hormon pertumbuhan. Dari hasil riset, zat-zat itu terbukti cukup efektif untuk merawat kulit, seperti mencegah kerut, mencegah penuaan dan mempertahankan kesegaran kulit.
Masalahnya, apakah penggunaan plasenta tersebut bisa dibenarkan dalam kaidah Islam? Dari kajian yang dilakukan, sumber plasenta itu sendiri bermacam-macam. Ada yang berasal dari plasenta manusia, ada pula yang berasal dari plasenta hewan. Sedangkan untuk plasenta hewan sendiri ada yang berasal dari kambing, sapi atau juga babi. Kalau yang berasal dari manusia jelas, Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan larangan bagi penggunaan organ tubuh manusia untuk keperluan makanan, obat maupun kosmetika. Demikian juga plasenta yang berasal dari hewan haram, hukumnya juga haram. Akan tetapi untuk plasenta dari hewan halal, seperti kambing dan sapi, saat ini masih dibahas di Komisi Fatwa.
Bagaimana status kosmetika yang menggunakan plasenta dan sudah beredar di tengah masyarakat? Memang tidak ada kejelasan, apakah berasal dari plasenta manusia atau yang lainnya. Kalau ternyata plasenta tersebut berasal dari manusia, maka hukumnya adalah haram dan tidak boleh digunakan. Nah, apakah untuk mempercantik penampilan wajah, Anda rela menggunakan bahan haram atau najis?
sumber.http://www.halalmui.or.id
Merawat Tali Pusat
Tali pusat atau umbilical cord adalah saluran kehidupan bagi janin selama dalam kandungan. Dikatakan saluran kehidupan karena saluran inilah yang selama 9 bulan 10 hari menyuplai zat-zat gizi dan oksigen ke janin. Tetapi begitu bayi lahir, saluran ini sudah tak diperlukan lagi sehingga harus dipotong dan diikat atau dijepit.
Sisa tali pusat yang masih menempel di perut bayi (umbilical stump), akan mengering dan biasanya akan terlepas sendiri dalam waktu 1-3 minggu, meskipun ada juga yang baru lepas setelah 4 minggu. Umumnya orangtua baru agak takut-takut menangani bayi baru lahirnya, karena keberadaan si umbilical stump ini. Meski penampakannya sedikit ’mengkhawatirkan’, tetapi kenyataannya bayi Anda tidak merasa sakit atau terganggu karenanya.
Perawatan tali pusat tersebut sebenarnya juga sederhana. Yang penting, pastikan tali pusat dan area sekelilingnya selalu bersih dan kering. Selalu cuci tangan dengan menggunakan air bersih dan sabun sebelum membersihkan tali pusat. Selama ini, standar perawatan tali pusat yang diajarkan oleh tenaga medis kepada orangtua baru adalah membersihkan atau membasuh pangkal tali pusat dengan alkohol. Rekomendasi terbaru dari WHO adalah cukup membersihkan pangkal tali pusat dengan menggunakan air dan sabun, lalu dikering anginkan hingga benar-benar kering. Penelitian menunjukkan bahwa tali pusat yang dibersihkan dengan air dan sabun cenderung lebih cepat puput (lepas) daripada tali pusat yang dibersihkan dengan alkohol. Meski demikian, praktek membersihkan tali pusat dengan alkohol juga tidak sepenuhnya dilarang karena bahkan di beberapa negara maju pun masih diterapkan. Pertimbangannya, tali pusat yang dirawat tanpa menggunakan alkohol terkadang mengeluarkan aroma (tetap tidak menyengat). Hal inilah yang membuat orangtua merasa khawatir. Bila orangtua ragu untuk menentukan cara mana yang akan diterapkan, lebih baik diskusikan dengan dokter.
Selama belum tali pusatnya puput, sebaiknya bayi tidak dimandikan dengan cara dicelupkan ke dalam air. Cukup dilap saja dengan air hangat. Alasannya, untuk menjaga tali pusat tetap kering. Jangan khawatir, bayi Anda tetap wangi meskipun hanya dilap saja selama seminggu. Bagian yang harus selalu dibersihkan adalah pangkal tali pusat, bukan atasnya. Untuk membersihkan pangkal ini, Anda harus sedikit mengangkat (bukan menarik) tali pusat. Tenang saja, bayi Anda tidak akan merasa sakit. Sisa air atau alkohol yang menempel pada tali pusat dapat dikeringkan dengan menggunakan kain kasa steril atau kapas. Setelah itu kering anginkan tali pusat. Anda dapat mengipas dengan tangan atau meniup-niupnya untuk mempercepat pengeringan. Tali pusat harus dibersihkan sedikitnya dua kali dalam sehari.
Tali pusat juga tidak boleh ditutup rapat dengan apapun, karena akan membuatnya menjadi lembab. Selain memperlambat puputnya tali pusat, juga menimbulkan resiko infeksi. Kalaupun terpaksa ditutup (mungkin Anda ’ngeri’ melihat penampakannya), tutup atau ikat dengan longgar pada bagian atas tali pusat dengan kain kasa steril. Pastikan bagian pangkal tali pusat dapat terkena udara dengan leluasa. Bila bayi Anda menggunakan popok sekali pakai, pilihlah yang memang khusus untuk bayi baru lahir (yang ada lekukan di bagian depan). Dan jangan kenakan celana atau jump-suit pada bayi Anda. Sampai tali pusatnya puput, kenakan saja popok dan baju atasan. Bila bayi Anda menggunakan popok kain, jangan masukkan baju atasannya ke dalam popok. Intinya adalah membiarkan tali pusat terkena udara agar cepat mengering dan lepas.
Biarkan tali pusat lepas dengan sendirinya. Jangan memegang-megang atau bahkan menariknya meskipun Anda gemas melihat bagian tali pusat yang ’menggantung’ di perut bayi hanya tinggal selembar benang. Orangtua dapat menghubungi dokter bila tali pusat belum juga puput setelah 4 minggu, atau bila terlihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti; pangkal tali pusat dan daerah sekitarnya berwarna merah, keluar cairan yang berbau, ada darah yang keluar terus- menerus, dan/atau bayi demam tanpa sebab yang jelas. Setelah tali pusat, terkadang pusar bayi terlihat menonjol (bodong). Dalam budaya kita ada anjuran untuk menempelkan uang logam (binggel) di atas pusar bayi setelah tali pusatnya puput. Tujuannya agar pusar anak tidak menonjol (bodong). Padahal tanpa diberi pemberat pun (uang logam), lama-lama tonjolan terebut akan menghilang. Dan sesungguhnya, pusar bodong atau tidak lebih dipengaruhi oleh faktor genetik.
sumber.http://www.ibudananak.com
Tali pusat atau umbilical cord adalah saluran kehidupan bagi janin selama dalam kandungan. Dikatakan saluran kehidupan karena saluran inilah yang selama 9 bulan 10 hari menyuplai zat-zat gizi dan oksigen ke janin. Tetapi begitu bayi lahir, saluran ini sudah tak diperlukan lagi sehingga harus dipotong dan diikat atau dijepit.
Sisa tali pusat yang masih menempel di perut bayi (umbilical stump), akan mengering dan biasanya akan terlepas sendiri dalam waktu 1-3 minggu, meskipun ada juga yang baru lepas setelah 4 minggu. Umumnya orangtua baru agak takut-takut menangani bayi baru lahirnya, karena keberadaan si umbilical stump ini. Meski penampakannya sedikit ’mengkhawatirkan’, tetapi kenyataannya bayi Anda tidak merasa sakit atau terganggu karenanya.
Perawatan tali pusat tersebut sebenarnya juga sederhana. Yang penting, pastikan tali pusat dan area sekelilingnya selalu bersih dan kering. Selalu cuci tangan dengan menggunakan air bersih dan sabun sebelum membersihkan tali pusat. Selama ini, standar perawatan tali pusat yang diajarkan oleh tenaga medis kepada orangtua baru adalah membersihkan atau membasuh pangkal tali pusat dengan alkohol. Rekomendasi terbaru dari WHO adalah cukup membersihkan pangkal tali pusat dengan menggunakan air dan sabun, lalu dikering anginkan hingga benar-benar kering. Penelitian menunjukkan bahwa tali pusat yang dibersihkan dengan air dan sabun cenderung lebih cepat puput (lepas) daripada tali pusat yang dibersihkan dengan alkohol. Meski demikian, praktek membersihkan tali pusat dengan alkohol juga tidak sepenuhnya dilarang karena bahkan di beberapa negara maju pun masih diterapkan. Pertimbangannya, tali pusat yang dirawat tanpa menggunakan alkohol terkadang mengeluarkan aroma (tetap tidak menyengat). Hal inilah yang membuat orangtua merasa khawatir. Bila orangtua ragu untuk menentukan cara mana yang akan diterapkan, lebih baik diskusikan dengan dokter.
Selama belum tali pusatnya puput, sebaiknya bayi tidak dimandikan dengan cara dicelupkan ke dalam air. Cukup dilap saja dengan air hangat. Alasannya, untuk menjaga tali pusat tetap kering. Jangan khawatir, bayi Anda tetap wangi meskipun hanya dilap saja selama seminggu. Bagian yang harus selalu dibersihkan adalah pangkal tali pusat, bukan atasnya. Untuk membersihkan pangkal ini, Anda harus sedikit mengangkat (bukan menarik) tali pusat. Tenang saja, bayi Anda tidak akan merasa sakit. Sisa air atau alkohol yang menempel pada tali pusat dapat dikeringkan dengan menggunakan kain kasa steril atau kapas. Setelah itu kering anginkan tali pusat. Anda dapat mengipas dengan tangan atau meniup-niupnya untuk mempercepat pengeringan. Tali pusat harus dibersihkan sedikitnya dua kali dalam sehari.
Tali pusat juga tidak boleh ditutup rapat dengan apapun, karena akan membuatnya menjadi lembab. Selain memperlambat puputnya tali pusat, juga menimbulkan resiko infeksi. Kalaupun terpaksa ditutup (mungkin Anda ’ngeri’ melihat penampakannya), tutup atau ikat dengan longgar pada bagian atas tali pusat dengan kain kasa steril. Pastikan bagian pangkal tali pusat dapat terkena udara dengan leluasa. Bila bayi Anda menggunakan popok sekali pakai, pilihlah yang memang khusus untuk bayi baru lahir (yang ada lekukan di bagian depan). Dan jangan kenakan celana atau jump-suit pada bayi Anda. Sampai tali pusatnya puput, kenakan saja popok dan baju atasan. Bila bayi Anda menggunakan popok kain, jangan masukkan baju atasannya ke dalam popok. Intinya adalah membiarkan tali pusat terkena udara agar cepat mengering dan lepas.
Biarkan tali pusat lepas dengan sendirinya. Jangan memegang-megang atau bahkan menariknya meskipun Anda gemas melihat bagian tali pusat yang ’menggantung’ di perut bayi hanya tinggal selembar benang. Orangtua dapat menghubungi dokter bila tali pusat belum juga puput setelah 4 minggu, atau bila terlihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti; pangkal tali pusat dan daerah sekitarnya berwarna merah, keluar cairan yang berbau, ada darah yang keluar terus- menerus, dan/atau bayi demam tanpa sebab yang jelas. Setelah tali pusat, terkadang pusar bayi terlihat menonjol (bodong). Dalam budaya kita ada anjuran untuk menempelkan uang logam (binggel) di atas pusar bayi setelah tali pusatnya puput. Tujuannya agar pusar anak tidak menonjol (bodong). Padahal tanpa diberi pemberat pun (uang logam), lama-lama tonjolan terebut akan menghilang. Dan sesungguhnya, pusar bodong atau tidak lebih dipengaruhi oleh faktor genetik.
sumber.http://www.ibudananak.com
Mitos-mitos perawatan Bayi
Banyak mitos tentang perawatan bayi yang berkembang dan terus dipertahankan di masyarakat. Sebagian salah, tapi ada pula yang secara ilmiah benar.
Perawatan bayi (baby nursing) memang sangat dipengaruhi oleh budaya setempat. Menurut spesialis anak Dr. H. Adi Tagor, Sp.A, DPH dari RS Internasional Bintaro, "Zaman dulu, tradisi perawatan bayi ini disampaikan dalam bentuk mitologi, folklor, atau cerita rakyat yang diturunkan oleh orangtua, karena belum ada sistem isyarat kedua seperti tulisan."
Beberapa di antara mitos tersebut memang salah secara ilmiah. Misalnya bayi jangan diajak keluar rumah saat maghrib, karena akan diganggu "penunggu" rumah. Padahal, yang terajdi adalah temperatur alam menjelang matahari terbenam memang meningkat, termasuk perubahan tekanan udara, kelembapan udara, perubahan temperatur. "Ini akan menggelisahkan bayi yang memang belum bisa dengan cepat menyesuaikan diri. Soalnya, organ tubuh bayi itu kan, belum sempurna, tidak seperti orang dewasa yang sudah biasa. Akibatnya, bayi akan mengalami uneasy feeling dan rewel karena adanya perubahan alam tersebut," ujar Adi.
Selain itu, ada yang disebut ritme sirkadian. "Badan manusia mengalami bioritme yang ada hubungannya dengan waktu," jelas Adi. Pada bayi, bioritmenya belum stabil. Karena itu, bioritme bayi yang baru lahir sampai usia 2 bulan kadang-kadang masih terbalik. Siang dianggap malam, sementara malam dianggap siang. "Ini karena bayi belum bisa menyesuaikan diri dengan living environment dimana manusia sibuk saat siang. Tapi, lama-lama ia akan menyesuaikan dengan tuntutan sosial sekaligus perubahan alam tersebut. Secara alamiah, bioritme ini akan berubah dengan sendirinya."
Namun, mitos atau tradisi itu tidak selamanya jelek, dan seringkali bahkan cocok secara ilmiah. Contohnya, selama ratusan tahun bawang yang dicampur minyak dikenal bisa menurunkan panas. "Itu secara ilmiah benar, karena bawang adalah tumbuhan yang mengeluarkan minyak yang mudah menguap dan menyerap panas."
Atau upacara tedak siti (menginjak tanah) saat bayi berusia 6-7 bulan. "Secara ilmiah pun ternyata tak salah, karena pas dengan usia refleks menapak bayi." Di permukaan badan terdapat putik saraf yang bisa menjadi sensor tekanan. Nah, saraf ini tumbuh saat bayi 6 - 7 bulan, bersamaan dengan tumbuhnya struktur otak untuk keseimbangan dan alat-alat keseimbangan untuk posisi berdiri. "Tak heran jika di usia ini, bayi sudah mulai belajar menapak."
Namun, ada juga mitos yang salah. Dan orangtua, karena turun-temurun, biasanya memegang teguh tradisi itu. "Jadi, kalau mau ngasih input ilmiah, harus pelan-pelan. Jangankan tradisi, ilmu kedokteran pun dari waktu ke waktu selalu dikoreksi," lanjut Adi. "Manusia hidup dalam suatu kerangka subkultur tertentu. Nggak bisa ia hidup di luar kultur tempat ia hidup. Jadi, isinya saja yang diperbaiki."
Yang jelas, sebaiknya jangan langsung dicabut dari akar budayanya. Misalnya, orangtua mengaji saat Maghrib agar anaknya tidak "diganggu" makhluk halus. "Itu kan nggak ada ruginya, jadi biarkan saja. Kecuali, jika tradisi itu memang membahayakan, ya harus dilarang."
sumber.http://www.tabloidnova.com
|
Banyak mitos tentang perawatan bayi yang berkembang dan terus dipertahankan di masyarakat. Sebagian salah, tapi ada pula yang secara ilmiah benar.
Perawatan bayi (baby nursing) memang sangat dipengaruhi oleh budaya setempat. Menurut spesialis anak Dr. H. Adi Tagor, Sp.A, DPH dari RS Internasional Bintaro, "Zaman dulu, tradisi perawatan bayi ini disampaikan dalam bentuk mitologi, folklor, atau cerita rakyat yang diturunkan oleh orangtua, karena belum ada sistem isyarat kedua seperti tulisan."
Beberapa di antara mitos tersebut memang salah secara ilmiah. Misalnya bayi jangan diajak keluar rumah saat maghrib, karena akan diganggu "penunggu" rumah. Padahal, yang terajdi adalah temperatur alam menjelang matahari terbenam memang meningkat, termasuk perubahan tekanan udara, kelembapan udara, perubahan temperatur. "Ini akan menggelisahkan bayi yang memang belum bisa dengan cepat menyesuaikan diri. Soalnya, organ tubuh bayi itu kan, belum sempurna, tidak seperti orang dewasa yang sudah biasa. Akibatnya, bayi akan mengalami uneasy feeling dan rewel karena adanya perubahan alam tersebut," ujar Adi.
Selain itu, ada yang disebut ritme sirkadian. "Badan manusia mengalami bioritme yang ada hubungannya dengan waktu," jelas Adi. Pada bayi, bioritmenya belum stabil. Karena itu, bioritme bayi yang baru lahir sampai usia 2 bulan kadang-kadang masih terbalik. Siang dianggap malam, sementara malam dianggap siang. "Ini karena bayi belum bisa menyesuaikan diri dengan living environment dimana manusia sibuk saat siang. Tapi, lama-lama ia akan menyesuaikan dengan tuntutan sosial sekaligus perubahan alam tersebut. Secara alamiah, bioritme ini akan berubah dengan sendirinya."
Namun, mitos atau tradisi itu tidak selamanya jelek, dan seringkali bahkan cocok secara ilmiah. Contohnya, selama ratusan tahun bawang yang dicampur minyak dikenal bisa menurunkan panas. "Itu secara ilmiah benar, karena bawang adalah tumbuhan yang mengeluarkan minyak yang mudah menguap dan menyerap panas."
Atau upacara tedak siti (menginjak tanah) saat bayi berusia 6-7 bulan. "Secara ilmiah pun ternyata tak salah, karena pas dengan usia refleks menapak bayi." Di permukaan badan terdapat putik saraf yang bisa menjadi sensor tekanan. Nah, saraf ini tumbuh saat bayi 6 - 7 bulan, bersamaan dengan tumbuhnya struktur otak untuk keseimbangan dan alat-alat keseimbangan untuk posisi berdiri. "Tak heran jika di usia ini, bayi sudah mulai belajar menapak."
Namun, ada juga mitos yang salah. Dan orangtua, karena turun-temurun, biasanya memegang teguh tradisi itu. "Jadi, kalau mau ngasih input ilmiah, harus pelan-pelan. Jangankan tradisi, ilmu kedokteran pun dari waktu ke waktu selalu dikoreksi," lanjut Adi. "Manusia hidup dalam suatu kerangka subkultur tertentu. Nggak bisa ia hidup di luar kultur tempat ia hidup. Jadi, isinya saja yang diperbaiki."
Yang jelas, sebaiknya jangan langsung dicabut dari akar budayanya. Misalnya, orangtua mengaji saat Maghrib agar anaknya tidak "diganggu" makhluk halus. "Itu kan nggak ada ruginya, jadi biarkan saja. Kecuali, jika tradisi itu memang membahayakan, ya harus dilarang."
sumber.http://www.tabloidnova.com
|
Salon Kaki Khusus Diabetasi
Oleh Maryati
Jakarta (ANTARA News) - Di ruangan berpendingin seluas sekira tiga kali empat meter itu setiap hari Dace Abdullah (55) mengurus kaki para penyandang Diabetes Mellitus (diabetasi) atau kencing manis.
Ia memotong kuku jemari kaki, menghaluskan bagian kaki yang menebal, serta membersihkan dan mengobati luka pada kaki penderita kencing manis.
"Tapi, di sini kami cuma mengobati luka ringan saja, kalau sudah berat dan butuh perawatan medis khusus akan kami rujuk ke dokter yang lebih ahli," kata Dace ketika ditemui di bilik kerjanya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Dalam sehari, bapak satu anak yang bekerja sebagai perawat di RSCM sejak tahun 1970-an itu, biasanya melayani lima atau enam pasien diabetes yang datang ke "salon kaki" untuk mendapatkan perawatan.
"Setiap pasien rata-rata butuh waktu satu hingga satu setengah jam, sesuai kondisi kakinya. Kalau cuma potong kuku tidak lama tapi kalau ada luka dan sudah berbau busuk, akan butuh waktu lebih lama," jelas Dace.
Ia menjelaskan, sebelum mendapatkan perawatan, mula-mula kaki pasien diabetes akan dibersihkan dengan air bersih dan larutan klorin serta dikeringkan dengan handuk.
"Setelah itu lalu dilihat dan diperiksa secara teliti apakah ada penebalan atau luka," kata Kepala Ruangan Poliklinik Subspesialis Penyakit Dalam RSCM itu.
Bila semuanya normal dan pasien menghendaki kukunya dipotong, maka petugas akan memotong kuku pasien menggunakan gunting kuku khusus dan kikir.
Menurut Dace, pemotongan kuku penderita kencing manis harus dilakukan secara sangat hati-hati supaya tidak membuat luka.
"Kuku pasien diabetes biasanya mengalami penebalan sehingga sulit dipotong, dan kalau potongnya tidak hati-hati, maka bisa luka," katanya.
