Saturday, June 23, 2007

Epidemiologi Abortus yang Tidak Aman
NASRIN KODIM


--------------------------------------------------------------------------------

Pendahuluan

Sejak lama diketahui bahwa abortus spontan hanyalah sebagian kecil dari seluruh kejadian abortus. Bagian terbesar adalah abortus provokatus yang dilakukan dengan sengaja akibat kehamilan yang tidak diingini. Dari hasil World Fertility Survey tahun 1987, diketahui bahwa di seluruh dunia ada sekitar 300 juta pasangan usia subur yang tidak ingin mempunyai anak lagi, tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Mereka adalah kelompok yang sangat berisiko untuk mengalami kehamilan yang tidak diingini. Keadaan seperti ini paling mencolok ditemukan di negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika latin, yang tingkat ketersediaan fasilitas pelayanan jasa aborsinya sangat rendah. Program keluarga berencana di Afrika, Asia, dan Amerika latin secara berturut-turut hanya mampu mencakup 23%, 43%, dan 57% dari para pasangan yang tidak menginginkan anak tersebut (WHO).

Selain itu, kehamilan yang tidak diingini dalam jumlah yang besar juga terjadi pada kelompok remaja. Para remaja yang dihadapkan pada realitas pergaulan bebas masyarakat moderen itu, tidak dibekali sedikitpun dengan pengetahuan tentang Fisiologi reproduksi dan perilaku seksual yang benar. Berdasarkan data WHO diketahui bahwa di seluruh dunia, setiap tahunnya diperkirakan ada sekitar 15 juta remaja yang mengalami kehamilan. Sekitar 60% di antaranya tidak ingin melanjutkan kehamilan tersebut dan berupaya mengakhirinya.

Frekuensi kehamilan yang tidak diingini yang tinggi itu dipastikan akan meningkatkan kebutuhan jasa pelayanan abortus. Menurut badan kesehatan dunia (WHO), di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan sekitar 40--60 juta ibu yang tidak menginginkan kehamilannya melakukan aborsi. Setiap tahun, sekitar 500.000 ibu mengalami kematian yang disebabkan oleh kehamilan dan persalinan. Sekitar 30--50% di antaranya meninggal akibat komplikasi abortus yang tidak aman. Yang lebih memprihatinkan lagi, sekitar 90% dari kematian tersebut terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang jumlah dan penyebaan fasilitas pelayanan kesehatan profesionalnya masih relatif kecil dan tidak merata (Ericca, 1997).

Sementara, sikap terhadap abortus bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain. Hal ini diekspresikan dalam bentuk peraturan dan undang-undang negara yang membatasi tindakan aborsi. Pada 1986, Tietze dan Henshaw mungelompokkan status hukum abortus di seluruh dunia berdasarkan proporsi penduduknya, dalam 4 kelompok besar. Yaitu, sekitar 13% melegalkan abortus tanpa sarat, 24% melarang abortus kecuali hanya untuk keselamatan si ibu, 39% memberikan izin berdasarkan permintaan, dan 24% legal berdasarkan pertimbangan sosial yang luas. Variasi ini berhubungan sangat erat dengan jasa pelaksanaan abortus yang tidak aman.

Semakin ketat larangan abortus, semakin besar risiko pertolongan aborsi yang tidak aman, sebagai akibat langka dan mahalnya fasilitas pelayanan abortus. Sebaliknya, di negara-negara yang membebaskan abortus, risiko tersebut relatif lebih kecil. Meskipun demikian, akan selalu ada para ibu yang mencari jasa pelayanan aborsi yang tidak aman. Sebagai contoh, di Tunisia, aborsi dapat dilakukan secara legal. Akan tetapi, dikatakan bahwa sekitar 1/3 aborsi dilakukan secara tidak aman. Bahkan, di Zambia, negara yang sangat memberikan kelonggaran untuk pelayanan aborsi, sebagian besar obortus dilakukan secara tidak aman.

Dari uraian tersebut di atas, terbukti bahwa tingginya frekuensi kehamilan yang tidak diingini di negara-negara berkembang, akan meningkatkan kebutuhan jasa palayanan abortus. Sementara, larangan terhadap abortus akan membuat fasilitas pelayanan aborsi profesional yang berkualitas menjadi langka dan mahal. Akibatnya, pilihan akan jatuh pada jasa pelayanan abortus yang tidak aman yang diberikan oleh tenaga yang tidak terampil dan tidak terlatih. Para ibu yang kebingungan itu akan nekad memilih pelayan aborsi yang tidak aman dan mengancam keselamatan ketimbang membesarkan janin yang mereka kandung. Mereka tidak menghiraukan risiko komplikasi, cacad, dan kematian yang mungkin ditimbulkan oleh pilihan yang keliru itu. Pelayanan abortus yang mereka pilih itu akan mengantarkan mereka pada risiko kematian 100 sampai 500 kali lebih besar. Di negara berkembang, masalah ini sangat penting karena menyangkut keselamatan dan kelangsungan hidup para ibu usia produktif yang menjadi pengayom utama keluarga.