Luka pada kaki pasien diabetes, kata dia, bisa meluas dan membusuk sampai harus diamputasi, bila tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat.
Di "salon kaki" RSCM yang didirikan tahun 1995 itu, menurut Dace, perawatan luka diawali dengan pembersihan luka.
"Luka dibersihkan dengan larutan klorin dulu, lalu diobati. Semua dilakukan dengan teliti sebab luka harus benar-benar bersih supaya tidak jadi infeksi," katanya.
Tak jarang, ujar Dace, pasien datang dengan luka yang sudah mulai meluas dan berbau busuk. Namun, dia tidak pernah merasa jijik. Dia juga tidak pernah berniat meninggalkan profesinya sebagai perawat kaki diabetasi. "Tidak apa-apa. Sudah biasa," ujarnya.
Ia mengaku, menikmati pekerjaannya sebagai perawat kaki diabetasi. Kadang di luar jam kerja pun, dia menerima permintaan pasien untuk melayani perawatan di rumah.
"Sabtu atau Minggu ada beberapa pasien minta dilayani di rumah, kalau tidak ada keperluan lain saya datang. Itu kan rejeki, jadi tidak boleh ditolak," katanya.
Dari pasien yang minta dirawat di rumah, kata Dace, biayanya dia mendapatkan uang letih antara Rp100 ribu hingga Rp250 ribu.
"Saya tidak pernah pasang tarif soalnya perawatan kaki pasien diabetes tidak hanya sekali, harus berkali-kali dalam jangka lama. Tapi biasanya mereka memberi segitu," ujarnya serta menambahkan bahwa biaya perawatan kaki di salon rata-rata di bawah Rp100.000.
Perhatikan kaki
Diabetes adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak bisa memroduksi cukup insulin --hormon pengatur kadar gula darah-- atau tubuh tidak bisa menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.
"Hiperglicemia" atau peningkatan kadar gula darah akibat diabetes yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan kerusakan sistem tubuh, utamanya syaraf dan pembuluh darah.
Diabetes juga membuat penderitanya sering mengalami gangguan atau luka pada kaki, yakni mulai dari penebalan jaringan kulit dan kuku, luka ringan sampai luka berat atau gangren (luka yang sudah membusuk dan bisa melebar).
Gangguan atau kerusakan pada saraf dan pembuluh darah di kaki akibat diabetes juga membuat penderita diabetas mengalami mati rasa (baal) pada kakinya, sehingga kadang ia tidak sadar telah terluka.
Luka pada kaki penderita diabetes kadang juga tidak langsung tampak dari luar.
"Kondisi yang demikian menjadikan komplikasi kaki diabetes militus sebagai salah satu komplikasi kronik yang paling buruk," kata Sarwono Waspadji Univesitas Indonesia dalam abstrak penelitian kesehatan seri 19 tahun 2001.
Dalam ringkasan hasil penelitiannya, Sarwono menyebutkan bahwa angka kematian dan angka amputasi kaki akibat diabetes masih tinggi dan biaya pengelolaanya sangat mahal.
Oleh karena itu, penyandang diabetes disarankan memerhatikan secara serius kondisi kakinya guna menghindari penderitaan berkelanjutan akibat komplikasi kaki diabetes.
Hal itu, menurut Dace, antara lain bisa dilakukan dengan memeriksakan status gula darah dan kesehatan secara teratur serta mencegah terjadinya luka yang berlanjut dengan infeksi.
"Penderita harus memerlakukan kakinya dengan baik jangan sampai tertusuk atau luka. Kalau luka usahakan jangan sampai kena air supaya tidak infeksi," ujarnya.
Ia juga menyarankan, agar diabetasi mengenakan alas kaki atau sepatu yang nyaman.
"Sebaiknya pakai alas kaki yang konturnya sesuai dengan bentuk kaki, berbahan lentur dan ujungnya tidak runcung sehingga nyaman dan tidak berpotensi menimbulkan luka atau lecet," demikian Dace.
sumber.http://www.antara.co.id
Oleh Maryati
Jakarta (ANTARA News) - Di ruangan berpendingin seluas sekira tiga kali empat meter itu setiap hari Dace Abdullah (55) mengurus kaki para penyandang Diabetes Mellitus (diabetasi) atau kencing manis.
Ia memotong kuku jemari kaki, menghaluskan bagian kaki yang menebal, serta membersihkan dan mengobati luka pada kaki penderita kencing manis.
"Tapi, di sini kami cuma mengobati luka ringan saja, kalau sudah berat dan butuh perawatan medis khusus akan kami rujuk ke dokter yang lebih ahli," kata Dace ketika ditemui di bilik kerjanya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Dalam sehari, bapak satu anak yang bekerja sebagai perawat di RSCM sejak tahun 1970-an itu, biasanya melayani lima atau enam pasien diabetes yang datang ke "salon kaki" untuk mendapatkan perawatan.
"Setiap pasien rata-rata butuh waktu satu hingga satu setengah jam, sesuai kondisi kakinya. Kalau cuma potong kuku tidak lama tapi kalau ada luka dan sudah berbau busuk, akan butuh waktu lebih lama," jelas Dace.
Ia menjelaskan, sebelum mendapatkan perawatan, mula-mula kaki pasien diabetes akan dibersihkan dengan air bersih dan larutan klorin serta dikeringkan dengan handuk.
"Setelah itu lalu dilihat dan diperiksa secara teliti apakah ada penebalan atau luka," kata Kepala Ruangan Poliklinik Subspesialis Penyakit Dalam RSCM itu.
Bila semuanya normal dan pasien menghendaki kukunya dipotong, maka petugas akan memotong kuku pasien menggunakan gunting kuku khusus dan kikir.
Menurut Dace, pemotongan kuku penderita kencing manis harus dilakukan secara sangat hati-hati supaya tidak membuat luka.
"Kuku pasien diabetes biasanya mengalami penebalan sehingga sulit dipotong, dan kalau potongnya tidak hati-hati, maka bisa luka," katanya.
Luka pada kaki pasien diabetes, kata dia, bisa meluas dan membusuk sampai harus diamputasi, bila tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat.
Di "salon kaki" RSCM yang didirikan tahun 1995 itu, menurut Dace, perawatan luka diawali dengan pembersihan luka.
"Luka dibersihkan dengan larutan klorin dulu, lalu diobati. Semua dilakukan dengan teliti sebab luka harus benar-benar bersih supaya tidak jadi infeksi," katanya.
Tak jarang, ujar Dace, pasien datang dengan luka yang sudah mulai meluas dan berbau busuk. Namun, dia tidak pernah merasa jijik. Dia juga tidak pernah berniat meninggalkan profesinya sebagai perawat kaki diabetasi. "Tidak apa-apa. Sudah biasa," ujarnya.
Ia mengaku, menikmati pekerjaannya sebagai perawat kaki diabetasi. Kadang di luar jam kerja pun, dia menerima permintaan pasien untuk melayani perawatan di rumah.
"Sabtu atau Minggu ada beberapa pasien minta dilayani di rumah, kalau tidak ada keperluan lain saya datang. Itu kan rejeki, jadi tidak boleh ditolak," katanya.
Dari pasien yang minta dirawat di rumah, kata Dace, biayanya dia mendapatkan uang letih antara Rp100 ribu hingga Rp250 ribu.
"Saya tidak pernah pasang tarif soalnya perawatan kaki pasien diabetes tidak hanya sekali, harus berkali-kali dalam jangka lama. Tapi biasanya mereka memberi segitu," ujarnya serta menambahkan bahwa biaya perawatan kaki di salon rata-rata di bawah Rp100.000.
Perhatikan kaki
Diabetes adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak bisa memroduksi cukup insulin --hormon pengatur kadar gula darah-- atau tubuh tidak bisa menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.
"Hiperglicemia" atau peningkatan kadar gula darah akibat diabetes yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan kerusakan sistem tubuh, utamanya syaraf dan pembuluh darah.
Diabetes juga membuat penderitanya sering mengalami gangguan atau luka pada kaki, yakni mulai dari penebalan jaringan kulit dan kuku, luka ringan sampai luka berat atau gangren (luka yang sudah membusuk dan bisa melebar).
Gangguan atau kerusakan pada saraf dan pembuluh darah di kaki akibat diabetes juga membuat penderita diabetas mengalami mati rasa (baal) pada kakinya, sehingga kadang ia tidak sadar telah terluka.
Luka pada kaki penderita diabetes kadang juga tidak langsung tampak dari luar.
"Kondisi yang demikian menjadikan komplikasi kaki diabetes militus sebagai salah satu komplikasi kronik yang paling buruk," kata Sarwono Waspadji Univesitas Indonesia dalam abstrak penelitian kesehatan seri 19 tahun 2001.
Dalam ringkasan hasil penelitiannya, Sarwono menyebutkan bahwa angka kematian dan angka amputasi kaki akibat diabetes masih tinggi dan biaya pengelolaanya sangat mahal.
Oleh karena itu, penyandang diabetes disarankan memerhatikan secara serius kondisi kakinya guna menghindari penderitaan berkelanjutan akibat komplikasi kaki diabetes.
Hal itu, menurut Dace, antara lain bisa dilakukan dengan memeriksakan status gula darah dan kesehatan secara teratur serta mencegah terjadinya luka yang berlanjut dengan infeksi.
"Penderita harus memerlakukan kakinya dengan baik jangan sampai tertusuk atau luka. Kalau luka usahakan jangan sampai kena air supaya tidak infeksi," ujarnya.
Ia juga menyarankan, agar diabetasi mengenakan alas kaki atau sepatu yang nyaman.
"Sebaiknya pakai alas kaki yang konturnya sesuai dengan bentuk kaki, berbahan lentur dan ujungnya tidak runcung sehingga nyaman dan tidak berpotensi menimbulkan luka atau lecet," demikian Dace.
sumber.http://www.antara.co.id
PERAWATAN LUKA
DEFINISI
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
Mekanisme terjadinya luka :
1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi)
2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
6. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7. Luka Bakar (Combustio)
Menurut tingkat Kontaminasi terhadap luka :
1. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.
2. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.
3. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
4. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.
Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi :
Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
Menurut waktu penyembuhan luka dibagi menjadi :
1. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
2. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan “proses peradangan”, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function). Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase :
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan “substansi vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan adanya substansi vasodilator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.
Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
2. Fase Proliferatif
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses reonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan “granulasi”.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth faktor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.
3. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah ; menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringa mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal. Meskipun proses penyembuhanluka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, diserta penyakit sistemik (diabetes mielitus).
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA
1. Usia
Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan
2. Infeksi
Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka.
3. Hipovolemia
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
4. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
5. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).
6. Iskemia
Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
7. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
8. Pengobatan
· Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera
· Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
· Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.
NURSING MANAGEMENT
Dressing/Pembalutan
Tujuan :
1. memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. absorbsi drainase
3. menekan dan imobilisasi luka
4. mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. mencegah luka dari kontaminasi bakteri
6. meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
7. memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
ALAT DAN BAHAN BALUTAN UNTUK LUKA
Bahan untuk Membersihkan Luka
· Alkohol 70%
· Aqueous and tincture of chlorhexidine gluconate (Hibitane)
· Aqueous and tincture of benzalkonium chloride (Zephiran Cloride)
· Hydrogen Peroxide
· Natrium Cloride 0.9%
Bahan untuk Menutup Luka
· Verband dengan berbagai ukuran
Bahan untuk mempertahankan balutan
· Adhesive tapes
· Bandages and binders
KOMPLIKASI DARI LUKA
a. Hematoma (Hemorrhage)
Perawat harus mengetahui lokasi insisi pada pasien, sehingga balutan dapat diinspeksi terhadap perdarahan dalam interval 24 jam pertama setelah pembedahan.
b. Infeksi (Wounds Sepsis)
Merupakan infeksi luka yang sering timbul akibat infeksi nosokomial di rumah sakit. Proses peradangan biasanya muncul dalam 36 – 48 jam, denyut nadi dan temperatur tubuh pasien biasanya meningkat, sel darah putih meningkat, luka biasanya menjadi bengkak, hangat dan nyeri.
Jenis infeksi yang mungkin timbul antara lain :
· Cellulitis merupakan infeksi bakteri pada jaringan
· Abses, merupakan infeksi bakteri terlokalisasi yang ditandai oleh : terkumpulnya pus (bakteri, jaringan nekrotik, Sel Darah Putih).
· Lymphangitis, yaitu infeksi lanjutan dari selulitis atau abses yang menuju ke sistem limphatik. Hal ini dapat diatasi dengan istirahat dan antibiotik.
c. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence adalah rusaknya luka bedah
Eviscerasi merupakan keluarnya isi dari dalam luka
d. Keloid
Merupakan jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan. Keloid ini biasanya muncul tidak terduga dan tidak pada setiap orang.
sumber.http://irmanthea.blogspot.com
DEFINISI
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
Mekanisme terjadinya luka :
1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi)
2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
6. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7. Luka Bakar (Combustio)
Menurut tingkat Kontaminasi terhadap luka :
1. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.
2. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.
3. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
4. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.
Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi :
Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
Menurut waktu penyembuhan luka dibagi menjadi :
1. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
2. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan “proses peradangan”, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function). Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase :
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan “substansi vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan adanya substansi vasodilator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.
Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
2. Fase Proliferatif
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses reonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan “granulasi”.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth faktor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.
3. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah ; menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringa mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal. Meskipun proses penyembuhanluka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, diserta penyakit sistemik (diabetes mielitus).
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA
1. Usia
Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan
2. Infeksi
Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka.
3. Hipovolemia
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
4. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
5. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).
6. Iskemia
Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
7. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
8. Pengobatan
· Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera
· Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
· Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.
NURSING MANAGEMENT
Dressing/Pembalutan
Tujuan :
1. memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. absorbsi drainase
3. menekan dan imobilisasi luka
4. mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. mencegah luka dari kontaminasi bakteri
6. meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
7. memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
ALAT DAN BAHAN BALUTAN UNTUK LUKA
Bahan untuk Membersihkan Luka
· Alkohol 70%
· Aqueous and tincture of chlorhexidine gluconate (Hibitane)
· Aqueous and tincture of benzalkonium chloride (Zephiran Cloride)
· Hydrogen Peroxide
· Natrium Cloride 0.9%
Bahan untuk Menutup Luka
· Verband dengan berbagai ukuran
Bahan untuk mempertahankan balutan
· Adhesive tapes
· Bandages and binders
KOMPLIKASI DARI LUKA
a. Hematoma (Hemorrhage)
Perawat harus mengetahui lokasi insisi pada pasien, sehingga balutan dapat diinspeksi terhadap perdarahan dalam interval 24 jam pertama setelah pembedahan.
b. Infeksi (Wounds Sepsis)
Merupakan infeksi luka yang sering timbul akibat infeksi nosokomial di rumah sakit. Proses peradangan biasanya muncul dalam 36 – 48 jam, denyut nadi dan temperatur tubuh pasien biasanya meningkat, sel darah putih meningkat, luka biasanya menjadi bengkak, hangat dan nyeri.
Jenis infeksi yang mungkin timbul antara lain :
· Cellulitis merupakan infeksi bakteri pada jaringan
· Abses, merupakan infeksi bakteri terlokalisasi yang ditandai oleh : terkumpulnya pus (bakteri, jaringan nekrotik, Sel Darah Putih).
· Lymphangitis, yaitu infeksi lanjutan dari selulitis atau abses yang menuju ke sistem limphatik. Hal ini dapat diatasi dengan istirahat dan antibiotik.
c. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence adalah rusaknya luka bedah
Eviscerasi merupakan keluarnya isi dari dalam luka
d. Keloid
Merupakan jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan. Keloid ini biasanya muncul tidak terduga dan tidak pada setiap orang.
sumber.http://irmanthea.blogspot.com
Luka Bakar, Identifikasi dan Terapinya
Injil Abu Bakar
KETUT, bukan nama sebenarnya, menyuguhkan lengan atasnya ke hadapan saya. Di bawah lengan bajunya yang panjang bertengger luka bakar yang menyembuh. Ada tonjolan di sana-sini. Warnanya pun tak homogen.
MATA saya meneropong lengannya tanpa berkedip. Lalu dia berkata, "Tamatlah riwayat saya. Adakah seseorang yang berselera makan jika hidangan itu disuguhkan dari tangan yang menjijikkan ini? Adakah seseorang yang akan mempekerjakan saya?"
Ketut, salah satu korban bom Bali yang bekerja sebagai waitress di Sari Club, selamanya harus hidup dengan hamparan jaringan parut di bagian lengan. Persoalan ini membuatnya sangat depresi dan pesimistis menghadapi masa depan.
Oleh psikiater ia pun didiagnosis menderita depresi mayor. Maka, setiap malam sebelum tidur, satu butir tablet antidepresi mesti ditelannya.
Ketut hanya salah satu dari sekian banyak korban bom Bali. Sebuah tantangan berat bagi kita semua untuk merawat pasien-pasien luka bakar pascabom. Sebab, kita belum memiliki burn-center (pusat perawatan luka bakar) yang konon biaya operasionalnya sangat tinggi
Tulisan ini mengupas prinsip-prinsip penting dalam terapi luka bakar jangka pendek maupun jangka panjang.
Identifikasi
Kulit merupakan organ tubuh yang sangat penting. Ia merupakan struktur tubuh yang terbesar dan merupakan penyatu dari bagian-bagian tubuh. Oleh karena itu, kulit memainkan peran yang sangat signifikan dalam tubuh. Sama pentingnya dengan sistem lainnya dalam badan.
Luka bakar ialah trauma pada kulit yang disebabkan oleh panas tinggi. Ketika berhadapan dengan luka bakar, terdapat beberapa hal yang mesti kita telusuri, yaitu:
• Bagaimana terjadinya luka bakar ?
• Berapa luas luka bakar yang terjadi?
• Berapa kedalaman luka bakar?
• Di mana lokasi/tempat terjadinya?
• Siapa penderitanya?
Ada lima mekanisme timbulnya luka bakar:
1. Api: kontak dengan kobaran api.
2. Luka bakar cair: kontak dengan air mendidih, uap panas, dan minyak panas.
3. Luka bakar kimia: asam akan menimbulkan panas ketika kontak dengan jaringan organik.
4. Luka bakar listrik: tidak terlalu sering terjadi di Indonesia. Bisa timbul dari sambaran petir atau aliran listrik. Luka bakar listrik memiliki karakteristik yang unik, sebab sekalipun sumber panas (listrik) berasal dari luar tubuh, kebakaran/kerusakan yang parah justru terjadi di dalam tubuh.
5. Luka bakar kontak : kontak langsung dengan obyek panas, misalnya dengan wajan panas atau knalpot sepeda motor. Hal ini sangat sering terjadi di Indonesia.
Berapa luas luka bakar yang terjadi (lihat gambar). The International Burns Chart akan membantu kita menentukan luas luka bakar yang terjadi. Berpatokan pada diagram ini, dapat kita hitung total body surface area (TBSA). Luka bakar yang terjadi pada daerah muka dan leher jauh lebih berbahaya daripada luka bakar di tungkai bawah.
Pasalnya, luka bakar di tempat ini dapat berakibat pada terjadinya pembengkakan di daerah leher. Maka, kita mesti sangat waspada terhadap timbulnya obstruksi jalan napas.
Dengan alasan itu, daerah wajah dan leher mendapat persentase yang lebih besar daripada tungkai bawah. Penentuan luas luka adalah hal yang sangat subyektif.
Selalu dianjurkan untuk menggunakan angka perkiraan yang lebih tinggi. Jadi, jika Anda memperkirakan luas luka bakar yang terjadi berkisar antara 20-25 persen, gunakanlah angka yang lebih besar (25 persen). Jangan sekali-kali under estimate.
Bertahun-tahun lamanya disepakati penentuan kedalaman luka bakar menggunakan degree system (sistem derajat). Luka bakar diklasifikasi menjadi derajat 1, 2, dan 3. Kadang-kadang digunakan pula istilah derajat 4 pada kulit yang hangus terbakar mirip arang. Klasifikasi tersebut ialah :
- Luka bakar derajat 1 = superficial burn. Luka bakar permukaan yang tidak terlalu serius dan hanya mengenai lapisan kulit bagian atas. Sering kali disertai pembentukan vesikel (gelembung berisi cairan).
- Luka bakar derajat 2 = partial thickness burn (luka bakar parsial). Artinya luka bakar mengenai sebagian dari ketebalan kulit. Luka bakar dengan kedalaman ini sering kali disertai dengan rusaknya struktur di bawah kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebaseus (minyak), atau jaringan kolagen.
- Luka bakar derajat 3 = full thickness burn. Luka bakar mengenai seluruh ketebalan kulit. Struktur di bawah kulit pun sering kali mengalami kerusakan. Sekalipun demikian, kulit tidaklah lenyap, musnah, atau hilang, tetapi rusak.
- Luka bakar derajat 4 = hitam bagai arang, nekrotik.
Sebagian besar luka bakar merupakan kombinasi dari ketiga derajat di atas. Pada bagian pinggir sering kali terjadi luka bakar superfisial, sementara pada pusatnya, pada tempat terjadinya kontak, timbul parsial atau full thickness burn. Penentuan derajat luka bakar yang terbaru ialah tidak dengan "20 persen luka bakar derajat 3", tetapi "estimasi/perkiraan 20 persen luka bakar campuran superficial dan full thickness burn".
Lokasi luka bakar
Luka bakar dapat terjadi di dalam maupun di luar tubuh. Jalan napas pun dapat terbakar. Sebagaimana dijelaskan di atas, daerah kepala dan leher mendapat persentase yang lebih besar karena luka bakar di lokasi tersebut memiliki dampak yang lebih serius. Hal yang sama juga berlaku pada daerah tangan.
Luka bakar seluas 20 persen yang terjadi di tungkai bawah tidak akan menyengsarakan penderitanya sebagaimana jika lokasinya di daerah tangan. Lebih-lebih posisinya di tangan kanan yang fungsinya sangat esensial untuk aktivitas sehari- hari
Siapa penderitanya (umur pasien, berat badannya, status kesehatannya).
Sebagai contoh, luka bakar pada bayi atau lanjut usia jauh lebih serius daripada luka bakar dengan luas yang sama terjadi pada laki-laki usia 20 tahun.
Ketika masuk ke bagian terapi, hal pertama yang mesti kita tentukan ialah mengevaluasi apakah yang kita hadapi adalah luka bakar mayor. Disebut luka bakar mayor jika luasnya 20-30 persen parsial atau full thickness burn. Luka bakar mayor merupakan tindakan emergency. Penderitanya mesti segera dikirim ke pusat perawatan luka bakar (burn center) dan mesti dirawat inap.
Problem medis luka bakar mayor tidak hanya pada persoalan kulit. Sistem tubuh lainnya pun ikut terkena dampaknya. Pembuluh darah kapiler akan mengembang dalam upaya mengirim berbagai bahan/ tentara pertahanan tubuh. Selain itu pula terjadi perembesan darah ke luar pembuluh.
Peristiwa ini akan berefek pada kerja jantung, pembuluh limfa, hati, pankreas, dan berbagai sistem lainnya di dalam tubuh. Karena itu, luka bakar mayor mesti selalu dipandang sebagai kasus emergency. Kita mesti menghubungi bank darah, memeriksa laboratorium, menyiapkan fresh frozen plasma, dan sebagainya. Jika yang kita hadapi tidak termasuk ke dalam kriteria luka bakar mayor, kita dapat segera memberikan terapi.
Perawatan
Terdapat tiga prioritas penting dalam perawatan luka bakar ringan.
• Selalu dahulukan tindakan medis dan bedah. Sebagai contoh dalam menghadapi seorang pasien yang mengalami kesulitan bernapas, prioritas pertama kita ialah mengatasi masalah pernapasan. Baru setelah pernapasannya stabil, kita bergerak ke problem kulit.
• Setelah tuntas dengan urusan emergency, baru kita berupaya mempertahankan bentuk dan fungsi bagian tubuh yang terkena luka bakar.
• Prioritas berikutnya ialah upaya menciptakan penampakan jaringan parut sebaik mungkin. Hal ini merupakan problem utama dari pasien-pasien luka bakar. Upaya terpenting yang bisa dikerjakan ialah dengan pemberian tekanan di atasnya selama 6-12 bulan.
Pasien dapat menunggu terjadinya pertumbuhan kulit baru. Penantian ini umumnya memakan waktu yang lebih lama. Alternatif yang lebih cepat ialah dengan skin graft (cangkok kulit).
Cara ini dikerjakan dengan mengambil kulit dari suatu bagian tubuh yang kemudian ditanam pada daerah yang memerlukan. Lokasi pengambilan (donor site) biasanya di daerah paha karena daerah ini lebar dan gampang sembuh. Agar pertumbuhan terjadi, dibutuhkan beberapa syarat.
Kulit donor haruslah kulit yang sehat. Lokasi resipien (tempat donor ditanam) mesti memiliki jaringan pembuluh darah yang baik. Jika tidak, kulit donor tidak akan bisa tumbuh. Setelah kulit donor diletakkan, satu-satunya hal yang mesti dikerjakan ialah membiarkannya!
Jangan memberi tekanan apa pun! Kita hanya melindungi cangkok tersebut dan menantinya tumbuh. Umumnya pertumbuhan akan terjadi dalam 4-7 hari! Jika pada akhir hari ketujuh kulit tak juga tumbuh, boleh dikata graft Anda gagal! Kedalaman luka bakar juga menjadi pertimbangan penting. Graft tidak umum dikerjakan untuk luka bakar superficial. Kunci sukses lainnya ialah skill (kemampuan) dokter bedah yang mengerjakan graft ini.
Jika luka bakar seorang pasien demikian luas, sampai ia tak lagi memiliki bagian yang bisa dijadikan donor, anggota keluarga dapat mendonorkan kulitnya. Tentu saja mereka mesti memiliki golongan darah yang sama.
Kabar yang cukup mengagetkan ialah dimanfaatkannya kulit babi sintetis sebagai alternatif donor di negeri Barat. Sekali lagi, tanpa graft pun luka bakar akan sembuh. Namun, cara ini akan memakan waktu panjang. Dengan kata lain, graft merupakan cara penyembuhan yang paling cepat.
Eschar
Ketika luka bakar terjadi, tubuh berupaya untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Badan akan mengerahkan seluruh darah dan antibodi ke lokasi luka bakar. Proses ini dapat menyebabkan terbentuknya eschar.
Eschar ialah jaringan parut palsu. Ia bukanlah kulit sejati, tetapi menyelimuti luka bagaikan lapisan kulit. Eschar merupakan jaringan mati yang terdiri dari sel-sel kulit yang mengelupas. Karena ia tak hidup, ia tak bernapas dan tidak memungkinkan lalu lintas keluar masuknya bahan-bahan ke bagian dalam kulit.
Dengan kata lain, apa saja yang kita oleskan di atasnya akan nongkrong begitu saja, tidak meresap ke bagian dalam kulit. Salep antibiotika tidak akan menembus masuk. Karena itu, obat ini tidak akan menimbulkan efeknya. Eschar juga menghalangi pertumbuhan sel-sel kulit sehat dari bagian bawah kulit. Dengan alasan-alasan tersebut, eschar mesti dihilangkan.
Eschar mesti dikelupas, tindakan yang dalam bahasa medik dikenal dengan nama debridemen. Ada dua cara debridemen, yaitu debridemen mekanis dan kimia. Sebagaimana namanya, pada debridemen mekanis dilakukan upaya pembuangan eschar oleh seorang ahli bedah di kamar operasi
Sementara secara kimia digunakan salep silver sulfadiazine (SSD), flammazine, atau dermazine. Kandungan aktif di dalam salep ini ialah silver (perak) yang mempunyai kemampuan mengelupas kulit. Setelah eschar berhasil dilenyapkan, dokter dapat melakukan graft.
Sering tidak mudah untuk menentukan derajat luka bakar, khususnya pada hari-hari pertama (2-3 hari). Tidak jelas betul seberapa kedalaman luka bakar. Banyak dokter yang dengan serta-merta mengoleskan salep antibiotika.
Tiga hari kemudian baru ketahuan, ternyata luka bakarnya lebih dalam dari perkiraan. Karena alasan ini, tiap kali berhadapan dengan luka bakar, maka bahan pertama yang mesti kita oleskan ialah krim SSD. Baru kemudian luka kita periksa setiap hari
Setelah 2-3 hari, barulah kita memiliki gambaran yang lebih tepat tentang kondisi luka dan terapi apa yang mesti diberikan. SSD selalu dijadikan pilihan pertama karena salep ini juga mengandung antibiotika di dalamnya. Di samping silver yang melakukan fungsi debridemen.
Kandungan antimikroba SSD memiliki waktu paruh 12 jam. Ini berarti ia mesti dioleskan dua kali sehari. Untuk luka bakar kecil, pemakaian 1 kali sehari masih bisa ditoleransi.
Pertumbuhan
Setelah eschar dilenyapkan, apa yang terlihat ialah jaringan granulasi. Maka, kita tinggal menunggu jaringan tersebut tumbuh dan menyembuh. Agar pertumbuhan terjadi, kita harus berupaya membuat lingkungan yang optimal, yaitu:
• tidak terjadi pengelupasan
• tidak terjadi infeksi
• lingkungan mesti dipertahankan dalam keadaan lembab.
Ada tendensi untuk membiarkan luka dalam keadaan terbuka. Hal ini merupakan tindakan yang salah. Sebab, lingkungan yang kering akan merangsang terbentuknya sisik/ kerak pada permukaan kulit yang tidak memiliki lapisan-lapisan sebagaimana jaringan kulit sehat.
Luka-luka bakar tersebut akan sembuh, tetapi dibutuhkan kesabaran. Mengobati pasien luka bakar sungguh membutuhkan kesabaran. Anda harus menunggu kulit tubuh untuk tumbuh kembali
sumber http://www.kompas.com
Injil Abu Bakar
KETUT, bukan nama sebenarnya, menyuguhkan lengan atasnya ke hadapan saya. Di bawah lengan bajunya yang panjang bertengger luka bakar yang menyembuh. Ada tonjolan di sana-sini. Warnanya pun tak homogen.
MATA saya meneropong lengannya tanpa berkedip. Lalu dia berkata, "Tamatlah riwayat saya. Adakah seseorang yang berselera makan jika hidangan itu disuguhkan dari tangan yang menjijikkan ini? Adakah seseorang yang akan mempekerjakan saya?"
Ketut, salah satu korban bom Bali yang bekerja sebagai waitress di Sari Club, selamanya harus hidup dengan hamparan jaringan parut di bagian lengan. Persoalan ini membuatnya sangat depresi dan pesimistis menghadapi masa depan.
Oleh psikiater ia pun didiagnosis menderita depresi mayor. Maka, setiap malam sebelum tidur, satu butir tablet antidepresi mesti ditelannya.
Ketut hanya salah satu dari sekian banyak korban bom Bali. Sebuah tantangan berat bagi kita semua untuk merawat pasien-pasien luka bakar pascabom. Sebab, kita belum memiliki burn-center (pusat perawatan luka bakar) yang konon biaya operasionalnya sangat tinggi
Tulisan ini mengupas prinsip-prinsip penting dalam terapi luka bakar jangka pendek maupun jangka panjang.
Identifikasi
Kulit merupakan organ tubuh yang sangat penting. Ia merupakan struktur tubuh yang terbesar dan merupakan penyatu dari bagian-bagian tubuh. Oleh karena itu, kulit memainkan peran yang sangat signifikan dalam tubuh. Sama pentingnya dengan sistem lainnya dalam badan.
Luka bakar ialah trauma pada kulit yang disebabkan oleh panas tinggi. Ketika berhadapan dengan luka bakar, terdapat beberapa hal yang mesti kita telusuri, yaitu:
• Bagaimana terjadinya luka bakar ?
• Berapa luas luka bakar yang terjadi?
• Berapa kedalaman luka bakar?
• Di mana lokasi/tempat terjadinya?
• Siapa penderitanya?
Ada lima mekanisme timbulnya luka bakar:
1. Api: kontak dengan kobaran api.
2. Luka bakar cair: kontak dengan air mendidih, uap panas, dan minyak panas.
3. Luka bakar kimia: asam akan menimbulkan panas ketika kontak dengan jaringan organik.
4. Luka bakar listrik: tidak terlalu sering terjadi di Indonesia. Bisa timbul dari sambaran petir atau aliran listrik. Luka bakar listrik memiliki karakteristik yang unik, sebab sekalipun sumber panas (listrik) berasal dari luar tubuh, kebakaran/kerusakan yang parah justru terjadi di dalam tubuh.
5. Luka bakar kontak : kontak langsung dengan obyek panas, misalnya dengan wajan panas atau knalpot sepeda motor. Hal ini sangat sering terjadi di Indonesia.
Berapa luas luka bakar yang terjadi (lihat gambar). The International Burns Chart akan membantu kita menentukan luas luka bakar yang terjadi. Berpatokan pada diagram ini, dapat kita hitung total body surface area (TBSA). Luka bakar yang terjadi pada daerah muka dan leher jauh lebih berbahaya daripada luka bakar di tungkai bawah.
Pasalnya, luka bakar di tempat ini dapat berakibat pada terjadinya pembengkakan di daerah leher. Maka, kita mesti sangat waspada terhadap timbulnya obstruksi jalan napas.
Dengan alasan itu, daerah wajah dan leher mendapat persentase yang lebih besar daripada tungkai bawah. Penentuan luas luka adalah hal yang sangat subyektif.
Selalu dianjurkan untuk menggunakan angka perkiraan yang lebih tinggi. Jadi, jika Anda memperkirakan luas luka bakar yang terjadi berkisar antara 20-25 persen, gunakanlah angka yang lebih besar (25 persen). Jangan sekali-kali under estimate.
Bertahun-tahun lamanya disepakati penentuan kedalaman luka bakar menggunakan degree system (sistem derajat). Luka bakar diklasifikasi menjadi derajat 1, 2, dan 3. Kadang-kadang digunakan pula istilah derajat 4 pada kulit yang hangus terbakar mirip arang. Klasifikasi tersebut ialah :
- Luka bakar derajat 1 = superficial burn. Luka bakar permukaan yang tidak terlalu serius dan hanya mengenai lapisan kulit bagian atas. Sering kali disertai pembentukan vesikel (gelembung berisi cairan).
- Luka bakar derajat 2 = partial thickness burn (luka bakar parsial). Artinya luka bakar mengenai sebagian dari ketebalan kulit. Luka bakar dengan kedalaman ini sering kali disertai dengan rusaknya struktur di bawah kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebaseus (minyak), atau jaringan kolagen.
- Luka bakar derajat 3 = full thickness burn. Luka bakar mengenai seluruh ketebalan kulit. Struktur di bawah kulit pun sering kali mengalami kerusakan. Sekalipun demikian, kulit tidaklah lenyap, musnah, atau hilang, tetapi rusak.
- Luka bakar derajat 4 = hitam bagai arang, nekrotik.
Sebagian besar luka bakar merupakan kombinasi dari ketiga derajat di atas. Pada bagian pinggir sering kali terjadi luka bakar superfisial, sementara pada pusatnya, pada tempat terjadinya kontak, timbul parsial atau full thickness burn. Penentuan derajat luka bakar yang terbaru ialah tidak dengan "20 persen luka bakar derajat 3", tetapi "estimasi/perkiraan 20 persen luka bakar campuran superficial dan full thickness burn".
Lokasi luka bakar
Luka bakar dapat terjadi di dalam maupun di luar tubuh. Jalan napas pun dapat terbakar. Sebagaimana dijelaskan di atas, daerah kepala dan leher mendapat persentase yang lebih besar karena luka bakar di lokasi tersebut memiliki dampak yang lebih serius. Hal yang sama juga berlaku pada daerah tangan.
Luka bakar seluas 20 persen yang terjadi di tungkai bawah tidak akan menyengsarakan penderitanya sebagaimana jika lokasinya di daerah tangan. Lebih-lebih posisinya di tangan kanan yang fungsinya sangat esensial untuk aktivitas sehari- hari
Siapa penderitanya (umur pasien, berat badannya, status kesehatannya).
Sebagai contoh, luka bakar pada bayi atau lanjut usia jauh lebih serius daripada luka bakar dengan luas yang sama terjadi pada laki-laki usia 20 tahun.
Ketika masuk ke bagian terapi, hal pertama yang mesti kita tentukan ialah mengevaluasi apakah yang kita hadapi adalah luka bakar mayor. Disebut luka bakar mayor jika luasnya 20-30 persen parsial atau full thickness burn. Luka bakar mayor merupakan tindakan emergency. Penderitanya mesti segera dikirim ke pusat perawatan luka bakar (burn center) dan mesti dirawat inap.
Problem medis luka bakar mayor tidak hanya pada persoalan kulit. Sistem tubuh lainnya pun ikut terkena dampaknya. Pembuluh darah kapiler akan mengembang dalam upaya mengirim berbagai bahan/ tentara pertahanan tubuh. Selain itu pula terjadi perembesan darah ke luar pembuluh.
Peristiwa ini akan berefek pada kerja jantung, pembuluh limfa, hati, pankreas, dan berbagai sistem lainnya di dalam tubuh. Karena itu, luka bakar mayor mesti selalu dipandang sebagai kasus emergency. Kita mesti menghubungi bank darah, memeriksa laboratorium, menyiapkan fresh frozen plasma, dan sebagainya. Jika yang kita hadapi tidak termasuk ke dalam kriteria luka bakar mayor, kita dapat segera memberikan terapi.
Perawatan
Terdapat tiga prioritas penting dalam perawatan luka bakar ringan.
• Selalu dahulukan tindakan medis dan bedah. Sebagai contoh dalam menghadapi seorang pasien yang mengalami kesulitan bernapas, prioritas pertama kita ialah mengatasi masalah pernapasan. Baru setelah pernapasannya stabil, kita bergerak ke problem kulit.
• Setelah tuntas dengan urusan emergency, baru kita berupaya mempertahankan bentuk dan fungsi bagian tubuh yang terkena luka bakar.
• Prioritas berikutnya ialah upaya menciptakan penampakan jaringan parut sebaik mungkin. Hal ini merupakan problem utama dari pasien-pasien luka bakar. Upaya terpenting yang bisa dikerjakan ialah dengan pemberian tekanan di atasnya selama 6-12 bulan.
Pasien dapat menunggu terjadinya pertumbuhan kulit baru. Penantian ini umumnya memakan waktu yang lebih lama. Alternatif yang lebih cepat ialah dengan skin graft (cangkok kulit).
Cara ini dikerjakan dengan mengambil kulit dari suatu bagian tubuh yang kemudian ditanam pada daerah yang memerlukan. Lokasi pengambilan (donor site) biasanya di daerah paha karena daerah ini lebar dan gampang sembuh. Agar pertumbuhan terjadi, dibutuhkan beberapa syarat.
Kulit donor haruslah kulit yang sehat. Lokasi resipien (tempat donor ditanam) mesti memiliki jaringan pembuluh darah yang baik. Jika tidak, kulit donor tidak akan bisa tumbuh. Setelah kulit donor diletakkan, satu-satunya hal yang mesti dikerjakan ialah membiarkannya!
Jangan memberi tekanan apa pun! Kita hanya melindungi cangkok tersebut dan menantinya tumbuh. Umumnya pertumbuhan akan terjadi dalam 4-7 hari! Jika pada akhir hari ketujuh kulit tak juga tumbuh, boleh dikata graft Anda gagal! Kedalaman luka bakar juga menjadi pertimbangan penting. Graft tidak umum dikerjakan untuk luka bakar superficial. Kunci sukses lainnya ialah skill (kemampuan) dokter bedah yang mengerjakan graft ini.
Jika luka bakar seorang pasien demikian luas, sampai ia tak lagi memiliki bagian yang bisa dijadikan donor, anggota keluarga dapat mendonorkan kulitnya. Tentu saja mereka mesti memiliki golongan darah yang sama.
Kabar yang cukup mengagetkan ialah dimanfaatkannya kulit babi sintetis sebagai alternatif donor di negeri Barat. Sekali lagi, tanpa graft pun luka bakar akan sembuh. Namun, cara ini akan memakan waktu panjang. Dengan kata lain, graft merupakan cara penyembuhan yang paling cepat.
Eschar
Ketika luka bakar terjadi, tubuh berupaya untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Badan akan mengerahkan seluruh darah dan antibodi ke lokasi luka bakar. Proses ini dapat menyebabkan terbentuknya eschar.
Eschar ialah jaringan parut palsu. Ia bukanlah kulit sejati, tetapi menyelimuti luka bagaikan lapisan kulit. Eschar merupakan jaringan mati yang terdiri dari sel-sel kulit yang mengelupas. Karena ia tak hidup, ia tak bernapas dan tidak memungkinkan lalu lintas keluar masuknya bahan-bahan ke bagian dalam kulit.
Dengan kata lain, apa saja yang kita oleskan di atasnya akan nongkrong begitu saja, tidak meresap ke bagian dalam kulit. Salep antibiotika tidak akan menembus masuk. Karena itu, obat ini tidak akan menimbulkan efeknya. Eschar juga menghalangi pertumbuhan sel-sel kulit sehat dari bagian bawah kulit. Dengan alasan-alasan tersebut, eschar mesti dihilangkan.
Eschar mesti dikelupas, tindakan yang dalam bahasa medik dikenal dengan nama debridemen. Ada dua cara debridemen, yaitu debridemen mekanis dan kimia. Sebagaimana namanya, pada debridemen mekanis dilakukan upaya pembuangan eschar oleh seorang ahli bedah di kamar operasi
Sementara secara kimia digunakan salep silver sulfadiazine (SSD), flammazine, atau dermazine. Kandungan aktif di dalam salep ini ialah silver (perak) yang mempunyai kemampuan mengelupas kulit. Setelah eschar berhasil dilenyapkan, dokter dapat melakukan graft.