Pengertian

Secara umum, abortus didefinisikan sebagai upaya terminasi kehamilan yang dilakukan sebelum janin mampu hidup di luar kandungan. Selanjutnya, menurut WHO, aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) adalah aborsi yang dilakukan dengan menggunakan metode yang berisiko tinggi, bahkan fatal, dilakukan oleh orang yang tidak terlatih atau tidak terampil serta komplikasinya merupakan penyebab langsung kematian wanita usia reproduksi. Dengan demikian, ada tiga kriteria aborsi yang tidak aman, yaitu metode berisiko tinggi, dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan komplikasinya merupakan penyebab langsung kematian ibu (WHO, 1995).

Metode aborsi risiko tinggi yang dimaksud antara lain meliputi penggunaan obat atau jamu, pemijitan, memasukkan alat atau benda asing ke dalam rongga vagina. Peralatan yang digunakan biasanya terkontaminasi oleh mikroorganisme dan bahan-bahan kausatif atau iritatif sehingga meskipun pasien dapat diselamatkan dari kematian, dia masih tetap terancam untuk mengalami cacad menetap atau gangguan organ yang serius. Sementara, bahan-bahan tradisional yang sering digunakan antara lain plastik, batang kayu, akar pohon, atau tangkai daun yang mempunyai getah iritatif (Erica, 1994).

Yang dimaksud dengan individu yang tidak terlatih atuu tidak terampil adalah individu, baik tenaga medis ataupun bukan, yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang sangat minimal sehingga tidak dapat memperkirakan risiko yang mungkin ditimbulkan oleh tindakan yang dilakukannya.

Abortus yang tidak aman bukan semata-mata masalah medis, etika ataupun hukum, tetapi merupakan masalah kemanusiaan yang menyangkut wanita dan pria sebagai pasangan suami istri dan sebagai anggota masyarakat serta kelangsungan hidup janin yang dihasilkan dari hubungan suami istri.

Masalah

Penilaian besarnya masalah abortus di berbagai negara menghadapi banyak kesulitan sebagai akibat status abortus yang ilegal sehingga kasus-kasus yang terjadi jarang dilaporkan. Namun, tanpa gambaran yang jelas dan lengkap pun, abortus tetap terdeteksi sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius. Setiap tahun, ada sekitar 40 sampai 60 juta wanita yang berupaya mengakhiri kehamilan yang tidak mereka ingini. Di seluruh dunia, setiap tahun terjadi sekitar 40--70 kasus abortus per 1000 wanita usia reproduksi (WHO, 1995). Diperkirakan bahwa sekitar 20% dari seluruh kehamilan akan berakhir dengan aborsi. Kelompok wanita yang memilih jasa pelayanan aborsi yang tidak aman akan menghadapi risiko kematian 100 sampai 500 kali lebih tinggi daripada wanita yang mendapat pelayanan jasa aborsi aman yang diberikan oleh tenaga profesional yang terlatih.

Di India, abortus telah diizinkan secara luas sejak 1980, tetapi pada 1980 dilaporkan hanya 388.000 dari 4--6 juta tindakan abortus yang dilakukan di fasilitas pelayanan pemerintah (Erica 1994). Di Tunisia yang melegalkan tindakan abortus, sekitar 33% kejadian aborsi masih tergolong sebagai aborsi yang tidak aman. Di Zambia yang mengizinkan pelaksanaan abortus dengan mempertimbangkan alasan sosial yang luas, sebagaian besar wanitanya melakukan tindakan abortus yang tidak memenuhi persyaratan profesional. Di sini, kelonggaran yang diberikan terhadap abortus tidak diikuti dengan kemudahan sistem administrasi penyelenggaraannya. Misalnya, setiap abortus yang akan dilakukan harus mendapat persetujuan tiga orang dokter, yang salah satunya adalah dokter spesialis.