Sering tidak mudah untuk menentukan derajat luka bakar, khususnya pada hari-hari pertama (2-3 hari). Tidak jelas betul seberapa kedalaman luka bakar. Banyak dokter yang dengan serta-merta mengoleskan salep antibiotika.
Tiga hari kemudian baru ketahuan, ternyata luka bakarnya lebih dalam dari perkiraan. Karena alasan ini, tiap kali berhadapan dengan luka bakar, maka bahan pertama yang mesti kita oleskan ialah krim SSD. Baru kemudian luka kita periksa setiap hari
Setelah 2-3 hari, barulah kita memiliki gambaran yang lebih tepat tentang kondisi luka dan terapi apa yang mesti diberikan. SSD selalu dijadikan pilihan pertama karena salep ini juga mengandung antibiotika di dalamnya. Di samping silver yang melakukan fungsi debridemen.
Kandungan antimikroba SSD memiliki waktu paruh 12 jam. Ini berarti ia mesti dioleskan dua kali sehari. Untuk luka bakar kecil, pemakaian 1 kali sehari masih bisa ditoleransi.
Pertumbuhan
Setelah eschar dilenyapkan, apa yang terlihat ialah jaringan granulasi. Maka, kita tinggal menunggu jaringan tersebut tumbuh dan menyembuh. Agar pertumbuhan terjadi, kita harus berupaya membuat lingkungan yang optimal, yaitu:
• tidak terjadi pengelupasan
• tidak terjadi infeksi
• lingkungan mesti dipertahankan dalam keadaan lembab.
Ada tendensi untuk membiarkan luka dalam keadaan terbuka. Hal ini merupakan tindakan yang salah. Sebab, lingkungan yang kering akan merangsang terbentuknya sisik/ kerak pada permukaan kulit yang tidak memiliki lapisan-lapisan sebagaimana jaringan kulit sehat.
Luka-luka bakar tersebut akan sembuh, tetapi dibutuhkan kesabaran. Mengobati pasien luka bakar sungguh membutuhkan kesabaran. Anda harus menunggu kulit tubuh untuk tumbuh kembali
sumber http://www.kompas.com
Friday, August 10, 2007
TOPIK
Pendekatan Evidence Based Medicine Dalam Keputusan Klinis Penanganan Pasien Stroke
ABDUL GOFIR DAN RUSDI LAMSUDIN
Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
--------------------------------------------------------------------------------
Pendahuluan
Ketika seorang dokter berhadapan dengan suatu penyakit yang diderita pasien, akan timbul keputusan klinis untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pasien. Berbagai pendekatan yang diambil dalam pengambilan keputusan klinis tersebut sangat dipengaruhi oleh cara pandang atau paradigma yang dipakai oleh dokter tersebut. Paradigma lama yang telah dipakai bertahun-tahun dalam penanganan penderita adalah menggunakan intuisi, pengalaman klinis yang tidak sistematis, ataupun pendekatan patofisiologi yang berasal dari penelitian hewan percobaan.
Paradigma yang baru, yang mulai diperkenalkan sejak awal tahun 90-an adalah evidence-based medicine1. Paradigma ini lebih menekankan pendekatan dalam pengambilan keputusan klinis berdasarkan bukti-bukti dan informasi yang berasal dari penelitian klinis yang sistematis.
Tulisan ini akan membahas peranan evidence-based medicine dalam penanganan pasien stroke serta tahap-tahap pengambilan keputusan klinis pada pasien stroke berdasarkan evidence-based medicine.
Pembahasan
Keputusan klinis yang dibuat berdasarkan evidence-based medicine harus melalui pelacakan kepustakaan, baik lewat CD room, internet, maupun publikasi ilmiah riset-riset yang ada di jurnal-jurnal keilmuan terkait. Bukti-bukti yang diperoleh meliputi bukti faktor risiko suatu penyakit, bukti akurasi suatu tes diagnostik pengganti, bukti faktor prediktor suatu penyakit, serta bukti-bukti tentang efikasi dan keamanan suatu obat. Bukti-bukti yang didapatkan lewat hasil suatu penelitian dengan level evidence I atau dari suatu randomized controlled trial digunakan untuk dasar pengambilan keputusan klinis dalam penanganan suatu penyakit. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam praktik evidence-based medicine adalah sebagai berikut2: (1) formulasikan pertanyaan-pertanyaan klinis yang dapat dijawab; (2) lacak bukti eksternal yang terbaik; (3) lakukan analisis kritis bukti tersebut untuk menentukan validitas dan pentingnya bukti tersebut; (4) gunakan bukti tersebut dalam praktik klinis; dan (5) evaluasi diri sebagai pemakai evidence-based medicine. Contoh yang hendak ditunjukkan adalah untuk kasus stroke akut. Sesuai dengan tahapan praktik pendekatan evidence-based medicine, maka pertama kali yang harus diajukan adalah pertanyaan tentang masalah manajemen stroke akut. Dalam pelayanan akut di rumah sakit, apakah ada cara-cara untuk mengorganisir pelayanan pasien-pasien dengan serangan stroke akut yang akan memperbaiki kualitas perawatan (quality of care), efisiensi, dan outcome dari pelayanan tersebut2.
Dalam praktik pelaksanaan evidence-based medicine, ada beberapa ketentuan yang harus diikuti. Davidoft et al. (1995) cit. Lamsudin (1999)2 memberi beberapa petunjuk sebagai berikut: (1) keputusan-keputusan klinis harus berdasarkan bukti ilmiah yang terbaik, yang berasal dari kesimpulan epidemiologis dan biostatistik; (2) masalah klinis harus menentukan jenis bukti yang dicari; (3) kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari identifikasi dan analisis kritis, bukti harus dapat merubah manajemen atau keputusan pelayanan kesehatan; serta (4) penampilan klinis harus secara terus-menerus dievaluasi.
Berikut ini adalah beberapa contoh pendekatan evidence-based medicine pada penanganan stroke mulai dari pelacakan faktor-faktor risiko stroke, usaha-usaha prevensi primer, penentuan diagnosis stroke, penentuan prognosis stroke, pemilihan terapi stroke, maupun usaha prevensi sekunder yang akan mempengaruhi outcome pasien stroke tersebut.
Faktor-faktor risiko stroke
Pada pasien stroke yang kita temui, identifikasi faktor-faktor risiko stroke adalah sangat penting. Hal ini berkaitan dengan berbagai usaha prevensi primer. Pelacakan evidence adanya faktor-faktor risiko stroke sangat mudah kita peroleh dari jurnal-jurnal ilmiah dengan menggunakan key words: risk factors - stroke.
Contoh faktor-faktor risiko stroke berdasarkan evidence-based medicine sebagai berikut. Lamsudin (1996)3 telah membuktikan bahwa hipertensi tak terkontrol sebagai faktor risiko stroke. Lubis (1999)4 menyimpulkan bahwa riwayat hipertensi, tekanan darah sistolik waktu masuk rumah sakit, merokok, dan kadar trigliseride > 200 mg/dl sebagai faktor risiko stroke. Diabetes melitus adalah problem endokrinologis yang menonjol dalam pelayanan kesehatan dan juga sudah terbukti sebagai faktor risiko stroke5,6. Fibrilasi atrial nonvalvular (FANV) adalah faktor risiko stroke yang penting. Risiko terjadinya stroke pada individu dengan FANV adalah 6 kali dibandingkan dengan individu tanpa FANV7,8. Kebiasaan merokok juga merupakan faktor risiko stroke. Suatu meta-analisis dari 32 penelitian yang disimpulkan oleh Shinton & Beevers (1989)9 menunjukkan bahwa rokok mempunyai risiko relatif 1,5 untuk terjadi stroke.
Faktor dietari dapat sebagai faktor risiko stroke. Contohnya, peningkatan konsumsi garam berhubungan dengan hipertensi dan penurunan konsumsi garam akan menurunkan tekanan darah serta dapat menurunkan mortalitas stroke10.
Usaha-usaha prevensi primer
Upaya untuk prevensi primer pada pasien juga harus didasarkan pada evidence-based medicine. Beberapa prevensi primer terbukti dari penelitian yang sistematis dapat menurunkan risiko terjadinya stroke. Suatu overviews yang dikerjakan Collins et al. (1990)11, dari 14 prospective randomized trial menunjukkan bahwa dengan penurunan tekanan darah diastolis 5 mmHg sampai 6 mmHg telah menurunkan risiko untuk terjadi stroke sebanyak 42%. Suatu overviews lainnya yang dilakukan oleh Garlick et al., (1999)12 menyimpulkan bahwa pemberian obat-obat antikoagulansia, antiplatelet agregasi, dan obat-obat penurunan kadar lipid dalam darah pada penderita infark miokard dapat menurunkan risiko terjadinya stroke.
Dilaporkan bahwa dari hasil penelitian The Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP) terjadi penurunan risiko terjadi stroke sebanyak 36% dengan pengobatan isolated systolic hypertension pada individu-individu usia lanjut13. Suatu systematic overview uji klinis menyimpulkan bahwa diuretika berhubungan dengan 39% odds reduction (OR=0,61; 95% CI=0,51-072) dan betablockers berhubungan dengan 25% OR (OR=0,75; 95%CI=0,57-0,98) untuk kejadian stroke pada orang usia lajut dengan hipertensi14.
Walaupun ada bukti bahwa ada hubungan erat antara diabetes melitus dengan stroke baik dari studi epidemiologis dan studi patofisiologis, pengendalian, dan penurunan kadar serum gula darah tidak menunjukkan penurunan risiko terjadinya stroke15.
The Antiplatelet Trialists' Collaboration16 menyimpulkan (1994) bahwa penderita dengan riwayat infark miokardial, dengan pemberian aspirin dapat menurunkan risiko terjadinya stroke nonfatal sebesar 39%, infark miokardial nonfatal 39%, dan menurunkan kematian vaskuler sebesar 15%. Pooled analysis dari beberapa penelitian besar, uji kilis randomisasi menunjukkan pemberian warfarin menurunkan kejadian stroke sebanyak 68% (95%CI = 50%--79%) dan pemberian aspirin menurunkan kejadian stroke sebanyak 21%17. Wannmethee et al. (1995) membuktikan bahwa berhenti merokok mengurangi risiko mendapat serangan stroke sebanyak 30% sampai 40%18. Konsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran dapat menurun risiko terjadinya stroke melalui mekanisme atioksidan19,20 atau melalui kenaikan kadar kalium21. Efek proteksi dari aktivitas fisik adalah untuk mencegah terjadinya stroke melalui pengendalian berbagai faktor risiko stroke, seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan kegemukan22,23,24.
Diagnosis Stroke
Diagnosis jenis patologi stroke dapat ditentukan dengan gold standar (baku emas) menggunakan pemeriksaan CT-can kepala. Jika CT-scan kepala tersedia di suatu daerah maka untuk menentukan jenis patologi stroke kita dapat menggunakan CT-scan karena memang alat ini sensitifnya tinggi untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral atau stroke infark. Tidak perlu kita menggunakan alat MRI (magnetic resonance imaging) yang lebih canggih karena keputusan memilih MRI berarti melakukan pemeriksaan tambahan yang berlebihan. Sesuai dengan evidence-based medicine maka kita cukup menggunakan alat yang sensitif untuk diagnostik tanpa tindakan pemborosan yang merugikan pasien.
Ketersediaan CT-scan yang terbatas memaksa kita untuk mencari tes diagnostik pengganti yang telah terbukti akurasinya mendekati akurasi pemeriksaan CT-scan kepala. Keputusan klinis ini juga harus diambil agar pasien stroke tidak dirugikan karena diagnosis jenis patologisnya tidak dapat ditegakkan dengan tepat dan pengobatan dini tidak dapat dilakukan. Pendekatan evidence-based medicine juga harus diterapkan di sini. Ada beberapa skor yang pernah diuji validasi eksternalnya oleh Weir et al. (1994)25, yaitu Guy's hospital score (GHS) dan modified Siriraj stroke score (SSSMod) untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral dan stroke infark. Kesimpulannya adalah validitas GHS dan SSSMod adalah rendah untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke iskemik atau infark.
Sedangkan Lamsudin (1997)26 telah membuat suatu algoritma Gadjah Mada yang dapat dipakai untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke infark. Sensitivitas algoritma tersebut adalah 95%. Keputusan untuk menggunakan tes diagnostik pengganti dengan algoritma ini adalah tepat karena sensitivitasnya 95%.
Prognosis Stroke
Prognosis penderita dipengaruhi berbagai faktor atau kondisi yang menyertai penderita. Contohnya adalah prognosis pada stroke perdarahan intraserebral. Beberapa peneliti melihat angka kematian selama follow up 30 hari; Deverat at al. (1991)27 31%; Douglas & Haerer (1992)28 40%; Helweg-Larsen et al. (1984)29 27%; Steiner et al. (1984)30 26%; Dixon et al. (1985)31 33%; Tuhrin et al. (1988)32 34%; Radberg et al. (1991)33 30%; Feldman (1991)34 47%; dan Portenoy et al. (1987)35 46%. Dari semua penelitian ini, variabel yang paling berpengaruh dalam prognosis jangka pendek antara lain perluasan darah ke ventrikel, tingkat kesadaran saat awitan, dan volume perdarahan. Pendekatan evidence-based medicine dalam memperkirakan prognosis pasien stroke berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, diharapkan dapat membantu dalam memutuskan suatu tindakan selanjutnya terhadap pasien serta dapat memberikan gambaran prognosis pasien kepada keluarganya.
Terapi
Pengambilan keputusan klinis terapi penderita stroke atau prevensi sekunder (mencegah serangan ulang) seharusnya dilakukan berdasarkan dari hasil randomized controlled trial (level evidence I). Contohnya adalah pemberian Pentoxifylline pada stroke iskemik akut. Hsu et al. (1988)36 telah melaporkan hasil uji klinik randomisasi multisenter di beberapa rumah sakit di Canada dan Amerika. Pemberian Pentoxifylline dan plasebo dilakukan 12 jam setelah serangan stroke iskemik akut. Pada hari pertama diberikan Pentoxifyllin 50 mg i.v., setelah satu menit dilanjutkan dengan infus intravenous kontinyu (16 mg/kg BB/hari selama 72 jam). Setelah itu, dilanjutkan dengan pemberian tablet Pentoxifylline 400 mg 3 kali sehari selama 25 hari. Kelompok pasien dengan Pentoxifylline menunjukkan perbaikan defisit neurologik yang bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok plasebo pada hari pertama dan hari kedua. Walaupun sampai hari ke-28 perbaikan kedua kelompok tidak berbeda bermakna, secara klinis terlihat perbaikan yang bermakna berbeda dibandingkan dengan kelompok plasebo (level evidence I).
Untuk mencari bukti-bukti penelitian klinis terapi stroke dari CD room, midline ataupun dari abstrak penelitian di website internet menggunakan key words: stroke - treatment atau cerebrovascular disorders - treatment - clinical trial.
Setyaningsih (1998)37 telah melakukan studi meta-analisis terhadap terapi tiklopidin untuk prevensi sekunder stroke iskemik. Dari sejumlah 7 penelitian terapi tiklopidin tersebut, disimpulkan bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin, maupun indofen dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik.
Suatu keputusan klinik dalam menentukan terapi yang berdasarkan studi meta-analisis dari suatu penelitian obat dengan randomized controlled trial adalah tepat dikerjakan. Hasil suatu studi metanalisis uji efikasi obat tersebut lebih kuat dipakai sebagai dasar terapi dibandingkan hanya dari sebuah penelitian randomized controlled trial.
Selama dua dekade terakhir telah dikerjakan berbagai penelitian terhadap obat-obatan neuroprotektan pada penderita stroke akut38,39,40,41,42,43,44,45,46. Sebagian hasilnya belum dapat mempengaruhi outcome klinis. Beberapa peneliti menganjurkan untuk dilakukan penelitian ulang terhadap obat-obat tersebut.
Beberapa penelitian dikerjakan mengevaluasi terapi citicoline pada stroke iskemik akut38,39,41,47. Takazi et al.(1988)38 menyimpulkan bahwa citicoline dapat memulihkan penurunan kesadaran pada penderita stroke iskemik akut. Bruhwyler et al. (1997)47 menunjukkan bahwa citicoline efektif dan ditoleransi dengan baik untuk pasien-pasien yang menderita stroke infark akut. Clark et al.(1997)39 menyimpulkan bahwa pada penderita stroke citicoline dapat memperbaiki outcome fungsional, menurunkan defisit neurologis, serta efek samping pengobatan yang minimal. Pada penelitian yang terbaru, Clark et al. (1999)41 gagal memperkuat hasil penelitian sebelumnya. Meskipun citicoline aman untuk terapi, ternyata citicoline tidak efektif untuk perbaikan outcome fungsional pada penderita stroke yang ringan. Citicoline hanya bermanfaat untuk kelompok pasien dengan stroke sedang sampai berat.
Sedangkan randomized control trial terhadap nimodipine pada stroke akut yang telah dilakukan Lamsudin (1997)48 menyimpulkan bahwa nimodipine dapat memperbaiki skor neurologis pada pasien stroke akut meskipun tidak dapat memperbaiki outcome fungsionalnya (diukur dengan Barthel index). Pencarian terhadap hasil-hasil clinical trial yang terbaru, terutama pada studi dengan sampel yang besar, multisenter, terlebih hasil metaanalisis sejumlah studi harus terus dilakukan. Usaha untuk mengetahui efikasi dan efek samping berbagai produk obat-obatan yang terbaru tepat dikerjakan sebelum kita menentukan apakah kita akan memutuskan obat tersebut.
Kesimpulan
Pendekatan evidence-based medicine sebagai paradigma baru sebagai dasar pengambilan keputusan klinis perlu dikembangkan sejak penentuan faktor-faktor risiko penyakit, penentuan diagnosis, prevensi primer, menilai prognosis, prevensi sekunder, maupun untuk penentuan terapi. Pendekatan ini diharapkan makin meningkatkan kualitas pelayanan, efisiensi, dan outcome klinis.
Akhirnya, pendekatan evidence-based medicine akan berhasil jika seorang dokter dapat mengintegrasikan kemampuan klinisnya dengan kemampuan pelacakan bukti eksternal yang terbaik dan tersedia dari riset yang sistematis. Beberapa syarat yang harus dipunyai individu dalam mempraktikkan evidence-based medicine adalah2: (1) Kemampuan untuk mendefiniskan kriteria effectiveness, safety, acceptability; (2) Kemampuan untuk menemukan artikel-artikel tentang effectiveness, safety, acceptability dari suatu tes diagnosis atau terapi; (3) Kemampuan untuk menilai kualitas dari bukti-bukti eksternal; (4) Kemampuan untuk menilai hasil-hasil penelitian yang dapat digeneralisasi dari suatu populasi; (5) Kemampuan untuk menilai bahwa hasil-hasil penelitian dapat dipakai pada populasi local.
Daftar Pustaka
Evidence-Based Medicine Working Group. Evidence-based medicine : a new approach to practice of medicine. JAMA 1992 ; 268: 2420 - 25.
Lamsudin, R. Praktek Evidence-Based Medicine (EBM) dalam manajemen stroke akut. Berkala Kedokteran Masyarakat 1998 ; 3 : 129 - 35.
Lamsudin, R. Well Controlled and Less Well Controlled Hypertension in Stroke Patients in Yogyakarta, Indonesia, Clin Epid & Biost 1996 1 : 4 - 6
Lubis, I. Konsentrasi Rendah High Density Lipoprotein-Cholesterol Sebagai Faktor Risiko Stroke Infark. Karya Akhir. Bagian IP FK-UGM, Yogyakarta, 1999.
Wolf PA, D'Agostino RB, Belanger AJ, & Kannel WB: Probability of stroke: a risk profile from Framingham Study. Stroke, 1991;22:312-318.
Kuller LH, Dorman JS, & Wolf PA. Cerebrovascular diseases and diabetes. In: National Diabetes Data Group Department of Health and Human Services, National Istitutes of Health, ed. Diabetes in America: Diabetes Data Compiled for 1984; Bethesda, Md, Conn: Appleton & Lange, 1996.
Wolf PA, Dawber TR, Thomas HEJ & Kannel WB. Epidemiologic assessment of chronic atrial fibrillation and risk factor of stroke: the Farmingham Study. Neurology 1978;28: 973 - 77.
Wolf PA, Abott RD, & Kannel WB. Atrial fibrilation as an independent risk factor for stroke: the Framingham Study. Stroke 1991;22:983- 88.
Shinton R & Beevers G. Meta-analysis of relation between cigarette smoking and stroke. BMJ 1989;298:789- 94.
Stamler J, Rose G, Stamler R, Elliot P, Dyer A, & Marmot M. Intersalt study findings: public health and medical care implications. Hypertension, 1989; 14 : 570 - 577.
Collins R, Peto R & MacMahon S. Blood pressure, stroke, and coronary heart disease, part 2: short-term reductions in blood pressure overviews of randomized drug trials in their epidemiological context. Lancet 1990; 335: 827 - 38.
Gorelick PB, Sacco RL, Smith DB et al. Prevention of a first stroke: a review of guidelines and a multidisciplinary consensus statement from the National Stroke Association. JAMA 1999; 281: 1112 - 20.
SHEP Cooperative Research Group. Prevention of stroke by antihypertensive drug treatment in older persons with isolated systolic hypertension: final results of the Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP). JAMA, 1991; 265 : 3255 - 64.
Messerli F, Grossman E, & Goldbourt U. Are beta-blockers efficacious as first-line therapy for hypertension in elderly ? A systematic review. JAMA, 1998;279:1903-1907.
Report of the Expert Committee on Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 1997;20: 837 - 53.
Antiplatelet Trialists' Collaboration. Collaborative overview of randomized trial of antiplatelet therapy, Prevention of death, myocardial infarction, and stroke by prolonged antiplatelet therapy in various categories patients. BMJ, 1994;308: 81 - 106.
The Atrial Fibrillation Investigators. The efficacy of aspirin in patients with atrial fibrillation: analysis of pooled data from 3 randomized trial. Arch Intern Med, 1997; 157:1237- 40.
Wannmethee SG, Sharper AG, Whincup PH, Walker M. Smoking cessation and risk of stroke in middle aged men. JAMA, 1995; 274:155 - 60.
Gillman MW, Cupples LA, Gagnon D. Protective effect of fruits and vegetables on development of stroke in men. JAMA, 1995 ; 273 : 1113- 17.
Gey KF, Stahelin HB, & Eichholzer M. Poor plasma status of carotene and vitamin C is associated with higher mortality from ischemic heart disease and stroke. Clin Invest 1993 ; 71:3-6.
Khaw KT, & Barrett-Connor E. Dietary potasium and stroke-associated mortality: a 12-year prospective population study. N Engl J Med 1987; 316: 235-240.
Manson JE, Rimm EB, & Stampfer MJ. Physical activity and incidence of non-insulin-dependent diabetes mellitus in women. Lancet 1991; 338: 774-778.
Kokkinos PF, Narayan P, & Colleran JA. Effects of regular exercise on blood pressure and left ventricular hypertophy in African-American men with severe hypertension. N Engl J Med 1995; 333 : 1462-1467.
Blair SN, Kampert JB, & Kohl HW. Influences of cardiorespiratory fitness and other precursors on cardiovascular disease and all-acute mortality in men and women. JAMA 1996; 276 : 205 - 210.
Weir CJ, Murray GD, Adams FG, Muir Kw, & Less KR. Poor accuracy of stroke scoring systems for differential clinical diagnosis of intracranial haemorrhage and infarction. Lancet 1994; 344 : 999- 1002.
Lamsudin R. Algoritma stroke gadjah Mada. Penyusunan dan validasi untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke iskemik akut atau stroke infark. (Disertasi) Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1997.
Deverat P, castel JP, Dartigues JF, & Orgogozo JM. Death and Functional Outcome After Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Stroke 1991; 22 : 1-6
Douglas MA, & Haerer AF. Long-term Prognosis of Hypertensive Intracerebral Haemorrhage. Stroke 1992 ; 13 : 488- 91.
Helweg-Larsen S, Somer W, Strange P, Lester J, & Boysen G. Prognosis for Patients Treated Conservatively for Spontaneous Intracerebral Haematom. Stroke 1984 ; 15: 1045 - 48.
Steiner I, Gomori MJ, & Melamed E. The prognostic Value of the CT scan in Conservatively Treated Patients with Intracerebral Hematoma. Stroke 1984; 15 : 279 - 84.
Dixon AA, Holmes RO, Howes WJ, & Garner JB. Spontaneus Intracerebral Hemorrhage. An analysis of factors affecting prognosis. Can J Neurol Sci 1985: 12 : 267 - 71.
Tuhrin S, Dambrosia JM, Price TR, Mohr JP, Wolf PA, Heyman A, & Kase CS. Prediction of Intracerebral Hemorrhage Survival. Ann Neurol 1988; 24 : 258 -63.
Radberg JA, Olsson JA, & Radberg CT. Prognostic Parameter Spontaneous Intracerebral Hematoma with Special Refernece to Anticoagulant Treatment. Stroke 1991; 22: 571- 76.
Feldman E. Intracerebral Hemorrhage. Stroke 1991; 22: 684 - 91.
Portenoy RK, Lipton RB, Berger Ar, Leser Ml, & Georgelantos. Intracerebral Hemorrhage : A model for The Prediction of Outcome. J. of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry 1987; 50 : 976- 79.
Hsu Cy, Norris JW, Hogan EL, Bladin P, & Dinsdale HB et al. Pentoxifyllin in Acute Nonhemorrhagic Stroke . A Randomized, placebo- controlled, double-blid trial. Stroke 1988; 19 : 716 - 22.
Setyaningsih. Peran Tiklopidin pada Pencegahan Serangan Ulang Stroke iskhemik. Karya Akhir. Bagian IP Saraf FK-UGM, Yogyakarta, 1998.
Tazaki, Y; Sakai, F; Otomo, E; Kutsuzawa, T; Kameyama, M; Omae, T; & Fujishima, T, 1988. Treatment of acute cerebral infarction with a choline precursor in multicenter double-blind placebo-controlled study. Stroke, 19: 211- 216.
Clark W, Warach S, pettigrew L, Gammans R, & Sabounjian L. A randomized dosed response trial of citicoline in acute ischemic stroke patients. Neurology1997; 28: 671- 678.
Albers GW, Clark WM, Atkinson RP, Madden K, Data JL, & Whitehouse MJ. Dose Escalation Study of th ENMDA Glycine-Site Antagonist licostinel in Acute Ischemic Stroke. Stroke 1999; 30 : 508 - 14. (Abstract)
Clark W, Williams B, Selzer K, Zweifler R, Sabounjian L, & Gammans RE, 1999. A Randomized Efficacy Patients With Trial of Citicoline in Acute Ischemic Stroke. Stroke, 30: 2592- 2597.
Dyker AG, Lees KR. Remacemide Hydrochloride. A Doubel- Blind Placebo- Controlled, Sfety and Tolerability Study in Patients with Acute Ischemic Stroke. Stroke 1999; 30 : 1796 - 1801. (Abstract)
Dyker AG, Edwards KR, Fayad PB, Hormes JT, Lees KR. Safety and Tolerability Study in Patients With Acute Ischemic Stroke. Stroke 1999 ; 30 :2038 - 42. (Abstract)
Whalgren NG, Ranasinha KW, rososlacci T, van Erven PMM, Ashwood T, Claesson L. Clomethiazole Acute Stroke Study. Result of Randomized, Controlled Trial of Clomethiazole Vrsus Placebo in 1360 Acute Stroke Patients. Stroke 1999; 30: 21- 28. (Abstract)
Haley, EC. Phase II Studies of the Glycine Antagonist CV 150526 in Acute Stroke. Stroke 2000 ;31: 358. (Abstract)
Wahlgren NG, Diez-Tejedor E, Teitelbaum J et al. Result 95 Hemorrhage Stroke Patients Included in CLASS, a Controlled trial of Clometiazole versus Placebo in Acute Stroke Patients. Stroke 2000; 31 :82. (Abstract)
Bruhwyler J, Vandorpe J, Geecy J. Multicentric open label study of the efficacy and tolerability of citicoline in the treatment of acute cerebral infarction. Curr Ther Res Clin Exp 1997; 58 : 309 - 316.
Lamsudin R, Misbach Y, Andradi, Cahyadi P, Hadinoto S, Fauziah, Sumaryanto. A Controlled Trial of Nimodipine in Acute Ischemic Stroke. A Multicenter Indonesian Neurological Association Study Group. Clinical Epid & Biost 1997; 2 : 3 - 7.
* Peserta PPDS I Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran -UGM
* Guru Besar Madya Fakultas Kedokteran UGM
sumber.http://www.tempo.co.id/medika/arsip/042001/top-1.htm
Pendekatan Evidence Based Medicine Dalam Keputusan Klinis Penanganan Pasien Stroke
ABDUL GOFIR DAN RUSDI LAMSUDIN
Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
--------------------------------------------------------------------------------
Pendahuluan
Ketika seorang dokter berhadapan dengan suatu penyakit yang diderita pasien, akan timbul keputusan klinis untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pasien. Berbagai pendekatan yang diambil dalam pengambilan keputusan klinis tersebut sangat dipengaruhi oleh cara pandang atau paradigma yang dipakai oleh dokter tersebut. Paradigma lama yang telah dipakai bertahun-tahun dalam penanganan penderita adalah menggunakan intuisi, pengalaman klinis yang tidak sistematis, ataupun pendekatan patofisiologi yang berasal dari penelitian hewan percobaan.
Paradigma yang baru, yang mulai diperkenalkan sejak awal tahun 90-an adalah evidence-based medicine1. Paradigma ini lebih menekankan pendekatan dalam pengambilan keputusan klinis berdasarkan bukti-bukti dan informasi yang berasal dari penelitian klinis yang sistematis.
Tulisan ini akan membahas peranan evidence-based medicine dalam penanganan pasien stroke serta tahap-tahap pengambilan keputusan klinis pada pasien stroke berdasarkan evidence-based medicine.
Pembahasan
Keputusan klinis yang dibuat berdasarkan evidence-based medicine harus melalui pelacakan kepustakaan, baik lewat CD room, internet, maupun publikasi ilmiah riset-riset yang ada di jurnal-jurnal keilmuan terkait. Bukti-bukti yang diperoleh meliputi bukti faktor risiko suatu penyakit, bukti akurasi suatu tes diagnostik pengganti, bukti faktor prediktor suatu penyakit, serta bukti-bukti tentang efikasi dan keamanan suatu obat. Bukti-bukti yang didapatkan lewat hasil suatu penelitian dengan level evidence I atau dari suatu randomized controlled trial digunakan untuk dasar pengambilan keputusan klinis dalam penanganan suatu penyakit. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam praktik evidence-based medicine adalah sebagai berikut2: (1) formulasikan pertanyaan-pertanyaan klinis yang dapat dijawab; (2) lacak bukti eksternal yang terbaik; (3) lakukan analisis kritis bukti tersebut untuk menentukan validitas dan pentingnya bukti tersebut; (4) gunakan bukti tersebut dalam praktik klinis; dan (5) evaluasi diri sebagai pemakai evidence-based medicine. Contoh yang hendak ditunjukkan adalah untuk kasus stroke akut. Sesuai dengan tahapan praktik pendekatan evidence-based medicine, maka pertama kali yang harus diajukan adalah pertanyaan tentang masalah manajemen stroke akut. Dalam pelayanan akut di rumah sakit, apakah ada cara-cara untuk mengorganisir pelayanan pasien-pasien dengan serangan stroke akut yang akan memperbaiki kualitas perawatan (quality of care), efisiensi, dan outcome dari pelayanan tersebut2.
Dalam praktik pelaksanaan evidence-based medicine, ada beberapa ketentuan yang harus diikuti. Davidoft et al. (1995) cit. Lamsudin (1999)2 memberi beberapa petunjuk sebagai berikut: (1) keputusan-keputusan klinis harus berdasarkan bukti ilmiah yang terbaik, yang berasal dari kesimpulan epidemiologis dan biostatistik; (2) masalah klinis harus menentukan jenis bukti yang dicari; (3) kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari identifikasi dan analisis kritis, bukti harus dapat merubah manajemen atau keputusan pelayanan kesehatan; serta (4) penampilan klinis harus secara terus-menerus dievaluasi.
Berikut ini adalah beberapa contoh pendekatan evidence-based medicine pada penanganan stroke mulai dari pelacakan faktor-faktor risiko stroke, usaha-usaha prevensi primer, penentuan diagnosis stroke, penentuan prognosis stroke, pemilihan terapi stroke, maupun usaha prevensi sekunder yang akan mempengaruhi outcome pasien stroke tersebut.
Faktor-faktor risiko stroke
Pada pasien stroke yang kita temui, identifikasi faktor-faktor risiko stroke adalah sangat penting. Hal ini berkaitan dengan berbagai usaha prevensi primer. Pelacakan evidence adanya faktor-faktor risiko stroke sangat mudah kita peroleh dari jurnal-jurnal ilmiah dengan menggunakan key words: risk factors - stroke.
Contoh faktor-faktor risiko stroke berdasarkan evidence-based medicine sebagai berikut. Lamsudin (1996)3 telah membuktikan bahwa hipertensi tak terkontrol sebagai faktor risiko stroke. Lubis (1999)4 menyimpulkan bahwa riwayat hipertensi, tekanan darah sistolik waktu masuk rumah sakit, merokok, dan kadar trigliseride > 200 mg/dl sebagai faktor risiko stroke. Diabetes melitus adalah problem endokrinologis yang menonjol dalam pelayanan kesehatan dan juga sudah terbukti sebagai faktor risiko stroke5,6. Fibrilasi atrial nonvalvular (FANV) adalah faktor risiko stroke yang penting. Risiko terjadinya stroke pada individu dengan FANV adalah 6 kali dibandingkan dengan individu tanpa FANV7,8. Kebiasaan merokok juga merupakan faktor risiko stroke. Suatu meta-analisis dari 32 penelitian yang disimpulkan oleh Shinton & Beevers (1989)9 menunjukkan bahwa rokok mempunyai risiko relatif 1,5 untuk terjadi stroke.
Faktor dietari dapat sebagai faktor risiko stroke. Contohnya, peningkatan konsumsi garam berhubungan dengan hipertensi dan penurunan konsumsi garam akan menurunkan tekanan darah serta dapat menurunkan mortalitas stroke10.
Usaha-usaha prevensi primer
Upaya untuk prevensi primer pada pasien juga harus didasarkan pada evidence-based medicine. Beberapa prevensi primer terbukti dari penelitian yang sistematis dapat menurunkan risiko terjadinya stroke. Suatu overviews yang dikerjakan Collins et al. (1990)11, dari 14 prospective randomized trial menunjukkan bahwa dengan penurunan tekanan darah diastolis 5 mmHg sampai 6 mmHg telah menurunkan risiko untuk terjadi stroke sebanyak 42%. Suatu overviews lainnya yang dilakukan oleh Garlick et al., (1999)12 menyimpulkan bahwa pemberian obat-obat antikoagulansia, antiplatelet agregasi, dan obat-obat penurunan kadar lipid dalam darah pada penderita infark miokard dapat menurunkan risiko terjadinya stroke.
Dilaporkan bahwa dari hasil penelitian The Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP) terjadi penurunan risiko terjadi stroke sebanyak 36% dengan pengobatan isolated systolic hypertension pada individu-individu usia lanjut13. Suatu systematic overview uji klinis menyimpulkan bahwa diuretika berhubungan dengan 39% odds reduction (OR=0,61; 95% CI=0,51-072) dan betablockers berhubungan dengan 25% OR (OR=0,75; 95%CI=0,57-0,98) untuk kejadian stroke pada orang usia lajut dengan hipertensi14.
Walaupun ada bukti bahwa ada hubungan erat antara diabetes melitus dengan stroke baik dari studi epidemiologis dan studi patofisiologis, pengendalian, dan penurunan kadar serum gula darah tidak menunjukkan penurunan risiko terjadinya stroke15.
The Antiplatelet Trialists' Collaboration16 menyimpulkan (1994) bahwa penderita dengan riwayat infark miokardial, dengan pemberian aspirin dapat menurunkan risiko terjadinya stroke nonfatal sebesar 39%, infark miokardial nonfatal 39%, dan menurunkan kematian vaskuler sebesar 15%. Pooled analysis dari beberapa penelitian besar, uji kilis randomisasi menunjukkan pemberian warfarin menurunkan kejadian stroke sebanyak 68% (95%CI = 50%--79%) dan pemberian aspirin menurunkan kejadian stroke sebanyak 21%17. Wannmethee et al. (1995) membuktikan bahwa berhenti merokok mengurangi risiko mendapat serangan stroke sebanyak 30% sampai 40%18. Konsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran dapat menurun risiko terjadinya stroke melalui mekanisme atioksidan19,20 atau melalui kenaikan kadar kalium21. Efek proteksi dari aktivitas fisik adalah untuk mencegah terjadinya stroke melalui pengendalian berbagai faktor risiko stroke, seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan kegemukan22,23,24.
Diagnosis Stroke
Diagnosis jenis patologi stroke dapat ditentukan dengan gold standar (baku emas) menggunakan pemeriksaan CT-can kepala. Jika CT-scan kepala tersedia di suatu daerah maka untuk menentukan jenis patologi stroke kita dapat menggunakan CT-scan karena memang alat ini sensitifnya tinggi untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral atau stroke infark. Tidak perlu kita menggunakan alat MRI (magnetic resonance imaging) yang lebih canggih karena keputusan memilih MRI berarti melakukan pemeriksaan tambahan yang berlebihan. Sesuai dengan evidence-based medicine maka kita cukup menggunakan alat yang sensitif untuk diagnostik tanpa tindakan pemborosan yang merugikan pasien.
Ketersediaan CT-scan yang terbatas memaksa kita untuk mencari tes diagnostik pengganti yang telah terbukti akurasinya mendekati akurasi pemeriksaan CT-scan kepala. Keputusan klinis ini juga harus diambil agar pasien stroke tidak dirugikan karena diagnosis jenis patologisnya tidak dapat ditegakkan dengan tepat dan pengobatan dini tidak dapat dilakukan. Pendekatan evidence-based medicine juga harus diterapkan di sini. Ada beberapa skor yang pernah diuji validasi eksternalnya oleh Weir et al. (1994)25, yaitu Guy's hospital score (GHS) dan modified Siriraj stroke score (SSSMod) untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral dan stroke infark. Kesimpulannya adalah validitas GHS dan SSSMod adalah rendah untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke iskemik atau infark.
Sedangkan Lamsudin (1997)26 telah membuat suatu algoritma Gadjah Mada yang dapat dipakai untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke infark. Sensitivitas algoritma tersebut adalah 95%. Keputusan untuk menggunakan tes diagnostik pengganti dengan algoritma ini adalah tepat karena sensitivitasnya 95%.
Prognosis Stroke
Prognosis penderita dipengaruhi berbagai faktor atau kondisi yang menyertai penderita. Contohnya adalah prognosis pada stroke perdarahan intraserebral. Beberapa peneliti melihat angka kematian selama follow up 30 hari; Deverat at al. (1991)27 31%; Douglas & Haerer (1992)28 40%; Helweg-Larsen et al. (1984)29 27%; Steiner et al. (1984)30 26%; Dixon et al. (1985)31 33%; Tuhrin et al. (1988)32 34%; Radberg et al. (1991)33 30%; Feldman (1991)34 47%; dan Portenoy et al. (1987)35 46%. Dari semua penelitian ini, variabel yang paling berpengaruh dalam prognosis jangka pendek antara lain perluasan darah ke ventrikel, tingkat kesadaran saat awitan, dan volume perdarahan. Pendekatan evidence-based medicine dalam memperkirakan prognosis pasien stroke berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, diharapkan dapat membantu dalam memutuskan suatu tindakan selanjutnya terhadap pasien serta dapat memberikan gambaran prognosis pasien kepada keluarganya.
Terapi
Pengambilan keputusan klinis terapi penderita stroke atau prevensi sekunder (mencegah serangan ulang) seharusnya dilakukan berdasarkan dari hasil randomized controlled trial (level evidence I). Contohnya adalah pemberian Pentoxifylline pada stroke iskemik akut. Hsu et al. (1988)36 telah melaporkan hasil uji klinik randomisasi multisenter di beberapa rumah sakit di Canada dan Amerika. Pemberian Pentoxifylline dan plasebo dilakukan 12 jam setelah serangan stroke iskemik akut. Pada hari pertama diberikan Pentoxifyllin 50 mg i.v., setelah satu menit dilanjutkan dengan infus intravenous kontinyu (16 mg/kg BB/hari selama 72 jam). Setelah itu, dilanjutkan dengan pemberian tablet Pentoxifylline 400 mg 3 kali sehari selama 25 hari. Kelompok pasien dengan Pentoxifylline menunjukkan perbaikan defisit neurologik yang bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok plasebo pada hari pertama dan hari kedua. Walaupun sampai hari ke-28 perbaikan kedua kelompok tidak berbeda bermakna, secara klinis terlihat perbaikan yang bermakna berbeda dibandingkan dengan kelompok plasebo (level evidence I).
Untuk mencari bukti-bukti penelitian klinis terapi stroke dari CD room, midline ataupun dari abstrak penelitian di website internet menggunakan key words: stroke - treatment atau cerebrovascular disorders - treatment - clinical trial.
Setyaningsih (1998)37 telah melakukan studi meta-analisis terhadap terapi tiklopidin untuk prevensi sekunder stroke iskemik. Dari sejumlah 7 penelitian terapi tiklopidin tersebut, disimpulkan bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin, maupun indofen dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik.
Suatu keputusan klinik dalam menentukan terapi yang berdasarkan studi meta-analisis dari suatu penelitian obat dengan randomized controlled trial adalah tepat dikerjakan. Hasil suatu studi metanalisis uji efikasi obat tersebut lebih kuat dipakai sebagai dasar terapi dibandingkan hanya dari sebuah penelitian randomized controlled trial.