Di Amerika Latin, komplikasi abortus yang dilaklikan secara ilegal merupakan penyebab utama kematian pada wanita yang berusia 15--39 tahun. Berdasarkan laporan dari berbagai negara berkembang, diketahui bahwa abortus yang tidak aman merupakan penyebab utama kematian ibu. Survei yang dilakukan di Adis Ababa pada 1981--1983 menemukan 54% kematian ibu yang langsung disebabkan oleh kamplikasi abortus provokatus yang tidak aman.

Kecenderungan Regional

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di 19 negara Amerika Latin, setiap tahun dilakukan sekitar 34 juta abortus atau sebesar 45 per 100 wanita usia produktif. Di Chili, sekitar 10--30% tempat tidur di bangsal kebidanan dan kandungan diisi oleh wanita yang mengalami komplikasi aborsi (Erica, 1994).

Dari Zimbabwe, Afrika, dilaporkan bahwa sekitar 28% seluruh kematian ibu berhubungan dengan abortus. Sementara, di Tanzania dan Adis Adaba masing-masing sebesar 21% dan 54%. Hal ini diperkirakan merupakan bagian kecil dari kejadian yang sebenarnya, sebagai akibat ketidakterjangkauan pelayanan kedokteren moderen yang ditandai oleh kesenjangan informasi. Di Mesir yang mayoritas berpenduduk muslim, penduduk yang berpeluang untuk melakukan abortus sangat kecil. Ditemukan bahwa sekitar 50% tempat tidur di bagian kebidanan diisi oleh kasus-kasus komplikasi abortus.

Sedangkan di Irak dikatakan bahwa perawatan kasus aborsi dan komplikasinya melebihi perawatan persalinan. Di daerah pedesaan Libanon, pada 1961 diketahui bahwa 0,2% kehamilan diakhiri dengan abortus, sementara diperkotaan 8--14%.

Meskipun status abortus di negara-negara Asia umumnya ilegal, insiden abortus umumnya dianggap tinggi. Di Korea, pada 1978 insidens abortus ditemukan sebesar 235 per 1000 wanita yang berkeluarga yang berusia 15--44 tahun. Di Thailand yang mengizinkan abortus secara terbatas, didapatkan angka 37 per 1000 wanita usia reproduktif dan ratio 245 per 1000 kelahiran hidup. Di Singapura, pada 1981 dilaporkan insiden abortus 28,4 per 1000 wanita usia reproduktif dan rasio 371 per 1000 kelahiran hidup. Di India yang melegalkan aborsi tapi dengan fasilitas pelayanan yang tidak merata, ditemukan angka 55 per 1000 wanita usia 15--44 tahun.

Karakteristik Wanita yang Mencari Pelayanan Aborsi

Ada berbagai alasan dan kondisi individual yang memungkinkan wanita melakukan aborsi. Di berbagai daerah, pola itu bergeser secara konstan mengikuti perubahan sosial, peraturan perundang-undangan, dan moral yang berlaku. Meskipun demikian, beberapa karakteristik umum dapat diindentifikasi.

Status sosial ekonomi

Pertolongan abortus yang tidak aman lebih banyak dialami oleh kelompok masyarakat yang miskin, karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan mereka untuk membiayai jasa pertolongan profesional. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang kaya yang dikatakan relatif lebih banyak yang melakukan aborsi, mempunyai risiko lebih kecil untuk mendapat pertolongan aborsi yang tidak aman.

Pendidikan

Aborsi lebih sering dilakukan oleh para wanita yang berpendidikan rendah daripada yang berpendidikan tinggi.

Tinggal di daerah perkotaan

Pengguguran kandungan lebih banyak terjadi di daerah perkotaan jika dibandingkan dengan daerah pedesaan. Di Malaysia dan Mesir, rasio abortus di perkotaan dan di pedesaan berkisar antara 3--4 kali. Akan tetapi, karena fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas lebih banyak berada di daerah perkotaan, maka angka kematian akibat abortus relatif lebih jarang karena komplikasi abortus dapat ditangani dengan baik. Sebaliknya, di daerah pedesaan, kasus abortus dan fasilitas pelayanannya relatif lebih rendah.

Status perkawinan

Umumnya yang melakukan aborsi adalah para wanita yang belum menikah. Survei yang dilakukan di sembilan negara Amerika Latin menemukan 18% komplikasi abortus terjadi pada kelompok yang belum menikah. Di Korea dan Thailand, insiden aborsi di kalangan yang tidak menikah sangat tinggi, umumnya terjadi di kalangan mahasiswa dan wanita pekerja. Di Subsahara Afrika, abortus lebih sering dilakukan di kalangan wanita yang tidak menikah. Sebaliknya, di India abortus umumnya dilakukan oleh para wanita yang telah menikah. Masalah yang sangat memprihatinkan bahwa hampir di semua negara, program keluarga berencana hanya diperuntukkan bagi wanita yang telah menikah.