Selama dua dekade terakhir telah dikerjakan berbagai penelitian terhadap obat-obatan neuroprotektan pada penderita stroke akut38,39,40,41,42,43,44,45,46. Sebagian hasilnya belum dapat mempengaruhi outcome klinis. Beberapa peneliti menganjurkan untuk dilakukan penelitian ulang terhadap obat-obat tersebut.
Beberapa penelitian dikerjakan mengevaluasi terapi citicoline pada stroke iskemik akut38,39,41,47. Takazi et al.(1988)38 menyimpulkan bahwa citicoline dapat memulihkan penurunan kesadaran pada penderita stroke iskemik akut. Bruhwyler et al. (1997)47 menunjukkan bahwa citicoline efektif dan ditoleransi dengan baik untuk pasien-pasien yang menderita stroke infark akut. Clark et al.(1997)39 menyimpulkan bahwa pada penderita stroke citicoline dapat memperbaiki outcome fungsional, menurunkan defisit neurologis, serta efek samping pengobatan yang minimal. Pada penelitian yang terbaru, Clark et al. (1999)41 gagal memperkuat hasil penelitian sebelumnya. Meskipun citicoline aman untuk terapi, ternyata citicoline tidak efektif untuk perbaikan outcome fungsional pada penderita stroke yang ringan. Citicoline hanya bermanfaat untuk kelompok pasien dengan stroke sedang sampai berat.
Sedangkan randomized control trial terhadap nimodipine pada stroke akut yang telah dilakukan Lamsudin (1997)48 menyimpulkan bahwa nimodipine dapat memperbaiki skor neurologis pada pasien stroke akut meskipun tidak dapat memperbaiki outcome fungsionalnya (diukur dengan Barthel index). Pencarian terhadap hasil-hasil clinical trial yang terbaru, terutama pada studi dengan sampel yang besar, multisenter, terlebih hasil metaanalisis sejumlah studi harus terus dilakukan. Usaha untuk mengetahui efikasi dan efek samping berbagai produk obat-obatan yang terbaru tepat dikerjakan sebelum kita menentukan apakah kita akan memutuskan obat tersebut.
Kesimpulan
Pendekatan evidence-based medicine sebagai paradigma baru sebagai dasar pengambilan keputusan klinis perlu dikembangkan sejak penentuan faktor-faktor risiko penyakit, penentuan diagnosis, prevensi primer, menilai prognosis, prevensi sekunder, maupun untuk penentuan terapi. Pendekatan ini diharapkan makin meningkatkan kualitas pelayanan, efisiensi, dan outcome klinis.
Akhirnya, pendekatan evidence-based medicine akan berhasil jika seorang dokter dapat mengintegrasikan kemampuan klinisnya dengan kemampuan pelacakan bukti eksternal yang terbaik dan tersedia dari riset yang sistematis. Beberapa syarat yang harus dipunyai individu dalam mempraktikkan evidence-based medicine adalah2: (1) Kemampuan untuk mendefiniskan kriteria effectiveness, safety, acceptability; (2) Kemampuan untuk menemukan artikel-artikel tentang effectiveness, safety, acceptability dari suatu tes diagnosis atau terapi; (3) Kemampuan untuk menilai kualitas dari bukti-bukti eksternal; (4) Kemampuan untuk menilai hasil-hasil penelitian yang dapat digeneralisasi dari suatu populasi; (5) Kemampuan untuk menilai bahwa hasil-hasil penelitian dapat dipakai pada populasi local.
Daftar Pustaka
Evidence-Based Medicine Working Group. Evidence-based medicine : a new approach to practice of medicine. JAMA 1992 ; 268: 2420 - 25.
Lamsudin, R. Praktek Evidence-Based Medicine (EBM) dalam manajemen stroke akut. Berkala Kedokteran Masyarakat 1998 ; 3 : 129 - 35.
Lamsudin, R. Well Controlled and Less Well Controlled Hypertension in Stroke Patients in Yogyakarta, Indonesia, Clin Epid & Biost 1996 1 : 4 - 6
Lubis, I. Konsentrasi Rendah High Density Lipoprotein-Cholesterol Sebagai Faktor Risiko Stroke Infark. Karya Akhir. Bagian IP FK-UGM, Yogyakarta, 1999.
Wolf PA, D'Agostino RB, Belanger AJ, & Kannel WB: Probability of stroke: a risk profile from Framingham Study. Stroke, 1991;22:312-318.
Kuller LH, Dorman JS, & Wolf PA. Cerebrovascular diseases and diabetes. In: National Diabetes Data Group Department of Health and Human Services, National Istitutes of Health, ed. Diabetes in America: Diabetes Data Compiled for 1984; Bethesda, Md, Conn: Appleton & Lange, 1996.
Wolf PA, Dawber TR, Thomas HEJ & Kannel WB. Epidemiologic assessment of chronic atrial fibrillation and risk factor of stroke: the Farmingham Study. Neurology 1978;28: 973 - 77.
Wolf PA, Abott RD, & Kannel WB. Atrial fibrilation as an independent risk factor for stroke: the Framingham Study. Stroke 1991;22:983- 88.
Shinton R & Beevers G. Meta-analysis of relation between cigarette smoking and stroke. BMJ 1989;298:789- 94.
Stamler J, Rose G, Stamler R, Elliot P, Dyer A, & Marmot M. Intersalt study findings: public health and medical care implications. Hypertension, 1989; 14 : 570 - 577.
Collins R, Peto R & MacMahon S. Blood pressure, stroke, and coronary heart disease, part 2: short-term reductions in blood pressure overviews of randomized drug trials in their epidemiological context. Lancet 1990; 335: 827 - 38.
Gorelick PB, Sacco RL, Smith DB et al. Prevention of a first stroke: a review of guidelines and a multidisciplinary consensus statement from the National Stroke Association. JAMA 1999; 281: 1112 - 20.
SHEP Cooperative Research Group. Prevention of stroke by antihypertensive drug treatment in older persons with isolated systolic hypertension: final results of the Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP). JAMA, 1991; 265 : 3255 - 64.
Messerli F, Grossman E, & Goldbourt U. Are beta-blockers efficacious as first-line therapy for hypertension in elderly ? A systematic review. JAMA, 1998;279:1903-1907.
Report of the Expert Committee on Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 1997;20: 837 - 53.
Antiplatelet Trialists' Collaboration. Collaborative overview of randomized trial of antiplatelet therapy, Prevention of death, myocardial infarction, and stroke by prolonged antiplatelet therapy in various categories patients. BMJ, 1994;308: 81 - 106.
The Atrial Fibrillation Investigators. The efficacy of aspirin in patients with atrial fibrillation: analysis of pooled data from 3 randomized trial. Arch Intern Med, 1997; 157:1237- 40.
Wannmethee SG, Sharper AG, Whincup PH, Walker M. Smoking cessation and risk of stroke in middle aged men. JAMA, 1995; 274:155 - 60.
Gillman MW, Cupples LA, Gagnon D. Protective effect of fruits and vegetables on development of stroke in men. JAMA, 1995 ; 273 : 1113- 17.
Gey KF, Stahelin HB, & Eichholzer M. Poor plasma status of carotene and vitamin C is associated with higher mortality from ischemic heart disease and stroke. Clin Invest 1993 ; 71:3-6.
Khaw KT, & Barrett-Connor E. Dietary potasium and stroke-associated mortality: a 12-year prospective population study. N Engl J Med 1987; 316: 235-240.
Manson JE, Rimm EB, & Stampfer MJ. Physical activity and incidence of non-insulin-dependent diabetes mellitus in women. Lancet 1991; 338: 774-778.
Kokkinos PF, Narayan P, & Colleran JA. Effects of regular exercise on blood pressure and left ventricular hypertophy in African-American men with severe hypertension. N Engl J Med 1995; 333 : 1462-1467.
Blair SN, Kampert JB, & Kohl HW. Influences of cardiorespiratory fitness and other precursors on cardiovascular disease and all-acute mortality in men and women. JAMA 1996; 276 : 205 - 210.
Weir CJ, Murray GD, Adams FG, Muir Kw, & Less KR. Poor accuracy of stroke scoring systems for differential clinical diagnosis of intracranial haemorrhage and infarction. Lancet 1994; 344 : 999- 1002.
Lamsudin R. Algoritma stroke gadjah Mada. Penyusunan dan validasi untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke iskemik akut atau stroke infark. (Disertasi) Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1997.
Deverat P, castel JP, Dartigues JF, & Orgogozo JM. Death and Functional Outcome After Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Stroke 1991; 22 : 1-6
Douglas MA, & Haerer AF. Long-term Prognosis of Hypertensive Intracerebral Haemorrhage. Stroke 1992 ; 13 : 488- 91.
Helweg-Larsen S, Somer W, Strange P, Lester J, & Boysen G. Prognosis for Patients Treated Conservatively for Spontaneous Intracerebral Haematom. Stroke 1984 ; 15: 1045 - 48.
Steiner I, Gomori MJ, & Melamed E. The prognostic Value of the CT scan in Conservatively Treated Patients with Intracerebral Hematoma. Stroke 1984; 15 : 279 - 84.
Dixon AA, Holmes RO, Howes WJ, & Garner JB. Spontaneus Intracerebral Hemorrhage. An analysis of factors affecting prognosis. Can J Neurol Sci 1985: 12 : 267 - 71.
Tuhrin S, Dambrosia JM, Price TR, Mohr JP, Wolf PA, Heyman A, & Kase CS. Prediction of Intracerebral Hemorrhage Survival. Ann Neurol 1988; 24 : 258 -63.
Radberg JA, Olsson JA, & Radberg CT. Prognostic Parameter Spontaneous Intracerebral Hematoma with Special Refernece to Anticoagulant Treatment. Stroke 1991; 22: 571- 76.
Feldman E. Intracerebral Hemorrhage. Stroke 1991; 22: 684 - 91.
Portenoy RK, Lipton RB, Berger Ar, Leser Ml, & Georgelantos. Intracerebral Hemorrhage : A model for The Prediction of Outcome. J. of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry 1987; 50 : 976- 79.
Hsu Cy, Norris JW, Hogan EL, Bladin P, & Dinsdale HB et al. Pentoxifyllin in Acute Nonhemorrhagic Stroke . A Randomized, placebo- controlled, double-blid trial. Stroke 1988; 19 : 716 - 22.
Setyaningsih. Peran Tiklopidin pada Pencegahan Serangan Ulang Stroke iskhemik. Karya Akhir. Bagian IP Saraf FK-UGM, Yogyakarta, 1998.
Tazaki, Y; Sakai, F; Otomo, E; Kutsuzawa, T; Kameyama, M; Omae, T; & Fujishima, T, 1988. Treatment of acute cerebral infarction with a choline precursor in multicenter double-blind placebo-controlled study. Stroke, 19: 211- 216.
Clark W, Warach S, pettigrew L, Gammans R, & Sabounjian L. A randomized dosed response trial of citicoline in acute ischemic stroke patients. Neurology1997; 28: 671- 678.
Albers GW, Clark WM, Atkinson RP, Madden K, Data JL, & Whitehouse MJ. Dose Escalation Study of th ENMDA Glycine-Site Antagonist licostinel in Acute Ischemic Stroke. Stroke 1999; 30 : 508 - 14. (Abstract)
Clark W, Williams B, Selzer K, Zweifler R, Sabounjian L, & Gammans RE, 1999. A Randomized Efficacy Patients With Trial of Citicoline in Acute Ischemic Stroke. Stroke, 30: 2592- 2597.
Dyker AG, Lees KR. Remacemide Hydrochloride. A Doubel- Blind Placebo- Controlled, Sfety and Tolerability Study in Patients with Acute Ischemic Stroke. Stroke 1999; 30 : 1796 - 1801. (Abstract)
Dyker AG, Edwards KR, Fayad PB, Hormes JT, Lees KR. Safety and Tolerability Study in Patients With Acute Ischemic Stroke. Stroke 1999 ; 30 :2038 - 42. (Abstract)
Whalgren NG, Ranasinha KW, rososlacci T, van Erven PMM, Ashwood T, Claesson L. Clomethiazole Acute Stroke Study. Result of Randomized, Controlled Trial of Clomethiazole Vrsus Placebo in 1360 Acute Stroke Patients. Stroke 1999; 30: 21- 28. (Abstract)
Haley, EC. Phase II Studies of the Glycine Antagonist CV 150526 in Acute Stroke. Stroke 2000 ;31: 358. (Abstract)
Wahlgren NG, Diez-Tejedor E, Teitelbaum J et al. Result 95 Hemorrhage Stroke Patients Included in CLASS, a Controlled trial of Clometiazole versus Placebo in Acute Stroke Patients. Stroke 2000; 31 :82. (Abstract)
Bruhwyler J, Vandorpe J, Geecy J. Multicentric open label study of the efficacy and tolerability of citicoline in the treatment of acute cerebral infarction. Curr Ther Res Clin Exp 1997; 58 : 309 - 316.
Lamsudin R, Misbach Y, Andradi, Cahyadi P, Hadinoto S, Fauziah, Sumaryanto. A Controlled Trial of Nimodipine in Acute Ischemic Stroke. A Multicenter Indonesian Neurological Association Study Group. Clinical Epid & Biost 1997; 2 : 3 - 7.
* Peserta PPDS I Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran -UGM
* Guru Besar Madya Fakultas Kedokteran UGM
sumber.http://www.tempo.co.id/medika/arsip/042001/top-1.htm
CEDERA KEPALA PEDIATRIK BERAT:
PERTIMBANGAN KHUSUS.
Syaiful Saanin.
Dalam banyak aspek, pengelolaan cedera kepala pada anak serupa dengan dewasa. Namun dalam beberapa hal sedikit berbeda atau sangat khusus. Anak-anak terutama yang berusia 2 tahun kebawah rentan terhadap komplikasi dan sekuele berat setelah cedera kepala berat. Banyak dari komplikasi tsb. berkaitan dengan cedera sekunder otak seperti edema, hiperemia, hipoksia. Akan dibahas pengelolaan pasien dengan cedera kepala berat dimana pasien tidak dapat ikut perintah, koma (GCS £ 8), dan tidak dapat membuka mata.
Mekanisme cedera.
Mekanisme cedera kepala berat serupa dengan dewasa, namun anak yang tertabrak kendaraan 3 kali lebih sering dari dewasa. Kecelakaan sepeda juga sering, namun akibat jatuh tidak sesering dewasa. Walau begitu, derajat kerusakan yang diakibatkan oleh jatuh tidak sama dengan dewasa.
Evaluasi.
Tindakan serupa dengan dewasa. Menjamin jalan nafas adekuat, mencegah hipoksia dan hiperkapnia, pemberian cairan intravena atau darah, tindakan agresif terhadap hipotensi, kontrol temperatur, penilaian dan tindakan terhadap cedera penyerta, serta transport segera ke RS dengan fasilitas bedah saraf semuanya wajib dilaksanakan. Oksigen segera diberikan baik melalui masker ataupun ETT. Pernafasan spontan harus memadai, atau gunakan respirator. Bila respirator diperlukan, mulai hiperventilasi untuk mempertahankan pCO2 25-30 mmHg. Pada bayi mudah melaksanakannya dengan memberikan inspirasi hingga dada mengembang penuh secara simetris serta memberikan 30-40 pernafasan per menit. Gas darah segera diperiksa. Nilai pO2 dikoreksi dengan oksigen. Asidosis menunjukkan hipoksia berat. Pemeriksaan darah dan urin dimulai segera agar kelainan bisa segera dikoreksi.
Anak kecil bisa kehilangan sejumlah besar darah baik keintrakranial, kulit kepala, atau kejaringan lunak sekitar fraktura. Terutama pada neonatal dan bayi muda, shok dapat terjadi tanpa tampak perdarahan luar. Karenanya persiapan cairan dan darah harus memadai. Pada usia ini fraktura tengkorak dapat secara drastis menurunkan hematokrit hingga terkadang diperlukan transfusi.
Protokol laboratori pada cedera kepala berat :
1. Darah lengkap beserta hitung jenis.
2. Amilase.
3. Creatinin.
4. Nitrogen urea darah.
5. Prothrombine time.
6. Partial thromboplastin time.
7. Platelet.
8. Jenis dan x-match 2 kantong darah lengkap.
9. Gas darah arterial.
Tanda-tanda awal shok ditindak dengan 20 ml/kg RL untuk mempertahankan sistol 80 mmHg, + 2 kali umur dalam tahun, misal 88 mmHg untuk usia 4 tahun. Bila hipotensi tetap, ulangi dosis yang sama. Shok berat atasi dengan 20 ml/kg darah lengkap. Dianjurkan setiap saat menyiapkan donor darah lengkap universal titer rendah, karena tidak ada waktu untuk melakukan x-match pada pasien shok.
Terapi cairan intravena :
1. Pemeliharaan cairan normal :
10 kg. Pertama : 100 ml/kg/hari.
10 kg. Kedua : 50 ml/kg/hari.
Selanjutnya : 20 ml/kg/hari.
2. Bila terjadi shok :
Start 2 jalur IV.
Pompakan 20 ml/kg RL.
Bila sistol tetap dibawah 70 :
Ulang bolus RL.
Bila sistol tetap dibawah 70 :
Transfusi 20 ml/kg PRC.
Semua pasien dengan cedera kepala otak penetrasi, fraktura tengkorak depres, semua jenis perdarahan intrakranial, atau GCS 5 atau kurang harus dipikirkan pemberian anti kejang. Pemberian dini sering mengurangi komplikasi serius. Tujuannya menghindari kerusakan otak sekunder karena kejang sangat meninggikan tekanan intrakranial dengan akibat kerusakan otak lebih lanjut. Fenitoin terpilih karena efek sedatifnya lebih rendah dari fenobarbital. Dosis pembebanan 15 mg/kg. dengan dosis pemeliharaan 5 mg/kg/hari. Status epileptik diberikan diazepam 0,1 – 0,25 mg/kg, selalu persiapkan intubasi dan respirator agar seketika bisa digunakan.
Setelah stabilisasi inisial tanda-tanda vital, segera tegakkan diagnosis. X-ray leher dilakukan di UGD, dan bila kondisi telah stabil dibuat sken CT yang merupakan tindakan terpilih. Alasannya adalah bahwa lessi massa harus segera didiagnosis dan ditindak. Lessi massa pada anak tidak sesering dewasa, namun bermakna, yaitu 25% kejadian.
Setelah patologi diketahui, segera dilakukan tindakan bedah bila diindikasikan. Sangat tidak diperkenankan menunggu sampai anak menunjukkan tanda-tanda dekompensasi dalam melakukan tindakan diagnostik dan terapi.
X-ray tengkorak kontroversial. Lazimnya diindikasikan bila :
1. Tanda-tanda cedera jaringan lunak.
2. Tanda-tanda cedera penetrasi.
3. Cedera kulit kepala terbuka.
4. Tanda-tanya atas penyebab datang ke RS.
5. Cedera kepala diduga cukup kuat menimbulkan fraktur.
CT bisa menunjukkan kelainan berikut :
A. Lessi massa :
1. Lessi massa ekstra aksial :
a. SDH.
b. EDH.
c. Tak pasti.
2. Hematoma Intraserebral.
3. Kontusi.
B. Bukan lessi massa :
1. Pneumosefalus.
2. Perdarahan Intraventrikuler.
3. Perdarahan Subarakhnoid.
4. Pergeseran ventrikuler tanpa adanya massa.
5. Fraktura depres.
6. Pembengkakan bilateral.
7. Lain-lain (sista porensefalik).
Selalu pikirkan kelainan penyerta yang juga memerlukan evaluasi segera.
1. Fraktura ekstremitas dan atau pelvik.
2. Trauma dada.
3. Trauma abdominal.
4. Fraktura fasial.
5. Cedera kord spinal.
6. Cedera kolumna spinal.
7. Lain-lain.
Semua lesi tsb. menyebabkan hipotensi, karenanya semua anak dengan shok harus dipikirkan adanya kelainan penyerta dan jangan pikirkan hipotensi diakibatkan cedera kepalanya. Konsekuensinya semua penyebab harus segera dicari dan ditindak. Seperti halnya pada dewasa, hipotensi dan hipoksia harus dicegah secara tepat dengan penggantian volume dan menindak cedera penyerta.
Beberapa tanda-tanda dan gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial serupa dengan dewasa, lainnya tidak. Ini membantu melihat bagaimana tiap kelompok mungkin tampil secara klinik dengan lessi massa atau peninggian tekanan intrakranial lainnya. Pada masing-masing kelompok dapat tampil dengan tanda-tanda tidak spesifik seperti letargi, muntah dan kelumpuhan saraf kranial. Namun pada bayi muda tanda-tanda ini mungkin tidak terlokalisir sebagaimana halnya anak yang lebih besar. Bayi muda umumnya mudah terangsang, dengan ubun-ubun penuh dan perubahan fungsi vital, sedang anak yang lebih besar tampil dengan tanda-tanda terlokalisir seperti hemiparesis dan kelumpuhan saraf ketiga. Dewasa bisa ikut perintah, namun bayi yang muda tidak mengerti apa yang diharap darinya. Dalam hal ini, pengamatan tingkah-laku dan reaksi terhadap lingkungan lebih penting dari pada dewasa.
Kriteria Rawat.
Jelas tidak semua cedera kepala pediatrik serius.Kebanyakan tidak. Karenanya diperlukan beberapa kriteria untuk memutuskan apakah anak harus dirawat. Evaluasi terhadap semua anak adalah sama :
1. Riwayat jelas sekitar kejadian serta reaksi anak atas cedera tsb.
2. Pemeriksaan neurologis singkat namun adekuat serta pemeriksaan fisik umum.
3. Lakukan pemeriksaan radiografi dan laboratorium,
kemudian tentukan apakah anak akan dirawat dan apa tindakan yang akan diambil. Dengan kriteria rawat dibawah ini, luputnya cedera kepala berat akan terhindarkan :
1. Semua defisit neurologis.
2. Kejang.
3. Muntah.
4. Nyeri kepala berat.
5. Demam.
6. Fraktura tengkorak.
7. Pingsan lama.
8. Perubahan status mental.
9. Cedera yang tidak bisa dijelaskan (child abuse).
Tindakan.
Agak berbeda dengan dewasa. Lessi massa harus segera dibuang, dan kebanyakan pasien dipasang monitor tekanan intrakranial. Tanda-tanda vital dan tekanan intrakranial dipertahankan normal. 12% pasien dengan peninggian tekanan intrakranial tidak dapat diatasi dengan cara apapun, yaitu hiperventilasi, drainase ventrikuler, diuretik osmotik dan barbiturat. Sisanya bereaksi dengan baik. Peninggian tekanan intrakranial terjadi pada pasien baik kelompok bedah maupun non bedah. Karenanya semua pasien koma harus dipasang monitor tekanan intrakranial. Kekecualian adalah pasien dengan CT normal serta tanpa posturing.
Diuretik osmotik mempunyai peran terbatas di UGD khususnya pada anak-anak karena (1) menyebabkan hiperemia pada daerah otak yang cedera hingga meninggikan tekanan intrakranial, (2) memalsukan gambaran klinik karena disaat hematom kecil, gejala belum jelas, otak mengkerut hingga perluasan perdarahan tidak menimbulkan gejala hingga secara tiba-tiba memburuk dan bisa mematikan karena hematoma yang sudah besar dan (3) menyebabkan shok pada anak dengan volume yang sudah berkurang karena perdarahan.
Hal penting lainnya adalah meninggikan kepala kecuali pada kelainan jantung, posisikan leher pada garis tengah supaya tidak mengganggua aliran vena juguler dengan akibat peninggian tekanan intrakranial, atasi nyeri karena tegangan otot bisa berakibat peninggian tekanan intrakranial hingga terkadang diperlukan paralisis, serta mencari dan mengatasi cedera penyerta secara bersamaan.
Perawatan Di ICU.
Anak-anak dengan cedera kepala berat sering mati sebelum tiba di RS atai beberapa jam setelah kejadian. Namun bila ia bertahan dari cedera primer otaknya sebagian besar akan selamat kecuali bila ada komplikasi sekunder. Perawatan harus meminimalkan cedera otak sekunder dan memberikan lingkungan yang baik untuk pemulihan. Terapi diarahkan untuk mempertahankan aliran darah otak normal, metabolisme otak normal, dan tekanan intrakranial normal.
Aliran darah otak dipertahankan dengan cara mempertahankan tekanan perfusi otak > 50 mmHg bila monitor TIK tersedia. Jenis cedera pada anak-anak yang khas adalah edema malignan atau sindroma hiperemia otak yang biasa datang dengan GCS rendah. Ini akibat peninggian tekanan intrakranial karena peninggian aliran darah otak. Ini bisa dikoreksi dengan baik dengan respirator dan pengontrolan tekanan intrakranial.
Metabolisme otak dipertahankan normal dengan mempertahankan glukosa dalam batas normal dan pO2 100 mmHg atau sedikit lebih tinggi.
Indikasi pemasangan monitor TIK adalah bila GCS 5 atau kurang (kecuali MBO), GCS 6-7 dengan kelainan pada CT. Pada kenyataannya pasien dengan CT normal biasanya tekanan intrakranialnya normal, namun bila GCS 3-4 walau CT normal tetap dipasang monitor TIK, karena kerusakan otak berat akan menyebabkan edema otak.
Pasien selalu dipasang jalur arterial agar memudahkan pemeriksaan gas darah. Bila tekanan intrakranial normal, pCO2 dipertahankan 25-30. Bila kemudian TIK meninggi diturunkan menjadi 21-25 mmHg. Bila TIK normal, pCO2 21-25 akan menghilangkan peluang tindakan pada saat TIK meninggi.
Paralisis otot terkadang bermakna menurunkan TIK karena penurunan aliran darah otak pada pasien yang tekanan intrakranial sudah disebelah kanan kurva. Kejang ditindak seperti telah dijeskan dimuka.
Diuretik osmotik untuk pasien yang sudah dirawat di ICU juga efektif menurunkan TIK. Dosis bervariasi, namun biasanya 0.25-0,5 g/kg dan dapat diulang tiap 4-6 jam, dibantu lasix 1 mg/kg. Pemberian mannitol berulang harus dengan pengawasan osmolaritas yang diperiksa setiap 4 jam antara 300-320 mOsm. Harus diingat mudahnya terjadi dehidrasi hingga harus dipertahankan normovolemia. Walau restriksi cairan penting dalam pengelolaan tekanan intrakranial, harus dilakukan dengan pengawasan ketat. PRC atau plasma bisa digunakan mempertahankan volume darah fisiologis.
Monitor CVP harus dipasang untuk membantu pengelolaan cairan. Pada kebanyakan neonatus dan bayi, CVP secara tepat menunjukkan fungsi cairan dan fungsi jantung kiri.
Barbirturat efektif mengurangi TIK karena menyebabkan vasokonstriksi dan ia juga mengurangi metabolisme otak hingga mengurangi aliran darah otak . Pentobarbital digunakan bila pasien tidak bereaksi terhadap tindakan lain, yaitu bila prognosis buruk dengan melakukan koma barbiturat, diberikan 3-5 mg/kg untuk pembebanan diikuti 0,5-3,0 mg/kg/jam, dengan mempertahankan kadar darah 35-50 mg/ml. 15% pasien tidak bereaksi dengan tindakan ini yang berarti hasil akhir yang buruk.
Banyak pasien mengalami syndrome of inappropriate ADH pada awal perjalanan klinisnya, dengan ditandai kejang dan rendahnya kadar sodium. Pasien parus diawasi ketat. Karenanya elektrolit diperiksa setiap hari pada 24 jam pertama. Penurunan output urin dan rendahnya kadar pO2 juga pertanda lain terjadinya SIADH. Cairan IV harus mempertahankan kadar sodium normal.
Komplikasi.
Kompilikasi utama sesuai frekuensinya :
1. Pneumonia.
2. Meningitis ventrikulitis.
3. Infeksi saluran kemih.
4. Perdarahan gastrointestinal.
5. Sepsis gram negatif.
6. Kebocoran CSS.
Tampak komplikasi paru-paru paling utama. Ini umum terjadi pada anak dengan cedera kepala berat dengan koma lama. Fisioterapi dada agresif harus segera dimulai, seperti juga jalan nafas. Bila koma untuk waktu yang lama, lakukan trakheostomi. Semua anak dengan demam disertai kemungkinan infeksi SSP harus ditindak seperti pada infeksi SSP. Buktikan dengan kultur CSS. 8% infeksi adalah akibat kateter ventrikuler, dan 10% adalah karena fraktura basis tengkorak, kebocoran CSS, dan infeksi luka operasi.
Dari sejumlah komplikasi tsb. tampak bahwa perawatan cedera kepala berat adalah kompleks dan banyak tuntutan. Penting bahwa semua kelainan yang menyertai harus didiagnosis segera dan ditindak secara agresif.
Hasil Akhir.
Hasil akhir pada anak-anak lebih baik dari dewasa dengan cedera kepala serupa. Alasannya mungkin lebih sedikit lessi massa yang perlu tindakan bedah pada anak-anak. Hal lain mungkin SSP anak-anak untuk tingkat tertentu pemulihan fungsinya terjadi lebih baik. Mungkin juga anak-anak kurang mengalami komplikasi medis berat saat koma. Bila anak mati, hampir pasti disebabkan cedera otak dibanding sekunder akibat komplikasi medis.
MASALAH SPESIFIK PADA CEDERA KEPALA ANAK-ANAK.
Child abuse.
Orang dewaa bisa mencederai anak dalam berbagai tingkat kegawatan, salah satunya berakibat cedera kepala sebagai cedera utama. Karena wajib mengidentifikasi anak yang disiksa sejelas mungkin, perlu waspada akan terjadinya dan bagaimana terjadinya penyiksaan. Hal ini akan memberi kewaspadaan akan terjadinya child abuse :
1. Penyebab cedera tidak dapat diterangkan.
2. Keterlambatan yang jelas dalam mencari pertolongan.
3. Cedera yang jelas berbagai bagian anggota tubuh bersamaan dengan cedera kepala sedang atau ringan.
4. Radiograf menunjukkan berbagai usia cedera.
5. Anak dilaporkan sebagai tiba-tiba menjadi lemah atau pincang.
Anak biasanya tidak mengalami cedera kepala bila jatuh dari ketinggian rendah. Bila riwayat anak jatuh dari sofa, harus curiga bila anak dalam koma. Orang-tua biasanya tidak terlambat mencari pertolongan, berlawanan dengan yang menyiksa anaknya yang datang terlambat dengan berbagai alasan. Anak tidak biasanya setelah mengalami cedera kemudian tiba-tiba menjadi lemah kecuali ia mendapat serangan kejang. Mereka umumnya memberat, hingga berbagai tingkat ancaman herniasi dan koma. Karenanya bila salah satu dari yang tertera diatas dijumpai, segera singkirkan kemungkinan child abuse sebagai penyebab cedera kepala.
Fraktura Tengkorak.
Seperti pada dewasa, fraktura tengkorak linier menunjukkan terjadinya benturan berat. Walau fraktura semata tidak memerlukan tindakan, pasien harus dirawat untuk pengamatan. Sudah dibuktikan kerusakan intrakranial berat terjadi pada 9-11% kasus baik dengan atau tanpa fraktura. Fraktura basiler terjadi pada 3-4% anak dengan cedera kepala. Biasanya tampil dengan perdarahan dibelakang membran timpani atau kombinasi dengan hematoma dibelakang telinga (tanda Battle), ekkhimosis periorbital, atau kebocoran CSS sebagai otorea atau rinorea. Saraf otak ketujuh atau kedelapan mungkin kena. Pasien harus dirawat dan diawasi akan terjadinya meningitis bakterial. Bila terjadi kebocoran CSS, dianjurkan pemberian antibiotika, biasanya penisilin atau turunannya.
Fraktura depres ditindak seperti dewasa, kecuali bila terjadi pada bayi baru lahir dengan fraktura kecil didaerah yang aman yaitu temporal.
Sista leptomening jarang, namun penting, sebagai komplikasi fraktura tengkorak. Biasa pada anak dibawah 3 tahun dan berhubungan dengan fraktura diastatik yang panjang. Tandanya adalah terabanya pembengkakan yang tidak nyeri yang makin lama makin besar. Terjadinya adalah karena robekan dura dan arakhnoid diikuti pembesaran fraktura dan erosi tulang akibat pulsasi otak. Perbaikan secara bedah.
Cedera Lahir.
Lesi bedah-saraf tersering pada neonatus adalah fraktura tengkorak. Fraktura linier tidak begitu penting. Fraktura depres ditindak seperti diatas bila besar dan menekan otak, atau bila terjadi didaerah yang secara neurologis penting. Darah bisa terkumpul dibawah galea sebagai hematoma subgaleal atau dibawah periosteum sebagai hematoma periosteal akibat trauma saat dilahirkan. Bila besar dapat berakibat anemia atau hiperbilirubinemia pada neonatus yang kecil. Pasien ini biasanya hanya diobservasi. Jarang diindikasikan tindakan bedah seperti aspirasi atau drainasi.
Cedera Kepala Tertutup.
Mungkin cedera kepala tersering pada usia anak-anak adalah cedera kepala tertutup relatif ringan. Kadang-kadang dikelompokkan kedalam konkusi, yaitu kehilangan sementara kesadaran diikuti pemulihan neurologis sempurna kecuali mungkin amnesia.
Istimewa pada anak adalah beratnya reaksi sistemik terhadap cedera kepala dibanding dewasa. Bayi dan balita sering menampakkan pucat, muntah, atau mengantuk berat bahkan akibat cedera kepala sangat ringan. Kesulitan merawat pasien ini adalah kita tidak tahu pertambahan beratnya trauma SSP atau apakah kelainan terus berlanjut.
Seperti dijelaskan sebelumnya, anak harus dievaluasi secara penuh. Foto tengkorak dilakukan untuk mengetahui adanya fraktura, dan bila gejala cukup bermakna, anak dirawat, periksa sken CT, dan observasi selama 24 jam.
Bila anak tidak dirawat, orang-tua harus mendapat instruksi tanda-tanda perburukan neurologis.Cedera kepala tertutup berat, lebih sangat serius.Tindakan sama dengan dewasa. Keistimewaan anak dengan cedera kepala tertutup berat, sken CT mungkin memperlihatkan pembengkakan otak difus. Majoritas pasien ini mengalami hiperemia dan vasodilatasi pada serebrovaskulatur yang akan meninggikan tekanan intrakranial. Ini terjadi antara hari 1-5 setelah cedera.
Hematoma Ekstradural.
Terjadi sedikit lebih sering pada anak-anak dibanding dewasa. Tampilan klinis seperti dewasa. Diagnosis berdasar CT bila ada cukup waktu ; bila perburukan sangat cepat pasien langsung dioperasi. Pasien dengan lessi massa diberikan mannitol, hiperventilasi dengan intubasi dan segera dioperasi.
Hematoma Subdural.
Pada balita dan remaja, tampilan serupa dengan dewasa. Namun pada bayi sangat muda, tampilan secara umum lebih difus. Tampak pucat dengan fontanel penuh dan mungkin disertai defisit neurologis. Diagnosis dengan CT dan tidak dengan tap diagnostik. Hematoma subdural kronik pada anak lebih sering dibanding yang akut. Cedera merupakan etiologi penting namun sulit menentukan waktu yang tepat serta jenis cederanya. Tanda-tanda dan gejala-gejala khas tidak terlokalisir dan sub akut,yaitu muntah, mudah terangsang, gagal tumbuh, kejang, dan pembesaran kepala pada anak yang suturanya belum menutup. Fontanel pada bayi juga menonjol.
CT adalah tindakan diagnostik terpilih. Setelah diagnosis ditegakkan, segera alirkan dengan pintas subdural-peritoneal untuk mengurangi tekanan intrakranial serta mengatasi masalahnya. Bila proteinnya tinggi, dapat tanpa menggunakan katup.
Indikasi operasi darurat.
1. Interval lucid (bila CT tidak tersedia segera).
2. Herniasi unkal (pupil/motor tidak ekual).
3. Fraktura depres terbuka.
4. Fraktura depres tertutup lebih dari 1 tabula.
5. Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5mm atau lebih.
6. Massa ekstra aksial 5 mm atau lebih, uni/bi lateral.
7. #5/#6 kurang dari 5 mm tapi mengalami perburukan atau sisterna basal terkompres.
8. Massa lobus temporal 30 ml Atau lebih.
Indikasi tidak berlaku bila MBO.
Hasil Akhir.
Umumnya lebih baik dari dewasa bila berat traumanya ekual, mekanisme cedera sama, dan tindakan yang sama. Adanya serta jenis lessi massa berpengaruh pada hasil akhir. Lessi massa lenbih jarang dibanding pada dewasa. Kematian juga lebih kecil pada anak-anak. Paling jelas adalah pada anak dengan flaksid serta pupil berdilatasi dan tanpa reaksi terhadap cahaya, mortalitas hanya 33%.
Pendekatan tindakan pada semua anak dengan cedera kepala berat harus segera ditindak dengan usaha maksimal. Bahkan anak dengan cedera yang membinasakan secara mengejutkan dapat pulih dengan baik.
Membicarakan anak-anak dengan cedera kepala, lakukan :
1. Perawatan bedah-saraf intensif.
2. Sebagian seperti merawat orang dewasa yang kecil, namun kebanyakan adalah unik hingga pengenalan masalah yang khusus tsb. harus diutamakan.
3. Anak-anak sering secara mengejutkan membaik bahkan dengan cedera kepala sangat berat, karenanya diindikasikan usaha maksimal dalam arti diagnosis segera, tindakan agresif, serta rehabilitasi maksimal.
4. Pencegahan anak kecil untuk tidak jatuh, ikat pinggang pengaman sesuai usia, mengawasan ketat pada anak (tidak bermain dijalan) akan memastikan menurunnya kesakitan dan kematian pada anak.
Catatan :
Respon Verbal Terbaik pada GCS anak.
5 = kata-kata bermakna, senyum, ikut objek.
4 = Menangis tapi bisa diredakan.
3 = Teriritasi secara menetap.
2 = Gelisah, teragitasi.
1 = Diam saja.
sumber.http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/ckanak.htm
PERTIMBANGAN KHUSUS.
Syaiful Saanin.
Dalam banyak aspek, pengelolaan cedera kepala pada anak serupa dengan dewasa. Namun dalam beberapa hal sedikit berbeda atau sangat khusus. Anak-anak terutama yang berusia 2 tahun kebawah rentan terhadap komplikasi dan sekuele berat setelah cedera kepala berat. Banyak dari komplikasi tsb. berkaitan dengan cedera sekunder otak seperti edema, hiperemia, hipoksia. Akan dibahas pengelolaan pasien dengan cedera kepala berat dimana pasien tidak dapat ikut perintah, koma (GCS £ 8), dan tidak dapat membuka mata.
Mekanisme cedera.
Mekanisme cedera kepala berat serupa dengan dewasa, namun anak yang tertabrak kendaraan 3 kali lebih sering dari dewasa. Kecelakaan sepeda juga sering, namun akibat jatuh tidak sesering dewasa. Walau begitu, derajat kerusakan yang diakibatkan oleh jatuh tidak sama dengan dewasa.
Evaluasi.
Tindakan serupa dengan dewasa. Menjamin jalan nafas adekuat, mencegah hipoksia dan hiperkapnia, pemberian cairan intravena atau darah, tindakan agresif terhadap hipotensi, kontrol temperatur, penilaian dan tindakan terhadap cedera penyerta, serta transport segera ke RS dengan fasilitas bedah saraf semuanya wajib dilaksanakan. Oksigen segera diberikan baik melalui masker ataupun ETT. Pernafasan spontan harus memadai, atau gunakan respirator. Bila respirator diperlukan, mulai hiperventilasi untuk mempertahankan pCO2 25-30 mmHg. Pada bayi mudah melaksanakannya dengan memberikan inspirasi hingga dada mengembang penuh secara simetris serta memberikan 30-40 pernafasan per menit. Gas darah segera diperiksa. Nilai pO2 dikoreksi dengan oksigen. Asidosis menunjukkan hipoksia berat. Pemeriksaan darah dan urin dimulai segera agar kelainan bisa segera dikoreksi.
Anak kecil bisa kehilangan sejumlah besar darah baik keintrakranial, kulit kepala, atau kejaringan lunak sekitar fraktura. Terutama pada neonatal dan bayi muda, shok dapat terjadi tanpa tampak perdarahan luar. Karenanya persiapan cairan dan darah harus memadai. Pada usia ini fraktura tengkorak dapat secara drastis menurunkan hematokrit hingga terkadang diperlukan transfusi.
Protokol laboratori pada cedera kepala berat :
1. Darah lengkap beserta hitung jenis.
2. Amilase.
3. Creatinin.
4. Nitrogen urea darah.
5. Prothrombine time.
6. Partial thromboplastin time.
7. Platelet.
8. Jenis dan x-match 2 kantong darah lengkap.
9. Gas darah arterial.
Tanda-tanda awal shok ditindak dengan 20 ml/kg RL untuk mempertahankan sistol 80 mmHg, + 2 kali umur dalam tahun, misal 88 mmHg untuk usia 4 tahun. Bila hipotensi tetap, ulangi dosis yang sama. Shok berat atasi dengan 20 ml/kg darah lengkap. Dianjurkan setiap saat menyiapkan donor darah lengkap universal titer rendah, karena tidak ada waktu untuk melakukan x-match pada pasien shok.
Terapi cairan intravena :
1. Pemeliharaan cairan normal :
10 kg. Pertama : 100 ml/kg/hari.
10 kg. Kedua : 50 ml/kg/hari.
Selanjutnya : 20 ml/kg/hari.
2. Bila terjadi shok :
Start 2 jalur IV.
Pompakan 20 ml/kg RL.
Bila sistol tetap dibawah 70 :
Ulang bolus RL.
Bila sistol tetap dibawah 70 :
Transfusi 20 ml/kg PRC.