Umur

Penelitian yang dilakukan di Asuncion, Bogota, Lima Panama, dan Boenos Aires, Amerika Latin, memperlihatkan bahwa angka aborsi di kalangan remaja relatif paling rendah. Akan tetapi, memperlihatkan kecenderungan yang meningkat pesat dibandingkan dengan kelompok umur yang lain. Angka tertinggi justru ditemukan di kalangan wanita berusia lebih dari 35 tahun.

Paritas

Dari survei yang dilakukan di India, diketahui bahwa 20% wanita yang melakukan aborsi mempunyai satu atau dua anak, sekitar 32% mempunyai 3--4 anak, dan 41% telah mempunyai lebih dari lima anak. Di Cina justru aborsi digunakan untuk mengendalikan tingkat kesuburan.

Metode Aborsi yang Tidak Aman

Metode aborsi yang tidak aman yang umumnya digunakan di berbagai negara bervariasi, dari metode teknik medis lanjut yang digunakan oleh dokter sampai teknik tradisional berbahaya yang digunakan oleh dukun, teman, atau tetangga yang menolong atau oleh wanita hamil itu sendiri.

Mertode yang paling sering digunakan oleh dokter dan perawat adalah mengeluarkan isi kandungan dengan menggunakan alat, terutama dengan dilatasi dan kuretase. Saat ini, metode kuretase bedah secara sangat progresif diganti oleh metode kuretase penghisapan, yang salah satunya adalah induksi haid. Cara lain adalah histerotomi, yaitu pengeluaran isi rahim dengan pembedahan besar yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Di negara maju, cara ini telah ditinggalkam. Di India, cara ini masih dilakukan, yang biasanya diikuti dengan sterilisasi pembedahan.

Prosedur lain yang digunakan secara legal di rumah sakit selama trimester kedua kehamilan adalah perangsangan kontraksi rahim dengan memasukkan larutan garam atau prostaglandin. Prosedur ini memakan waktu 36--72 jam. Prosedur ini tidak selalu efektif.

Untuk para pelaku abortus yang tidak profesional, upaya yang dilakukan antara lain adalah memasukkan cairan ke dalam uterus. Cairan yang digunakan bervariasi, mulai dari air sabun sampai disinfektan rumah tangga yang dimasukkan melalui semprotan ataupun alat suntik. Di beberapa negara juga menggunakan pasta yang bersifat abortif yang mengandung zat iritatif.

Sediaan jamu dan obat-obatan per oral juga sering digunakan. Berbagai jamu dan obat yang diduga bersifat abortif dapat ditemukan di pasaran bebas di negara-negara berkembang. Di Bangladesh, obat-obat tersebut kemungkinan mengandung kina, permanganat, ergot, dan air raksa. Di Malaysia, ditemukan pil timah oksida dan minyak zaitun (Erica, 1994).

Metode lain yang relatif lebih berbahaya adalah memasukkan alat atau benda asing ke dalam rongga rahim. Di India digunakan pucuk wortel yang telah dikeringkan; di Philipin alat tesebut adalah pisang atau daun tumbuh-tumbuhan lokal kalachulchi. Di

Ghana, digunakan ranting pohon comelina yang jika dimasukkan ke dalam rahim akan menyerap air dan mengembang membuka leher rahim serta menyebabkan abortus. Jenis lain adalah tanaman Jatropha yang mengandung bahan kimia korosif yang dapat menyebabkan abortus.

Di Amerika latin, upaya abortus dilakukan dengan memasukkan ujung kateter yang lentur ke dalam rongga rahim. Ujung yang lain diikatkan di pangkal paha. Wanita tersebut kemudian disuruh berjalan sehingga ujung kateter yang berada di dalam rongga rahim bergoyang-goyang menggangu isi rahim dan merangsang abortus. Ada pula yang menggnakan cairan kina yang toksik pada bayi dan si ibu. Ada juga para wanita yang melakukan sendiri dengan memasukkan plastik berongga ke dalam rongga rahim, kemudian memasukkan alat atau kawat melalui plastik tersebut untuk mengorek rongga rahim.

Komplikasi Utama

Komplikasi dini dan yang paling sering adalah sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, yang sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tersisa di dalam rahim. Sepsis merupakan salah satu komplikasi aborsi yang paling fatal. Infeksi yang paling serius yang jarang ditemukan adalah infeksi bakteri anaerub yang menyebabkan gasgangrin dan tetanus. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh penggunaan peralatan yang tidak bersih.

Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cedera organ panggul atau usus. Kematian biasanya disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau fasilitas transfusi rumah sakit.

Komplikasi abortus lain yang secara potensial fatal adalah bendungan sistem pembuluh darah oleh bekuan darah, gelembung udara, atau cairan. Yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah gangguan bekuan darah berat yang disebabkan oleh infeksi berat serta keracunan obat-obat abortif yang menyebabkan gagal ginjal.

Komplikasi lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemandulan sebagai akibat infeksi yang berakibat dengan penutupan tuba falopii. Dikatakan bahwa kerusakan tuba merupakan penyebab utama kemandulan di negara berkembang. Penyebab lain dari penyumbatan tuba adalah peradangan panggul yang berhubungan dengan penyakit hubungan seksual (WHO, 1995).

Faktor Risiko Kematian Aborsi

Faktor-faktor yang berkaitan dengan risiko kematian akibat aborsi antara lain adalah: metoda yang digunakan, kompetensi petugas pemberi pertolongan, usia kehamilan pada saat aborsi dilakukan, umur ibu, keadaan umum ibu, dan keberadaan pelayanan medis yang bermutu.

Metode yang digunakan

Metode dan tindakan aborsi yang digunakan merupakan faktor risiko kematian yang sangat penting bagi kasus-kasus aborsi. Komplikasi serius berupa perdarahan dan sepsis dengan risiko kematian paling tinggi terjadi pada kasus aborsi yang ditangani secara tidak profesional. Meskipun angka pasti dari kasus seperti itu sulit ditemukan, tapi kontribusinya terhadap kematian ibu diakui tinggi.

Kompetensi petugas pemberi pertolongan

Kompetensi petugas berhubungan erat dengan metode yang digunakan. Pelayanan abortus nonprofesional di samping menggunakan metode yang tidak lazim, petugas pemberi pelayanannya pun tidak mempunyai kompetensi dalam menagani berbagai komplikasi yang terjadi. Mereka tidak mengenal tanda-tanda kegawatan yang memerlukan pertolongan segera.

Usia kehamilan pada saat aborsi dilakukan

Stadium kehamilan ketika abortus dilakukan merupakan faktor risiko yang penting. Di Chili, 47% ibu-ibu yang melakukan aborsi pada usia kehamilan 3--5 bulan berakhir dengan perawatan di rumah sakit. Sementara, yang dilakukan pada usia kehamilan satu bulan hanya 18% yang memerlukan perawatan. Di Amerika Serikat, diketahui bahwa risiko kematian upaya pengguguran pada usia kehamilan sampai 8 minggu, 20 kali lebih rendah dari risiko kematian persalinan normal. Pada aborsi yang ditolong oleh tenaga profesional pun, risiko kematiannya akan meningkat sesuai dengan peningkatan usia kehamilan.

Umur ibu

Umur ibu merupakan salah satu faktor risiko kematian akibat abortus. Semakin muda usia ibu pada waktu melakukan tindakan, semakin besar risiko kematian yang dihadapi. Angka kematian akibat tindakan aborsi yang tinggi di Amerika Latin ditemukan pada kelompok remaja, sedangkan pada kelompok mahasiswa dan pekerja relatif lebih rendah (Erica, 1994).

Keadaan umum ibu

Keadaan umum ibu waktu melakukan abortus merupakan faktor risiko kematian yang penting. Tingginya angka kematian akibat aborsi di negara-negara berkembang antara lain merupakan kontribusi dari keadaan gizi yang buruk serta anemia (Kodim, 1998).

Keberadaan pelayanan medis yang bermutu

Ketersediaan fasiliatas pelayanan yang berkualitas merupakan faktor penting dalam mencegah kematian akibat aborsi. Berbagai komplikasi aborsi yang terjadi dapat diatasi dengan baik oleh fasilitas pelayanan aborsi. Itulah sebabnya, di daerah perkotaan yang jumlah kasus abortusnya tinggi, mempunyai angka kematian yang relatif rendah. Sebaliknya, di daerah pedesaan dengan angka aborsi yang rendah mempunyai angka kematian yang relatif tinggi (Affandi, 1997; Kodim 1998).

sumber.http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012001/top-1.htm

1 comment:

Anonymous said...

saya mau tanya. Teman dekat saya ada yang hamil tapi dia belum menikah dan belum mau punya anak. Apa ada tempat aborsi yang aman di Jakarta? Saya mohon bantuannya, terimakasih...