Semua pasien dengan cedera kepala otak penetrasi, fraktura tengkorak depres, semua jenis perdarahan intrakranial, atau GCS 5 atau kurang harus dipikirkan pemberian anti kejang. Pemberian dini sering mengurangi komplikasi serius. Tujuannya menghindari kerusakan otak sekunder karena kejang sangat meninggikan tekanan intrakranial dengan akibat kerusakan otak lebih lanjut. Fenitoin terpilih karena efek sedatifnya lebih rendah dari fenobarbital. Dosis pembebanan 15 mg/kg. dengan dosis pemeliharaan 5 mg/kg/hari. Status epileptik diberikan diazepam 0,1 – 0,25 mg/kg, selalu persiapkan intubasi dan respirator agar seketika bisa digunakan.
Setelah stabilisasi inisial tanda-tanda vital, segera tegakkan diagnosis. X-ray leher dilakukan di UGD, dan bila kondisi telah stabil dibuat sken CT yang merupakan tindakan terpilih. Alasannya adalah bahwa lessi massa harus segera didiagnosis dan ditindak. Lessi massa pada anak tidak sesering dewasa, namun bermakna, yaitu 25% kejadian.
Setelah patologi diketahui, segera dilakukan tindakan bedah bila diindikasikan. Sangat tidak diperkenankan menunggu sampai anak menunjukkan tanda-tanda dekompensasi dalam melakukan tindakan diagnostik dan terapi.
X-ray tengkorak kontroversial. Lazimnya diindikasikan bila :
1. Tanda-tanda cedera jaringan lunak.
2. Tanda-tanda cedera penetrasi.
3. Cedera kulit kepala terbuka.
4. Tanda-tanya atas penyebab datang ke RS.
5. Cedera kepala diduga cukup kuat menimbulkan fraktur.
CT bisa menunjukkan kelainan berikut :
A. Lessi massa :
1. Lessi massa ekstra aksial :
a. SDH.
b. EDH.
c. Tak pasti.
2. Hematoma Intraserebral.
3. Kontusi.
B. Bukan lessi massa :
1. Pneumosefalus.
2. Perdarahan Intraventrikuler.
3. Perdarahan Subarakhnoid.
4. Pergeseran ventrikuler tanpa adanya massa.
5. Fraktura depres.
6. Pembengkakan bilateral.
7. Lain-lain (sista porensefalik).
Selalu pikirkan kelainan penyerta yang juga memerlukan evaluasi segera.
1. Fraktura ekstremitas dan atau pelvik.
2. Trauma dada.
3. Trauma abdominal.
4. Fraktura fasial.
5. Cedera kord spinal.
6. Cedera kolumna spinal.
7. Lain-lain.
Semua lesi tsb. menyebabkan hipotensi, karenanya semua anak dengan shok harus dipikirkan adanya kelainan penyerta dan jangan pikirkan hipotensi diakibatkan cedera kepalanya. Konsekuensinya semua penyebab harus segera dicari dan ditindak. Seperti halnya pada dewasa, hipotensi dan hipoksia harus dicegah secara tepat dengan penggantian volume dan menindak cedera penyerta.
Beberapa tanda-tanda dan gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial serupa dengan dewasa, lainnya tidak. Ini membantu melihat bagaimana tiap kelompok mungkin tampil secara klinik dengan lessi massa atau peninggian tekanan intrakranial lainnya. Pada masing-masing kelompok dapat tampil dengan tanda-tanda tidak spesifik seperti letargi, muntah dan kelumpuhan saraf kranial. Namun pada bayi muda tanda-tanda ini mungkin tidak terlokalisir sebagaimana halnya anak yang lebih besar. Bayi muda umumnya mudah terangsang, dengan ubun-ubun penuh dan perubahan fungsi vital, sedang anak yang lebih besar tampil dengan tanda-tanda terlokalisir seperti hemiparesis dan kelumpuhan saraf ketiga. Dewasa bisa ikut perintah, namun bayi yang muda tidak mengerti apa yang diharap darinya. Dalam hal ini, pengamatan tingkah-laku dan reaksi terhadap lingkungan lebih penting dari pada dewasa.
Kriteria Rawat.
Jelas tidak semua cedera kepala pediatrik serius.Kebanyakan tidak. Karenanya diperlukan beberapa kriteria untuk memutuskan apakah anak harus dirawat. Evaluasi terhadap semua anak adalah sama :
1. Riwayat jelas sekitar kejadian serta reaksi anak atas cedera tsb.
2. Pemeriksaan neurologis singkat namun adekuat serta pemeriksaan fisik umum.
3. Lakukan pemeriksaan radiografi dan laboratorium,
kemudian tentukan apakah anak akan dirawat dan apa tindakan yang akan diambil. Dengan kriteria rawat dibawah ini, luputnya cedera kepala berat akan terhindarkan :
1. Semua defisit neurologis.
2. Kejang.
3. Muntah.
4. Nyeri kepala berat.
5. Demam.
6. Fraktura tengkorak.
7. Pingsan lama.
8. Perubahan status mental.
9. Cedera yang tidak bisa dijelaskan (child abuse).
Tindakan.
Agak berbeda dengan dewasa. Lessi massa harus segera dibuang, dan kebanyakan pasien dipasang monitor tekanan intrakranial. Tanda-tanda vital dan tekanan intrakranial dipertahankan normal. 12% pasien dengan peninggian tekanan intrakranial tidak dapat diatasi dengan cara apapun, yaitu hiperventilasi, drainase ventrikuler, diuretik osmotik dan barbiturat. Sisanya bereaksi dengan baik. Peninggian tekanan intrakranial terjadi pada pasien baik kelompok bedah maupun non bedah. Karenanya semua pasien koma harus dipasang monitor tekanan intrakranial. Kekecualian adalah pasien dengan CT normal serta tanpa posturing.
Diuretik osmotik mempunyai peran terbatas di UGD khususnya pada anak-anak karena (1) menyebabkan hiperemia pada daerah otak yang cedera hingga meninggikan tekanan intrakranial, (2) memalsukan gambaran klinik karena disaat hematom kecil, gejala belum jelas, otak mengkerut hingga perluasan perdarahan tidak menimbulkan gejala hingga secara tiba-tiba memburuk dan bisa mematikan karena hematoma yang sudah besar dan (3) menyebabkan shok pada anak dengan volume yang sudah berkurang karena perdarahan.
Hal penting lainnya adalah meninggikan kepala kecuali pada kelainan jantung, posisikan leher pada garis tengah supaya tidak mengganggua aliran vena juguler dengan akibat peninggian tekanan intrakranial, atasi nyeri karena tegangan otot bisa berakibat peninggian tekanan intrakranial hingga terkadang diperlukan paralisis, serta mencari dan mengatasi cedera penyerta secara bersamaan.
Perawatan Di ICU.
Anak-anak dengan cedera kepala berat sering mati sebelum tiba di RS atai beberapa jam setelah kejadian. Namun bila ia bertahan dari cedera primer otaknya sebagian besar akan selamat kecuali bila ada komplikasi sekunder. Perawatan harus meminimalkan cedera otak sekunder dan memberikan lingkungan yang baik untuk pemulihan. Terapi diarahkan untuk mempertahankan aliran darah otak normal, metabolisme otak normal, dan tekanan intrakranial normal.
Aliran darah otak dipertahankan dengan cara mempertahankan tekanan perfusi otak > 50 mmHg bila monitor TIK tersedia. Jenis cedera pada anak-anak yang khas adalah edema malignan atau sindroma hiperemia otak yang biasa datang dengan GCS rendah. Ini akibat peninggian tekanan intrakranial karena peninggian aliran darah otak. Ini bisa dikoreksi dengan baik dengan respirator dan pengontrolan tekanan intrakranial.
Metabolisme otak dipertahankan normal dengan mempertahankan glukosa dalam batas normal dan pO2 100 mmHg atau sedikit lebih tinggi.
Indikasi pemasangan monitor TIK adalah bila GCS 5 atau kurang (kecuali MBO), GCS 6-7 dengan kelainan pada CT. Pada kenyataannya pasien dengan CT normal biasanya tekanan intrakranialnya normal, namun bila GCS 3-4 walau CT normal tetap dipasang monitor TIK, karena kerusakan otak berat akan menyebabkan edema otak.
Pasien selalu dipasang jalur arterial agar memudahkan pemeriksaan gas darah. Bila tekanan intrakranial normal, pCO2 dipertahankan 25-30. Bila kemudian TIK meninggi diturunkan menjadi 21-25 mmHg. Bila TIK normal, pCO2 21-25 akan menghilangkan peluang tindakan pada saat TIK meninggi.
Paralisis otot terkadang bermakna menurunkan TIK karena penurunan aliran darah otak pada pasien yang tekanan intrakranial sudah disebelah kanan kurva. Kejang ditindak seperti telah dijeskan dimuka.
Diuretik osmotik untuk pasien yang sudah dirawat di ICU juga efektif menurunkan TIK. Dosis bervariasi, namun biasanya 0.25-0,5 g/kg dan dapat diulang tiap 4-6 jam, dibantu lasix 1 mg/kg. Pemberian mannitol berulang harus dengan pengawasan osmolaritas yang diperiksa setiap 4 jam antara 300-320 mOsm. Harus diingat mudahnya terjadi dehidrasi hingga harus dipertahankan normovolemia. Walau restriksi cairan penting dalam pengelolaan tekanan intrakranial, harus dilakukan dengan pengawasan ketat. PRC atau plasma bisa digunakan mempertahankan volume darah fisiologis.
Monitor CVP harus dipasang untuk membantu pengelolaan cairan. Pada kebanyakan neonatus dan bayi, CVP secara tepat menunjukkan fungsi cairan dan fungsi jantung kiri.
Barbirturat efektif mengurangi TIK karena menyebabkan vasokonstriksi dan ia juga mengurangi metabolisme otak hingga mengurangi aliran darah otak . Pentobarbital digunakan bila pasien tidak bereaksi terhadap tindakan lain, yaitu bila prognosis buruk dengan melakukan koma barbiturat, diberikan 3-5 mg/kg untuk pembebanan diikuti 0,5-3,0 mg/kg/jam, dengan mempertahankan kadar darah 35-50 mg/ml. 15% pasien tidak bereaksi dengan tindakan ini yang berarti hasil akhir yang buruk.
Banyak pasien mengalami syndrome of inappropriate ADH pada awal perjalanan klinisnya, dengan ditandai kejang dan rendahnya kadar sodium. Pasien parus diawasi ketat. Karenanya elektrolit diperiksa setiap hari pada 24 jam pertama. Penurunan output urin dan rendahnya kadar pO2 juga pertanda lain terjadinya SIADH. Cairan IV harus mempertahankan kadar sodium normal.
Komplikasi.
Kompilikasi utama sesuai frekuensinya :
1. Pneumonia.
2. Meningitis ventrikulitis.
3. Infeksi saluran kemih.
4. Perdarahan gastrointestinal.
5. Sepsis gram negatif.
6. Kebocoran CSS.
Tampak komplikasi paru-paru paling utama. Ini umum terjadi pada anak dengan cedera kepala berat dengan koma lama. Fisioterapi dada agresif harus segera dimulai, seperti juga jalan nafas. Bila koma untuk waktu yang lama, lakukan trakheostomi. Semua anak dengan demam disertai kemungkinan infeksi SSP harus ditindak seperti pada infeksi SSP. Buktikan dengan kultur CSS. 8% infeksi adalah akibat kateter ventrikuler, dan 10% adalah karena fraktura basis tengkorak, kebocoran CSS, dan infeksi luka operasi.
Dari sejumlah komplikasi tsb. tampak bahwa perawatan cedera kepala berat adalah kompleks dan banyak tuntutan. Penting bahwa semua kelainan yang menyertai harus didiagnosis segera dan ditindak secara agresif.
Hasil Akhir.
Hasil akhir pada anak-anak lebih baik dari dewasa dengan cedera kepala serupa. Alasannya mungkin lebih sedikit lessi massa yang perlu tindakan bedah pada anak-anak. Hal lain mungkin SSP anak-anak untuk tingkat tertentu pemulihan fungsinya terjadi lebih baik. Mungkin juga anak-anak kurang mengalami komplikasi medis berat saat koma. Bila anak mati, hampir pasti disebabkan cedera otak dibanding sekunder akibat komplikasi medis.
MASALAH SPESIFIK PADA CEDERA KEPALA ANAK-ANAK.
Child abuse.
Orang dewaa bisa mencederai anak dalam berbagai tingkat kegawatan, salah satunya berakibat cedera kepala sebagai cedera utama. Karena wajib mengidentifikasi anak yang disiksa sejelas mungkin, perlu waspada akan terjadinya dan bagaimana terjadinya penyiksaan. Hal ini akan memberi kewaspadaan akan terjadinya child abuse :
1. Penyebab cedera tidak dapat diterangkan.
2. Keterlambatan yang jelas dalam mencari pertolongan.
3. Cedera yang jelas berbagai bagian anggota tubuh bersamaan dengan cedera kepala sedang atau ringan.
4. Radiograf menunjukkan berbagai usia cedera.
5. Anak dilaporkan sebagai tiba-tiba menjadi lemah atau pincang.
Anak biasanya tidak mengalami cedera kepala bila jatuh dari ketinggian rendah. Bila riwayat anak jatuh dari sofa, harus curiga bila anak dalam koma. Orang-tua biasanya tidak terlambat mencari pertolongan, berlawanan dengan yang menyiksa anaknya yang datang terlambat dengan berbagai alasan. Anak tidak biasanya setelah mengalami cedera kemudian tiba-tiba menjadi lemah kecuali ia mendapat serangan kejang. Mereka umumnya memberat, hingga berbagai tingkat ancaman herniasi dan koma. Karenanya bila salah satu dari yang tertera diatas dijumpai, segera singkirkan kemungkinan child abuse sebagai penyebab cedera kepala.
Fraktura Tengkorak.
Seperti pada dewasa, fraktura tengkorak linier menunjukkan terjadinya benturan berat. Walau fraktura semata tidak memerlukan tindakan, pasien harus dirawat untuk pengamatan. Sudah dibuktikan kerusakan intrakranial berat terjadi pada 9-11% kasus baik dengan atau tanpa fraktura. Fraktura basiler terjadi pada 3-4% anak dengan cedera kepala. Biasanya tampil dengan perdarahan dibelakang membran timpani atau kombinasi dengan hematoma dibelakang telinga (tanda Battle), ekkhimosis periorbital, atau kebocoran CSS sebagai otorea atau rinorea. Saraf otak ketujuh atau kedelapan mungkin kena. Pasien harus dirawat dan diawasi akan terjadinya meningitis bakterial. Bila terjadi kebocoran CSS, dianjurkan pemberian antibiotika, biasanya penisilin atau turunannya.
Fraktura depres ditindak seperti dewasa, kecuali bila terjadi pada bayi baru lahir dengan fraktura kecil didaerah yang aman yaitu temporal.
Sista leptomening jarang, namun penting, sebagai komplikasi fraktura tengkorak. Biasa pada anak dibawah 3 tahun dan berhubungan dengan fraktura diastatik yang panjang. Tandanya adalah terabanya pembengkakan yang tidak nyeri yang makin lama makin besar. Terjadinya adalah karena robekan dura dan arakhnoid diikuti pembesaran fraktura dan erosi tulang akibat pulsasi otak. Perbaikan secara bedah.
Cedera Lahir.
Lesi bedah-saraf tersering pada neonatus adalah fraktura tengkorak. Fraktura linier tidak begitu penting. Fraktura depres ditindak seperti diatas bila besar dan menekan otak, atau bila terjadi didaerah yang secara neurologis penting. Darah bisa terkumpul dibawah galea sebagai hematoma subgaleal atau dibawah periosteum sebagai hematoma periosteal akibat trauma saat dilahirkan. Bila besar dapat berakibat anemia atau hiperbilirubinemia pada neonatus yang kecil. Pasien ini biasanya hanya diobservasi. Jarang diindikasikan tindakan bedah seperti aspirasi atau drainasi.
Cedera Kepala Tertutup.
Mungkin cedera kepala tersering pada usia anak-anak adalah cedera kepala tertutup relatif ringan. Kadang-kadang dikelompokkan kedalam konkusi, yaitu kehilangan sementara kesadaran diikuti pemulihan neurologis sempurna kecuali mungkin amnesia.
Istimewa pada anak adalah beratnya reaksi sistemik terhadap cedera kepala dibanding dewasa. Bayi dan balita sering menampakkan pucat, muntah, atau mengantuk berat bahkan akibat cedera kepala sangat ringan. Kesulitan merawat pasien ini adalah kita tidak tahu pertambahan beratnya trauma SSP atau apakah kelainan terus berlanjut.
Seperti dijelaskan sebelumnya, anak harus dievaluasi secara penuh. Foto tengkorak dilakukan untuk mengetahui adanya fraktura, dan bila gejala cukup bermakna, anak dirawat, periksa sken CT, dan observasi selama 24 jam.
Bila anak tidak dirawat, orang-tua harus mendapat instruksi tanda-tanda perburukan neurologis.Cedera kepala tertutup berat, lebih sangat serius.Tindakan sama dengan dewasa. Keistimewaan anak dengan cedera kepala tertutup berat, sken CT mungkin memperlihatkan pembengkakan otak difus. Majoritas pasien ini mengalami hiperemia dan vasodilatasi pada serebrovaskulatur yang akan meninggikan tekanan intrakranial. Ini terjadi antara hari 1-5 setelah cedera.
Hematoma Ekstradural.
Terjadi sedikit lebih sering pada anak-anak dibanding dewasa. Tampilan klinis seperti dewasa. Diagnosis berdasar CT bila ada cukup waktu ; bila perburukan sangat cepat pasien langsung dioperasi. Pasien dengan lessi massa diberikan mannitol, hiperventilasi dengan intubasi dan segera dioperasi.
Hematoma Subdural.
Pada balita dan remaja, tampilan serupa dengan dewasa. Namun pada bayi sangat muda, tampilan secara umum lebih difus. Tampak pucat dengan fontanel penuh dan mungkin disertai defisit neurologis. Diagnosis dengan CT dan tidak dengan tap diagnostik. Hematoma subdural kronik pada anak lebih sering dibanding yang akut. Cedera merupakan etiologi penting namun sulit menentukan waktu yang tepat serta jenis cederanya. Tanda-tanda dan gejala-gejala khas tidak terlokalisir dan sub akut,yaitu muntah, mudah terangsang, gagal tumbuh, kejang, dan pembesaran kepala pada anak yang suturanya belum menutup. Fontanel pada bayi juga menonjol.
CT adalah tindakan diagnostik terpilih. Setelah diagnosis ditegakkan, segera alirkan dengan pintas subdural-peritoneal untuk mengurangi tekanan intrakranial serta mengatasi masalahnya. Bila proteinnya tinggi, dapat tanpa menggunakan katup.
Indikasi operasi darurat.
1. Interval lucid (bila CT tidak tersedia segera).
2. Herniasi unkal (pupil/motor tidak ekual).
3. Fraktura depres terbuka.
4. Fraktura depres tertutup lebih dari 1 tabula.
5. Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5mm atau lebih.
6. Massa ekstra aksial 5 mm atau lebih, uni/bi lateral.
7. #5/#6 kurang dari 5 mm tapi mengalami perburukan atau sisterna basal terkompres.
8. Massa lobus temporal 30 ml Atau lebih.
Indikasi tidak berlaku bila MBO.
Hasil Akhir.
Umumnya lebih baik dari dewasa bila berat traumanya ekual, mekanisme cedera sama, dan tindakan yang sama. Adanya serta jenis lessi massa berpengaruh pada hasil akhir. Lessi massa lenbih jarang dibanding pada dewasa. Kematian juga lebih kecil pada anak-anak. Paling jelas adalah pada anak dengan flaksid serta pupil berdilatasi dan tanpa reaksi terhadap cahaya, mortalitas hanya 33%.
Pendekatan tindakan pada semua anak dengan cedera kepala berat harus segera ditindak dengan usaha maksimal. Bahkan anak dengan cedera yang membinasakan secara mengejutkan dapat pulih dengan baik.
Membicarakan anak-anak dengan cedera kepala, lakukan :
1. Perawatan bedah-saraf intensif.
2. Sebagian seperti merawat orang dewasa yang kecil, namun kebanyakan adalah unik hingga pengenalan masalah yang khusus tsb. harus diutamakan.
3. Anak-anak sering secara mengejutkan membaik bahkan dengan cedera kepala sangat berat, karenanya diindikasikan usaha maksimal dalam arti diagnosis segera, tindakan agresif, serta rehabilitasi maksimal.
4. Pencegahan anak kecil untuk tidak jatuh, ikat pinggang pengaman sesuai usia, mengawasan ketat pada anak (tidak bermain dijalan) akan memastikan menurunnya kesakitan dan kematian pada anak.
Catatan :
Respon Verbal Terbaik pada GCS anak.
5 = kata-kata bermakna, senyum, ikut objek.
4 = Menangis tapi bisa diredakan.
3 = Teriritasi secara menetap.
2 = Gelisah, teragitasi.
1 = Diam saja.
sumber.http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/ckanak.htm
Subscribe to:
Posts (Atom)